Selasa, 17 Juli 2012

Spektrum iman

“Dunia ini bercahaya karena Dzahir-Nya Allah!”

Sebesar apa kepercayaanmu [imanmu] sebesar itulah Energi yang akan engkau dapatkan. Karena Energy Allah itu lebih besar dari seluruh cahaya di semesta raya ini. Baiklah, sementara kita simpulkan Iman adalah Percaya.



“Iman Itu Tidak Sekedar Percaya!”

Tidak sekedar percaya, iman adalah seni memahami sepenuh hati dan keyakinan, bahwasannya segala details yang terjadi disetiap detik-detik kedipan mata, disetiap desiran keinginan yang melinatasi langit-langit dihati kita, setiap luka, kesedihan, goresan-goresan yang menyayat hati itu semuanya telah tertulis dalam perencanaan dan pengetahuan serta pengawasan dan ketentuan takdir Allah Subhannahu wa Ta’ala yang sempurna.

"Iman laksana pohon di taman hati, naungannya memberi kesejukan, dari batangnya tunas-tunas harapan terus terlahir, ia berbunga kebahagiaan yang bermekaran, keharumannya bertaburan menaburi setiap jalanan yang engkau lalui. Seiring keistiqamahan yang terjaga dari bunga itu lahir buah yang bernama Ikhlas”.

Kuat lemahnya iman ini adalah salah satu faktor penentu kadar keyakinan, dari keyakinan yang kokoh itu kemudian manusia bisa menggali berbagai potensi diri. Tentunya dengan pertolongan Allah Yang Maha Gagah dan Maha Perkasa Perkasa.

Mari kemari.. mari kita terjemahkan (kembali), tentang indahannya nuansa Al Islam disuasana wajah-wajah pagi yang masih segar. Mari kita tanamkan sebuah pemahaman yang kokoh, sebelum badai kehidupan mengguncang dan membawa kita menjauh dan semakin menjauh dari cahaya-Nya.

Mari pahami kembali, bahwasannya kewajiban itu adalah bukan sebuah paksaan. Kewajiban hanyalah bentuk pengkondisian, agar manusia dan hatinya menemui seni kebahagiaan dalam naungan Cinta Rabb-nya, agar mencapai kebahagiaan tertinggi dan mulia di dunia dan akhirat. Sementara, Syurga & Neraka adalah konsequensi yang tak terelakan, karena kita adalah Hamba-Nya.

Berbagai jenis musibah dan ujian-ujian yang menyapa manusia hanyalah sebuah sentuhan, agar manusia kokoh dan lebih siap lagi mengarungi Dunia ini. Agar kita tidak bosan dengan dunia ini!

Seyum tangis, sedih senang itu hanyalah warna-warni hikmah yang mewarnai jalanan kita dalam mencari bekal untuk kehidupan yang sebenarnya; yaitu akhirat yang abadi.

Dari itulah, orang cerdas adalah mereka yang senantiasa mengingat kematian lalu mempersiapkannya. Ingatlah waktu kita dihitung mundur menuju kematian. Pagi demi pagi yang menemui kita adalah kesempatan-kesempatan istimewa, jangan sibukan diri dengan meratapi kekalahan.

Sehebat apapun guncangan yang menggetarkan kita, kita harus senantiasa ingat, bahwa itu hanyalah sekedar teguran dari Allah. Tidak ada satu bencanapun yang menimpa kita tanpa seizin-Nya.

“Jika bukan dengan guncangan itu, lalu dengan apakah lagi kita akan tersadar? Segera seketika ujian itu akan berakhir, disana ada guncangan. Seperti halilintar yang menandai berakhirnya mendung, disanalah hujan akan turun menebar titik-titik harapan, menyemai tunas-tunas baru”.

Dalam dinding hati manusia terdapat berbagai rahasia, disana bertaburan warna-warna yang tidak kesemuanya bisa tersentuh dengan logika ilmiah, tapi kita bisa mengenalinya dari berbagai reaksi saat jiwa itu terguncang dan tersentuh berbagai getaran rasa dalam berbagai suasana dikehidupan.

Hati lah yang kemudian mengalirkan berbagai getaran rasa itu ke fikiran kita untuk diolah, warna rasa itu kemudian diterjemahkan kedalam berbagai reaksi. Reaksi itulah yang kemudian terlihat oleh kita sebagai aktifitas, kesemuanya terlahir dari penyikapan bahasa tubuh atas rangsang yang diperintahkan otak atau fikiran kita. Bibir yang bergetar dan berkata-kata, mata yang berkabut lalu meneteskan bahasa nurani atau berbagai reaksi lainnya yang tidak bisa tubuh kita tolak.

Penyikapan dari reaksi itu sungguh berbeda-beda, positif atau negatif, berbentuk penolakan atau penerimaan, meneguhkan iman atau meruntuhkan iman, membuahkan pahala atau bahkan menimbulkan murka.

Semua output diatas bermula dari suasana di istana hati, inilah hal yang harus segera dipahami dan disikapi dengan serius. Karena seperti sabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya jika hati itu baik maka seluruh tubuh akan baik, jika hati rusak maka seluruh tubuh kita akan rusak.

Ketika hati rusak, maka fikiran rusak, ahlaqnya rusak, hidupnya rusak dan keseluruhan harinya sia-sia lalu ia tersesat dan benar-benar lupa jalan kembali.

Keberadaan hati seperti dua dinding kaca yang berhadapan, berbagai sentuhan yang berhasil mencapainya akan dibiaskan membentuk berbagai spectrum atau gelombang warna rasa yang tidak beraturan, getarannya mengubah suasana di dalam hati kita. Getaran getaran itu kemudian mempengaruhi cara kita berfikir dan cara kita menyikapi berbagai reaksi.

Dari berbagai spectrum warna rasa itu terdapat sebuah gelombang halus yang getarannya lebih kuat dari spectrum warna lain, cahayanya lebih dominan mempengaruhi aktifitas berfikir kita, keberadaannya merupakan salah satu fitrah manusia di mana setiap jiwa akan memiliki kecendrungan. Termasuk kecendrungan atau rasa ingin kembali mendekat kepada Tuhan-Nya.

Biasan cahaya ini membentuk sebuah spectrum energy, yaitu spectrum Iman.

Spectrum Iman adalah sebuah gelombang cahaya di dalam hati yang kehadirannya mampu membiaskan berbagai warna rasa yang menyentuh hati dan kemudian menerjemahkannya, mengarahkan dan menerangi aktifitas berfikir manusia sehingga seorang manusia tetap berjalan dalam fitrahnya.

Dalam hati manusia beriman, spectrum ini menguat dan mengalahkan spectrum-spectrum rasa lain, sehingga kehadirannya mampu mengalahkan berbagai nuansa negatif dalam hati manusia. Sehingga ketika spectrum ini dominan, seorang manusia akan tetap tenang didalam berbagai situasi, cahayanya terus memancar menerangi setiap jalanan yang ia lewati, hatinya tertuju kepada Rabbnya hingga ia tetap bahagia dan berjalan di dalam fitrahnya sebagai hamba.

Kekuatan frequensi spectrum ini tidak pernah stabil, ia senantiasa bergelombang mengikuti kuat atau lemahnya signal yang terbentuk dari proses komunikasi ruh manusia dengan Rabb-nya.

Kemampuan pembiasan atau penerjemahan berbagai situasi yang dihadapi hati itu berbeda-beda, tergantung stabilitas keimanan yang kita analogikan sebagai kemampuan dinding kaca dalam menyerap, menerima atau memantulkan signal dari sumber yang menjadi segala sumber cahaya; Allah Subhannahu wa Ta’ala.

Tak ubahnya sebuah handphone, saat signal itu lemah maka kemampuan komunikasi pun lemah bahkan putus. Hati manusia pun demikian, ia adalah reciever hidayah dari Allah Subhannahu wa Ta’ala. Jika signal itu melemah, maka nurani tidak lagi mampu membisikan bimbingannya, spectrumnya melemah atau bahkan padam.

Jika spectrum iman ini padam, maka bisikan-bisikan yang terdengar adalah bisikan-bisikan negatif dari iblis. Hati kita tidak lagi berfungsi, semua biasan negatif itu menguasainya.

Saat spectrum ini mati, kemampuan semua indra tubuh dalam menangkap berbagai hikmah-hikmah akan lumpuh total. Langkah terasa berat, harapan seperti hilang. Hari seperti gelap padahal matahari pagi itu datang menyinari, dunia seperti sempit padahal kesempatan terhampar luas dan bertebaran disetiap sudut-sudut kehidupan.

Jika kondisi itu terus menerus berlangsung tanpa usaha untuk menyalakannya kembali, maka cahaya hati itu akan terus meredup dan perlahan mati. Hati itu mati sebelum kematian yang sebenarnya.

Disanalah lukisan kehidupan dan persimpangan-persimpangannya akan terasa hampa dan palsu. Tersenyum tapi palsu, tertawa tapi tidak bahagia. Hati itu gelisah karena tidak sejalan dengan fitrahnya yang membutuhkan Tuhan sebagai pembimbing dan tujuan.

Kondisi itu menandai putusnya komunikasi ruh manusia dengan Rabb-nya.

Sejatinya manusia itu harus senantiasa berkomunikasi dengan Rabb-nya, karena dari sanalah sumber dari sumber kekuatan dipancarkan. Dalam kondisi normal kita akan menyadari sepenuhnya bahwa kita tidak bisa sedetikpun berdiri dengan tegak tanpa pertolongan Allah Subhannahu wa Ta’ala.

Bagi seorang manusia beriman yang bersungguh-sungguh dengan keimananannya, spectrum cahaya dihatinya akan terus terpancar hingga hati itu terang, berbagai rasa itu mampu diredam dan bahkan mampu menyembuhkan berbagai penyakit secara ruhaniyah.

Kondisi hati yang sehat akan terlihat dari segarnya kondisi jasmaniyah seseorang; wajah yang tersenyum, jiwa penuh antusiasme, percaya diri, luas dalam memandang, penuh motivasi, senang beribadah, senang berbuat baik, santun kepada sesama dan jiwanya berbahagia dengan kekuatan cara pandang atau perspective yang lurus.

Keberadaan spectrum itu tercipta sebagai sebuah fitrah bagi manusia, ia hadir sebagai percikan Cahaya Illahiyyah yang menjelma sebagai bagian dan jelmaan dari fitrah manusia agar senantiasa tunduk dan beribadah kepada-Nya.

Seperti yang telah kita ketahui, fitrah manusia itu setidaknya meliputi tiga hal; kecendrungan manusia untuk mempertahankan dirinya, fitrah menginginkan keturunan dan fitrahnya untuk beribadah kepada Tuhan-Nya.

“Fitrah merupakan ketetapan Allah yang tertanam dihati manusia sejak awal penciptaannya, kecendrungan alami yang keberadaannya menyerupai sebuah kontrol lembut yang mengendalikan berbagai warna perasaan manusia - yang menjadi sumber utama dorongan untuk berfikir dan bertindak - agar ummat manusia ini lestari dari masa kemasa”.

Fitrah atau kecendrungan hati manusia itu hanya ada tiga, yaitu kecendrungan untuk memiliki keturunan, kecendrungan mempertahankan diri dan kecendrungan untuk beribadah kepada Rabbnya. Fitrah manusia tidak bisa ditahan, diubah atau dihapus. Tapi penjelmaan dari fitrah manusia yang berupa gelombang cinta, sedih, dan keinginan lain bisa diubah atau dikendalikan.

Gelombang-gelombang getaran itu bergabung membentuk suasana hati, suasana itu kemudian menjadi input yang mengalir kefikiran kita dan mempengaruhinya. Didalam fikiran kita input itu diolah hingga mendorong indra tubuh untuk melakukan tindakan-tindakan atau actions. Dari Actions inilah seorang manusia berubah, baik atau buruknya pun tergantung dari motivasi awal di istana hatinya.

Dari sini kita memahami, bahwa keberadaan hati itu sangat vital. Oleh karenanya kita harus benar benar memahaminya dengan intensif sebelum kita terjerat dan terdampar di lembah keluhan yang akan menyeret diri kedalam berbagai kekufuran dan ketidakbahagiaan.

Sahabat pena yang berbahagia. Jika kita senantiasa memperhatikan hati kita, menyiraminya dengan berbagai aktifitas yang bisa memperkuat tali komunikasi ruh kita dengan Allah Subhannahu wa Ta’ala maka spectrum ini akan menguat.

Saat spectrum iman di dalam hati manusia itu kuat dan stabil, maka kita akan merasakan energinya yang luarbiasa. Keberadaannya tidak hanya mampu meredam berbagai gejolak tapi mampu menundukan jiwa, ia mampu mengubah semua nuansa hati yang cendrung mengeluh lalu mengarahkannya kepada suasana bahagia dalam perspective yang lurus dan diridhai.

Iman adalah manifestasi power yang mampu meluluhkan berbagai prasangka kurang baik terhadap Allah yang menjadi cikal bakal ketidakbahagiaan.

Oleh Nuruddin Al Indunissy

Sumber dari Rehab Hati

1 komentar:

Amy mengatakan...

Postingan ini setelah ngobrol dengan Kang NAI lewat skype di sela-sela kesibukan beliau. Senengnya mendengar suaranya, ma kasih untuk Kang NAI