Rabu, 29 Februari 2012

Pentingnya persahabatan spiritual

Sumber : Republika

Jangan bertanya tentang seseorang,
tetapi bertanyalah tentang sahabatnya.
Sebab, setiap orang akan mengikuti sahabatnya.
(Abdul Qadir Isa)

Persahabatan spiritual mempunyai arti penting bagi orang-orang yang menempuh perjalanan spiritual (salikin). Persahabatan spiritual bukan pertemanan biasa dalam arti teman diskusi dan berbagi pengalaman, tetapi pertemanan sejati yang bisa mengasah ketajaman batin kita di dalam memahami makrifat dan menyingkap tabir rahasia (mukasyafah).

Keutamaan persahabatan spiritual diisyaratkan dalam beberapa ayat antara lain: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS At-Taubah: 119). "Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (QS Luqman: 15).

Juga dalam hadits, "Orang-orang yang paling utama di antara kalian ialah orang-orang yang apabila mereka dipandang maka mereka mengingatkan kepada Allah.” (HR. Al-Hakim dari Anas).

"Hai Ibnu Umar, agamamu, agamamu, agamamu, sesungguhnya dia adalah daging dan darahmu, perhatikanlah dari siapa engkau mengambilnya. Ambillah agama dari orang yang istikamah, dan janganlah mengambilnya dari orang yang menyimpang." (Al-Hadits).

Fungsi sahabat spiritual
Sahabat spiritual dapat menunjukkan penyakit-penyakit yang menghalangi kita untuk sampai kepada Allah SWT sekaligus menunjukkan obatnya. Ia mampu menanam dan menumbuhsuburkan rasa cinta kepada Tuhan. Sahabat spiritual sejati tidak cukup hanya mengajak kita memasuki sebuah pintu, tetapi juga menghilangkan tabir antara dia dan diri kita.

Sehingga kita tidak pernah menyembunyikan masalah apa pun yang terlintas di dalam pikiran kita terhadapnya. Ia tidak hanya menuntun dengan ucapan, tetapi juga mengalirkan energi spiritual dan pikiran positif. Ia selalu mendampingi kita, baik dalam keadaan sedang terjatuh di dalam kubangan dosa maupun di puncak maqam spiritual.

Ia pun selalu memicu kita untuk membersihkan diri dan meningkatkan riyadhah dan mujahadah. Ia seperti memiliki kemampuan untuk mengeluarkan kita dari penjara hawa nafsu dan mengantarkan kita ke hadapan Tuhan. Ia terus menuntun dan mendampingi sehingga kita berada di hadapan-Nya lalu seolah-olah membisiki kita, "Inilah engkau dan Tuhanmu.”

Sahabat spiritual seperti ini langka, tetapi ada dan lebih banyak dari persangkaan kita. Hanya saja kita tidak punya kesungguhan untuk mencarinya. Seandainya di kemudian hari kita mencari dan menemukannya, maka bersyukurlah dengan cara belajar dan menghargai keberadaannya, sebab jika Tuhan mencintai hamba-Nya, Dia akan memperkenalkan hamba itu dengan sahabat spiritual.

Sebaliknya, bukanlah disebut sebagai sahabat spiritual jika dia yang justru mengalihkan perhatian kita dari Tuhan ke dunia dan materi. Malah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dengan tegas menyatakan, "Apabila engkau menemukan sahabat spiritualmu dalam keadaan lalai, tinggalkanlah!”

Antara mursyid dan sahabat spiritual
Mursyid memiliki jarak dan struktur dengan para salik/murid. Seorang salik harus hormat kepada mursyid. Bahkan tidak disarankan seorang salik membantah mursyidnya karena hal itu bisa berarti pelanggaran.

Perkataan dan tindakan salik harus dikontrol, ketersinggungan mursyid terhadap salik bisa mendatangkan konsekuensi, bergantung pada aturan tarekat yang mereka ikuti.

Sahabat spiritual boleh jadi tidak memiliki jarak dan struktur. Sama-sama salik atau mursyid. Hubungan di antara satu sama lain bisa jadi selevel, namun bisa jadi juga terbentuk struktur, terutama jika salah seorang di antaranya berproses lebih menonjol sebagai senior dan lebih efektif memberi kearifan.

Tidak tertutup kemungkinan, seorang mursyid sekaligus sebagai sahabat spiritual, seperti lazim terjadi pada seorang guru yang juga menjadi teman muridnya. Hal itu bergantung pendekatan sang guru atau murid tersebut.

Pengalaman sejumlah mursyid yang terangkum dalam Jami’ Karamat al-Auliya’ karya Syekh Yusuf bin Islamil An-Nabhan, menunjukkan sahabat spiritual tak mesti manusia yang hidup, tetapi juga bisa mereka yang sudah meninggal dunia.

Roh para nabi dan auliya’ diyakini sejumlah ulama dapat berkomunikasi dengan orang hidup, seperti pengalaman Imam Al-Gazali dan Ibnu Arabi. Salah satu pernyataan muncul dari seorang sufi bahwa alangkah miskinnya seorang murid jika gurunya hanya orang-orang hidup. Ini artinya, sumber informasi spiritual boleh jadi berasal dari makhluk lain.

Dalam dunia tasawuf, Tuhan mempunyai banyak alam lain selain alam dunia atau bumi kita ini. Di kenal juga ada alam malakut dan alam jabarut. Setiap alam Tuhan itu mempunyai penghuni suci seperti halnya bumi ini. Orang-orang yang memiliki kebersihan dan kejernihan spiritual dianggap memiliki kemampuan untuk "bersahabat” dan berkomunikasi dengan para penghuni alam-alam tersebut.

Sekiranya ini benar, pantas banyak sekali ulama atau sufi yang memiliki kemampuan spiritual atau supernatural yang memahami sejumlah rahasia dan misteri alam ini.

Pengalaman dalam Alquran dan hadits
Kalangan sufi sering mengilustrasikan persahabatan spiritual ini dengan pengalaman sejumlah tokoh di dalam Alquran, seperti kisah Nabi Musa dan Khidhir. Musa dengan kedudukannya sebagai nabi masih merasakan adanya kesusahan dan keletihan dalam menjalani perjalanan hidupnya: "Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (QS Al-Kahfi: 62).


Nabi Musa masih merasa memerlukan sahabat untuk berbagai pengalaman, namun ragu dan berkata, "Aku tidak mengetahui ada seorang yang lebih berilmu dariku."

Saat itu, Allah SWT menunjuk dan memperkenalkan hamba-Nya yang saleh, belakangan disebut dengan Khidhir AS, sebagaimana diabadikan dalam QS Al-Kahfi: 66-70).

Nabi Musa berkata kepada Khidir, "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”

Khidir menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”

Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.”

"Jika kamu mengikutiku, janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu," kata Khidir.

Ujung perjalanan dua anak manusia ini berakhir dengan ketidaksanggupan Nabi Musa mengikuti persyaratan yang ditetapkan oleh sahabatnya itu. Nabi Musa masih kental menggunakan dimensi logika di dalam menanggapi kelakuan sahabatnya, meskipun sudah diingatkan bahwa belum saatnya untuk bertanya apalagi memprotesnya. Misalnya, ketika sahabatnya melubangi perahu nelayan, membunuh anak kecil yang tak berdosa, dan memugar bangunan tua lalu ditinggalkan.

Dalam hadits banyak ditemukan keutamaan orang-orang yang menjalin persahabatan sejati (ash-shuhbah). Di antaranya ialah mereka akan menjadi salah satu di antara tujuh kelompok yang akan mendapatkan vila peristirahatan di bawah ‘Arasy di Padang Mahsyar, di hari ketika matahari tinggal sedepa di atas kepala dan tidak ada tempat berteduh lain selain itu.

Persahabatan spiritual juga dialami oleh para sufi. Hampir semua sufi besar pernah menceritakan sahabat spiritual sejatinya. Misalnya Imam Al-Ghazali, yang tadinya diakui tidak memberi tempat terhadap dunia tasawuf dengan segala tradisinya, berkenalan dengan seorang ulama tasawuf bernama Yusuf An-Nasaj.

Setelah keduanya menempuh perjalanan hidup intelektual-spiritual, pada akhirnya Imam Al-Ghazali sadar bahwa kehidupan paling memuaskan adalah kehidupan sufistik. Dari kesadaran inilah maka ia menulis masterpiece-nya, Ihya Ulumuddin. Ia mengakui, betapa jauh sahabatnya itu telah mengubah pandangan hidupnya dari seorang yang berkecenderungan sebagai filsuf menjadi sufi.

Hal yang sama juga dialami oleh Jalaluddin Rumi, yang lahir pada 30 September 1207 Masehi, bersahabat akrab dengan Syamsuddin Tabrizi (Syams). Ia pernah difitnah keji sebagai pasangan homoseksualnya karena syair-syair Jalaluddin Rumi dalam Masnawi-nya penuh dengan syair cinta terhadap Syams.

Padahal, yang sesungguhnya terjadi ialah persahabatan spiritual di antara keduanya. Dalam sumber lain, Syams tidak lain adalah Khidir AS (Allahu a’lam). Kita belum terlambat untuk mencari sahabat spiritual sekiranya kita belum menemukannya. Dengan usaha dan doa kepada Allah SWT, semoga kita dipertemukan dengan sahabat spiritual sejati kita. Amin.

Minggu, 12 Februari 2012

Hisab manusia di akhirat

Di dalam Al Quran Allah SWT telah berfirman :

“Setiap yang ada di atas muka bumi ini akan binasa dan yang kekal hanyalah zat Tuhan yang Maha Mulia dan Maha Besar.”
Ar Rahman : 27

“Setiap yang bernyawa akan menemui kematian.”
Al Anbiya : 35

“Sesungguhnya mati yang kamu ingin lari daripadanya itu ia akan menemui kamu.”
Al Jumu’ah :8

Demikianlah ketiga ayat di atas memberi pengertian kepada kita bahwa dunia ini dan juga kita akan mengalami kiamat. Sebelum dunia ini mengalami “kiamat kubra” (kiamat besar) maka secara berangsur-angsur dunia ini dikiamatkan secara kecil-kecilan, umpamanya pohon yang tumbang karena badai, bangunan yang runtuh karena gempa bumi atau makhluk-makhluk Allah SWT yang binasa dan musnah karena bencana alam.

Begitu juga manusia setiap hari ada yang menemui kematiannya. Adakalanya kematiannya disebabkan oleh sakit, tertabrak kendaraan, bunuh diri, mati disebabkan oleh peperangan dan berbagai lagi bentuk atau cara manusia menemui kematiannya.

Sudah menjadi “sunatullah” bahwa Allah SWT hendak menjadikan sesuatu itu dengan sebab-sebab yang tertentu. Dan matinya manusia dengan berbagai-bagai cara itu diibaratkan sebagai kiatam secara kecil-kecilan untuk sementara menunggu kiamat besar.

Allah SWT telah mentakdirkan bahwa dunia ini adalah negara sementara waktu yang tidak kekal bagi manusia. Manusia yang dilantik oleh Allah SWT di dunia ini adalah sebagai khalifah atau duta-Nya di dunia yang sementara waktu. Sementara itu kehidupan manusia di dunia adalah sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Begitu juga Allah SWT telah menetapkan bahwa disamping dunia yang hanya untuk sementara waktu, ada akhirat sebagai tempat yang kekal abadi. Manusia bukan menjadi warganegara dunia yang tetap, melainkan sebagai duta Allah SWT sebelum mengalami kehidupan akhirat yang kekal abadi atau lebih tepat lagi bahwa manusia ini adalah warganegara akhirat, sebab manusia akhirnnya akan menuju juga ke akhirat.

Siapapun juga orangnya, ia pasti akan menuju ke akhirat. Yang suka akan sampai ke akhirat, yang tidak sukapun pasti sampai juga ke akhirat. Orang yang ingat kepada akhirat akan pergi ke akhirat, orang yang tidak ingatpun pasti akan pergi juga ke akhirat.

Semua manusia akan menghadapi kehidupan di akhirat, mau tidak mau. Oleh karena itu sewaktu kita diamanahkan sebagai duta atau wakil Allah SWT di atas muka bumi ini hendaklah kita mengatur diri kita, rumahtangga kita, ekonomi, pendidikan, politik, negara dasn seterusnya alam sejagat, hingga selaras dengan peraturan yang datang dari Allah SWT. Atau lebih tepat lagi hendaklah semua aspek berdasarkan kepada Al Quran dan sunnah Rasulullah SAW. Hal yang fardhu atau sunat hendaklah sungguh-sungguh ditegakkan. Begitu juga dengan hal yang haram dan makruh hendaklah kita jauhi sungguh-sungguh. Dan dari hal yang mubah hendaklah dijadikan sebagai amal bakti (ibadah) kita kepada Allah SWT.

Apabila kita telah berhasil mengatur diri kita, rumahtangga kita, masyarakt kita dan seterusnya persoalan alam sejagat dengan segala peraturan yang datang dari Allah SWT, maka itulah yang dikatakan sebagai amal bakti atau amal sholeh.

Hal inilah yang hendak kita bawa dan persembahkan di hadapan Allah SWT di akhirat nanti. Inilah yang dikatakan pengabdian diri kepada Allah SWT. Sebuah konsep ibadah di dalam ajaran Islam adalah luas. Dan hendaklah kita ingat bahwa persoalan rukun iman yang lima itu adalah merupakan ibadah yang asas dan yang menjadi tapak dalam ajaran Islam.

Apabila setiap amal bakti kita, usaha dan ikhtiar kita baik kecil atau besar dan juga setiap perjuangan dan jihad kita selaras dengan Al Quran dan sunnah, maka itulah yang dikatakan sebagai amal taqwa. Amalah taqwa itulah yang merupakan bekal kita yang paling baik lagi teguh untuk menjalani kehidupan di akhirat nanti., Ini bertepatan sekali dengan firman Allah SWT yang artinya :

“Berbekallah, sebaik-baik bekal (untuk dibawa ke akhirat ialah taqwa.” Al Baqarah: 197

Amal taqwalah yang bakal menyelamatkan kita dari neraka dan sebab untuk kita masuk ke dalam syurga Allah SWT. Sebab itu hendaklah kita senantiasa berbekal sewaktu kita menjadi duta dan wakil Allah SWT sewaktu berada di dunia ini. Apa saja pekerjaan dan perbuatan kita hendaklah dijadikan sebagai ibadah yang merupakan amalah taqwa.

Apabila dunia hendak dikiamatkan oleh Allah SWT, maka di kala itu tidak terdapat seorang pun orang Mukmin, bahkan tidak ada seorang pun yang menyebut perkataan ALLAH. Mereka inilah yang akan dikiamatkan kubra oleh Allah SWT nnanti. Mereka nantinya akan terkejut menghadapi persoalan kiamat yang begitu hebat sekali. Itulah yang dikatakan sebagai “sangkakala” yang pertama. Maka di kala itu musnah, punah, dan huru-haralah bumi dan seluruh alam sejagat.

Ditiupnya sangkakala yang kedua menghidupkan seluruh makhluk yang bangkit dari kubur dalam keadaan tanpa berpakaian. Disamping itu manusia juga dihidupkan sesuai dengan tabiat atau perilaku mereka masing-masing sewaktu di dunia. Artinya bentuk dan rupa mereka mengikuti seperti apa bentuk kehidupan yang mereka jalani sewaktu di dunia ini.

Seandainya sewaktu hidupnnya di dunia suka menipu, berdusta, pembelit seperti ular, maka ia akan dirupakan Allah SWT seperti ular. Jika tabiatnya sewaktu hidup seperti serigala, maka ia akan dibangkitkan seperti serigala. Jika hidupnya sewaktu di dunia seperti babi, maka ia akan dirupakan seperti babi juga. Begitu juga sekiranya hidup di dunia berperangai seperti anjing, maka ia akan dirupakan seperti anjing.

Setelah itu seluruh makhluk akan dihalau ke suatu padang yang dinamakan “Padang Mahsyar”. Yaitu suatu padang tempat berhimpunnya seluruh makhluk Allah SWT terutamanya manusia, yang dimulai dari Nabi Adam a.s hingga akhir manusia yang belum kita ketahui siapa adanya. Di Padang Mahsyar inilah berkumpulnya seluruh makhluk dan ini merupakan suatu perhimpunan raksasa yang belum pernah wujud sebelumnya.

Terlalu banyaknya makhluk yang berkumpul, menyebabkan keadaan saat itu terlalu berdesakan bahkan untuk duduk pun tidak bisa. Umpama tumpukan rokok yang berada di dalam kotak rokok. Ini disebabkan oleh karena terlalu ketat dan padatnya manisa saat itu. Sementara matahari berada hanya sejengkal diatas kepala manusia. Maka sudah tentu suasana ini menimbulkan kesusahan dan kesengsaraan kepada manusia dan seluruh makhluk Allah SWT.

Walaupun manusia seluruhnya diwaktu itu dalam keadaan tanpa berpakaian, namun masing-masing tidak mempedulikan diri orang lain. Ini disebabkan oleh huru-hara dan kesulitan yang menimpa manusia. Manusia di kala itu hanya memikirkan diri mereka masing-masing karena terlalu bimbang dan takut menghadapi hari akhirat.

Kemudian manusia yang begitu bannyak itu dibariskan oleh Allah SWT sebanyak 120 barisan. Mungkin timbul di dalam fikiran kita, di antara 120 barisan itu berapa banyaklah yang matinya membawa iman ? Sebab di dalam Al Quran Allah SWT menjelaskan :

“Sedikit sekali hamba-Ku yang bersyukur”.
QS. Saba’ : 3

Sebenarnya, hanya tiga barisan saja di antara sekian banyaknya manusia yang matinya membawa iman. Inilah diantara mereka yang dianggap sebagai orang yang beriman. Sementara 117 berisan yang lain itu adalah terdiri dari orang-orang kafir dan mereka kekal di dalam neraka.

Jelaslah bahwa hanya tiga barisan saja yang membawa iman, sementara yang lainnya itu matinya dalam keadaan kafir dan menyekutukan Allah SWT.

Oleh karena iman manusia di antara satu sama lain tidak sama, maka Allah SWT membagi tiga barisan ini kepada empat barisan pula atau kita katakan bahwa mereka yang mati membawa iman itu dibagi dalam empat golongan:

Golongan “Bi ghairi hisab” (golongan yang tidak dikenakan hisab)\
Golongan “Ashabul yamin” (golongan yang menerima suratan di tangan kanan)
Golongan “Ashabus syimal” (golongan yang menerima suratan di tangan kiri)
Golongan “Ashabul A’raf” (golongan yang berada diantara syurga dan neraka)

Adapun golongan “Bi ghairi hisab” adalah terdiri dari para nabi dan rasul dan pada aulia Allah (kekasih Allah). Para aulia Allah adalah mereka yang memang bersungguh-sungguh menjaga setiap perintah dan larangan dari Allah. Mereka begitu menjaga hal yang wajib dan sunat dan sungguh meninggalkan hal yang haram bahkan hal yang makruh pun mereka tinggalkan.

Para aulia Allah adalah mereka yang paling sabar dan senantiasa redha terhadap apa saja yang menimpa mereka. Hati mereka senantiasa baik sangka kepada Allah atas apa saja musibah yang menimpa mereka.

Selain dari itu, mereka yang termasuk dalam golongan “Bi ghairi hisab” ini adalah para syuhada (orang yang mati syahid). Mereka adalah golongan orang “Muqarrabin” yang artinya orang yang terlalu dekat dengan Allah SWT disebabkan pengorbanan mereka dalam menegakkan agama Allah SWT. Bahkan nyawapun sanggup mereka korbankan semata-mata untuk mempertahankan agama Allah SWT. Sebab itu tidak heran mengapa mereka mendapat kedudukan yang begitu tinggi di sisi Allah SWT.

Orang yang terlalu sabar juga termasuk dalam golongan “Bi ghairi hisab”. Sabar itu terbagi dalam tiga bagian :

Sabar melaksanakan perintah dari Allah SWT
Sabar menjauhi larangan dari Allah SWT
Sabar menghadapi segala ujian dari Allah SWT

Sabar melaksanakan perintah Allah SWT bukanlah suatu perkara yang mudah untuk dilaksanakan. Termasuk sabar melaksanakan perintah Allah SWT ialah seperti sabar mengerjakan shalat, berpuasa, berjuang, dan sebagainya. Semuanya itu bukan hal yang mudah untuk dilaksanakan. Sekiranya kita berhasil sabar melaksanakan perintah dari Allah SWT, maka lebih sukar lagi bagi kita untuk sabar menjauhi larangan dari Allah SWT. Terutama untuk bisa sabar menjauhi larangan Allah SWT pada maksiat pandangan mata.

Setelah kita bersabar terhadap segala larangan Allah SWT, maka lebih sukar lagi bagi kita untuk sabar menerima ujian dari Allah SWT. Kita dituntut untuk bisa sabar terhadap ujian-ujian dari Allah SWT kepada manusia seperti sakit, miskin, difitnah, kematian akan isteri, kematian ibu ayah dan sebagainya. Itu semuanya adalah ujian yang Allah SWT datangkan kepada manusia untuk menguji manusia, siap diantara mereka yang paling baik amalannya di sisi Allah.

Manusia hendaknya bersabar dan redha terhadap ujian-ujian tersebut. Karena ujian yang Allah SWT datangkan kepada manusia itu hakikatnya adalah didikan secara langsung dari Allah SWT kepada hamba-Nya. Kebanyakan manusia dididik melalui manusia yang lain melalui zahirnya. Tetapi pada hakikatnya yang mendidik manusia adalah Allah SWT sendiri. Dan ujian-ujian yang menimpa manusia sebenarnya adalah didikan secara langsung dari Allah SWT.

Oleh karena itu kita sebagai hamba-Nya hendaklah bersabar dan redha. Sebab sebagaimana yang kita tahu ujian-ujian yang datang dari Allah SWT sekiranya kita bersabar, sebenarnya ini merupakan kasih sayang dari Allah SWT kepada hambanya. Hal itu juga merupakan penghapusan dosa dari Allah SWT sekiranya kita bersabar. Demikian juga ia merupakan derajat dan pangkat yang akan Allah SWT kurniakan bagi manusia yang mau menerima didikan secara langsung dari Allah SWT seperti ini.

Seringkali, apa yang manusia mau ialah didikan melalui manusia yang lain seperti dari para tuan guru, ustaz, alim ulama dan sebagainya. Kebanyakan manusia memang tidak menginginkan sama sekali untuk mendapatkan didikan langsung dari Allah SWT seperti ini karena tidak dapat bersabar dan redha menghadapinya.

Ingatlah, seandainya manusia tidak berhasil dididik secara langsung dari Allah SWT, maka janganlah diharapkan ia berjaya untuk menerima didikan dari manusia yang lain. Sebab itu kita melihat betapa kuatnya ujian yang menimpa para nabi dan rasul, karena sebenarnya itulah didikan secara langsung dari Allah SWT kepada mereka.

Oleh karena itulah tidak heran bagaimana kuatnya iman para nabi dan rasusl semuanya. Sebab mereka menerima didikan atau pimpinan secara langsung dari Allah SWT.

Jauh berbeda dengan keadaan kita yang justru tidak senang apabila menerima ujian dari Allah SWT sedangkan itu merupakan didikan secara langsung dari Allah SWT. Sedangkan seandainya kita berhasil menghadapi itu semua, maka kita akan termasuk dalam golongan “Bi ghairi hisab” di akhirat kelak.

Dan termasuk juga dalam golongan ini di akhirat kelak ialah orang fakir yang mana ia bersabar dengan kefakirannya. Mereka ialah orang yang tidak mempunyai apa-apa pun harta benda di dunia. Apa yang ada pada mereka hanyalah pakaian yang sehelai sepinggang. Sebab itu mereka tidak dihisab di akhirat kelak. Bagaimana mungkin mereka akan dihisab sementara apa yang ada pada diri mereka hanyalah pakaian yang melekat di badan.

Disamping itu, termasuk dalam golongan “Bi ghairi hisab” ini ialah orang ahli makrifat. Yaitu orang yang begitu kenal dengan Allah SWT. Oleh karena mereka terdiri dari orang yang kenal akan Allah, maka hati mereka setiap masa senantiasa ingat akan Allah SWT. Hatinya juga setiap masa terasa hebat tentang kebesaran dan keagungan Allah SWT. Begitu juga hatinya itu setiap maa senantiasa terasa rindu kepada Allah SWT.

Apabila kiat ukur diri kita dengan mereka, terasa sekali jauh perbedaannya. Mereka adalah orang yang senantiasa mengingati Allah SWT, sedangkan kita senantiasa lalai dan durhaka kepada Allah SWT. Bukan suatu hal yang mudah untuk senantiasa ingat akan Allah SWT. Sedangkan sholat yang disebutkan oleh Allah SWT sebagai mengingati-Nya pun tidak dapat kita mengingat Allah SWT, lagilah di luar sholat kita akan semakin tidak dapat mengingati Allah SWT.

Jelaslah bahwa untuk menjadi ahli makrifat yaitu orang yang benar-benar kenal Allah SWT bukanlah suatu hal yang mudah. Ianya merupakan suatu hal yang amat susah untuk dicapai oleh kita yang memang senantiasa lalai terhadap Allah SWT.

Itulah diantara orang-orang yang termasuk di dalam golongan “Bi ghairi hisab” di akhirat kelak. Cobalah ukur diri kita, apakah kita termasuk dalam golongan ini ?

Adapun golongan “Ashabul yamin” atau golongan orang yang menerima kitab dari tangan kanan ialah golongan orang-orang soleh, abrar ataupun golongan “muflihun”. Adapun golongan “Ashabul yamin” yaitu orang-orang yang memiliki sekurang-kurangnya Iman ayan dan mereka juga adalah orang yang amal kebajikannya melebihi kejahatannya. Sungguh pun golongan ini terlepas dari azab neraka, namun mereka tidak terlepas menerima hisab dari Allah SWT. Mereka agak lambat untuk menempuh “Siratul mustaqim” disebabkan oleh pemeriksaan terhadap mereka.

Diterangkan bahwa di atas titian “Siratul Mustaqim” terdapat lima tempat pemeriksaan. Dan lima tempat pemeriksaan itu dijaga oleh para malaikat yang tugasnya memeriksa setiap hamba Allah. Bayangkanlah bagaimana sekiranya kita terhenti di kelima-lima tempat pemeriksaan itu ? sedangkan sehari di akhirat dinisbahkan dengan hari dunia adalah selama seribu tahun.

Sebab itu tidak heran mengapa orang-orang “Muqarrabin” itu tidak mau menjadi orang soleh. Sebab orang soleh, walaupun masuk ke syurga, terpaksa dihisab terlebih dahulu. Ini sudah tentu menyusahkan mereka. Sebab itu mereka lebih suka untuk mati syahid dalam mempertahankan agama Allah SWT. Sebab orang yang mati syahid, langsung dimasukkan oleh Allah SWT ke dalam syurga.

Terpaksa terhenti untuk dihisab di “Siratul Mustaqim” adalah merupakan penderitaan dan azab bagi golongan muqarrabin. Sebab itu di dalam kitab terutama kitab-kitab Tasawuf ada diterangkan bahwa kebaikan yang dibuat oleh orang abrar/orang soleh adalah merupakan kejahatan bagi golongan muqarrabin. Bagi golongan muqarrabin, sesuatu hal yang dianggap halal tetapi menyebabkan akan dihisab, itu adalah suatu kejahatan.

Untuk mengukur mudah atau tidaknya menjadi orang yang soleh, marilah kita lihat kenyataan Al Imam Ghazali. Al Imam Ghazali mengatakan bahwa orang yang hendak menjadi orang yang soleh itu mestilah 24 jam yang Allah SWT untukkan kepadanya, mestilah 18 jam diisi dengan alam baik. Cuma 6 jam saja masanya itu digunakan untuk melakukan hal yang mubah.

Adapun golongan yang ketiga yaitu “Ashabul syimal” yaitu golongan yang akan menerima kitab dari tangan kiri. Mereka ini ialah orang Mukmin yang ‘Asi atau Mukmin yang durhaka. Kejahatan mereka lebih berat dari kebaikan yang mereka lakukan. Mereka ini akan dimasukkan ke dalam neraka dahulu, sebelum dimasukkan ke dalam syurga. Mereka dimasukkan ke dalam neraka sebagai berdasarkan kepada dosa dan maksiat yang mereka lakukan. Setelah tamat penyiksaan mereka di neraka, barulah mereka akan dimasukkan ke dalam syurga.

Adapun golongan yang akhir ialah golongan “Ashabul A’raf” yaitu golongan yang amal kebaikan dan kejahatannya itu sama banyak. Golongan ini walaupun mereka terselamat dari masuk ke neraka, tetapi mereka lebih lambat masuk ke syurga daripada golongan “Ashabul yamin” yang setelah menempuh sirotul mustaqim, tidak ada halangan lagi untuk masuk ke syurga. Tetapi bagi golongan “Ashabul A’raf”, setelah mereka menempuh “Sirotul mustaqim” mereka masih lagi dihadang untuk ke syurga.

Mereka akan didera oleh Allah SWT di hujung “Sirotul mustaqim”. Bagaimana deraan Allah SWT terhadap mereka ? Deraan yang dikenakan Allah SWT kepada golongan “Ashabul A’raf” ialah diperintah supaya mereka meminta satu amal kebajikan kepada penghuni syurga. Sesiapa dari golongan mereka yang diberi oleh penghuni syurga satu amal kebajikan, maka dia diperbolehkan untuk masuk ke syurga. Maka mondar-mandirlah mereka untuk meminta belas kasihan penghuni-penghuni syurga. Setelah sekian lama, maka barulah Allah SWT masukkan ke dalam hati penghuni syurga untuk memberikan kepada mereka satu amalan kebajikan.

Tetapi anehnya, orang yang mempunyai banyak amal kebajikannya tidak mau langsung memberikan satu amalan kebajikannya kepada golongan ini. Sebaliknya mereka yang memberikan amal kebajikannya ialah orang yang mempunyai lebih satu saja amalan kebajikannya.

Maka Allah SWT pun berfirman kepada golongan ini yang antara lain,

“Sekiranya kamu hamba-hamba-Ku yang mempunyai lebih satu amalan kebajikan, begitu pemurah kepada hamba-hamba-Ku dan terus ke syurga, maka sesungguhnya Aku lebih pemurah dari itu.”

Maka dengan ini hamba Allah yang pemurah itu pun dinaikkan derajatnya oleh Allah SWT di syurga. Inilah kelebihan yang dikaruniakan oleh Allah SWT kepada mereka di akhirat.

Dari uraian-uraian yang dijelaskan di atas marilah kita membuat ukuran di golongan manakah kita berada ? Apakah kita berada di golongan “Bi ghairi hisab” ? “Ashabul yamin” ? “Ashabus syimal” ? atau “Ashabul A’raf” ?

Sumber dari sini

Senin, 06 Februari 2012

Ibadah haji itu seharusnya membersihkan hati dan mensucikan jiwa terlebih dahulu

Kritik Tentang Haji
Menarik dicermati kritik Imam Al-Ghazali dalam karya magnum opus-nya, Ihya’ Ulumuddin. Dengan keras dan lantang, hujjatul Islam itu mengkritik habis-habisan para haji, baik yang melakukannya kali pertama (haji wajib), maupun yang berkehendak mengulanginya untuk kali kedua dan seterusnya (haji sunnah).

Terhadap mereka yang berangkat haji untuk kali pertama, Al-Ghazali melontarkan kritiknya, diantara mereka banyak yang berangkat tanpa lebih dulu membersihkan jiwa dan hatinya. Mereka banyak yang mengabaikan aspek-aspek ibadah haji yang berdimensi psikis maupun etis, sehingga setiap sampai di Tanah Suci mereka tidak mampu menjaga kesucian diri untuk tidak menghujat, mengolok-ngolok, dan berkata keji.

Sedang bagi mereka yang Ahlul Haj (berkali kali naik haji), dengan menukil sebuah kisah spiritual bernuansa sufistik, Al-Ghazali menyebut orang-orang yang lebih antausias menjalankan ibadah sunnah berulang-ulang daripada memberi sedekah kepada para tetangganya yang menggelepar kelaparan dan hidup dalam penderitaan, sebagai orang yang terpedaya (ghurur) karena mengabaikan skala prioritas dalam beribadah.

Kritik yang disampaikan Al-Ghazali itu sebenarnya sangat relevan dan signifikan bagi kondisi bangsa kita yang kini dihadapkan pada persoalan kemiskinan akibat krisis berkepanjangan. Menurut hemat saya, untaian hikmah yang sering dibentangkan kaum sufi itu, sebenarnya merupakan reaktualisasi suatu ibadah yang telah lama berkarat karena terbungkus lumpur kepicikan egoisme sendiri dan arogansi personal yang telah merasa “paling Islam”.

Pertanyaannya kemudian, bila saja 10.000 calon haji ulang bersepakat mendayagunakan dana haji ulangnya, sehingga terkumpul cash money sekitar Rp. 250 milyar, lalu dana itu dimanfaatkan untuk mengentaskan rakyat miskin yang kini berjumlah lebih dari 30 juta, apakah pahalanya sama dengan melaksanakan ibadah haji?
Mungkinkah hukum ibadah haji ulang bergeser dari sunnah menjadi makruh, atau bahkan haram?

Tiga Kategori
Secara umum, ada tiga kategori pengulangan pelaksanaan ibadah haji, yaitu :

  1. Mengulangi karena haji yang terdahulu (yang pertama) belum sah, lantaran ada beberapa syarat dan rukun yang mungkin tidak sempat (lupa) dijalankan.
  2. Mengulangi karena haji yang terdahulu tidak memenuhi syarat dan rukun secara sempurna, tetapi si pelaksana tidak justru merasa belum pas karena ibadahnya tidak dilakukan dengan khusuk, misalnya.
  3. Mengulangi semata-mata untuk memperbanyak amalan sunnah.
Dua kategori yang disebut belakangan itulah yang menurut hemat saya relevan dengan kritik Al-Ghazali kepada orang-orang yang kemaruk melaksanakan ibadah haji. Mayoritas umat Islam Indonesia, bahkan yang hidup di tengah komunitas Muslim mancanegara, sampaisaat ini masih memutlakkan wajibnya haji pertama, dan sunnah bagi yang bermaksud mengulangi untuk kali kedua dan seterusnya. Pandangan semacam ini, tampaknya disebabkan karena mayoritas umat Islam tidak memiliki pengetahuan cukup memadai tentang thuruq al-istimbath al-ahkam (metode-metode pengambilam hukum), sering ketidakberdayaan mereka dalam memahami ajaran Islam secara benar, integral, dan komprehensif. Maka selama ini yang diketahui masyarakat, ibadah haji itu hukumnya wajib dan sunnah bagi mereka yang mengulanginya. Mereka belum menjumpai hukum haji itu makruh, atau bahkan haram, misalnya.

Para ulama menetapkan hukum wajib dan sunnah itu karena mendasarkan pikirannya pada nash yang dianggapnya qath’i (pasti). Ini sebagaimana platform-Nya : ”Allah mewajibkan atas manusia untuk menyengaja bait (pergi ke Baitullah menunaikan ibadah haji) bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke sana” (QS.3:97).

Sedangkan penetapan hukum sunnah didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, yang artinya : “Barang siapa ingin menambah atau mengulangi ibadah haji itu hukumnya sunnah”.

Haji makruh
Lalu kapan haji itu dihukumi makruh? Seorang ahli fikih Irak, Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i, yang lahir tahun 46 H (666 M) dan hidup pada era pemerintahan Bani Umayah, pernah mengeluarkan sebuah fatwa hukum, bahwa sedekah itu lebih baik daripada haji sunnah. Artinya,mengulangi ibadah haji sesudah haji yang pertama itu makruh hukumnya (Moh Rowas, Mausu’ah Fiqh Ibrahim al-Nakha’i).
Melihat fatwa hukum makruh haji ulang itu, persoalan yang segera muncul adalah, apa yang dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum (istimbath al-ahkam) haji makruh itu?
Sebagaimana diketahui, dalam menetapkan hukum Islam jika mujtahid memperoleh petunjuk dalam nash, maka operasionalisasi kaidah-kaidah kebahasaan menjadi perhatian utama bagi mereka, seperti hukum wajibnya haji yang ditunjuk Al Qur’an S. 3:97 itu.

Namun, hukum dasar wajib seperti tersurat dalam nash itu, bisa mengalami perubahan ketika dijumpai illat (alasan hukum) dasar itu. Dari sini lalu muncul sebuah kaidah hukum, al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman. Artinya, ada atau tidaknya suatu hukum itu amat tergantung pada sebab-sebab yang mempengaruhinya.

Berdasar kaidah itu, maka bisa saja hukum ibadah haji yang pada asalnya wajib bagi umat Islam yang mampu, berubah menjadi haram, misalnya. Dihukumi haram, bila pelaksanaan ibadah haji itu justru akan menghancurkan sisi kemaslahatan sebagai landasan pokok pembentukan sebuah rumusan hukum Islam. Contohnya mengadakan biaya naik haji dengan berutang, sementara persediaan atau potensi untuk membayar utang tidak ada. Demikian juga, bila biaya pelaksanaan ibadah haji merupakan komponen fundamental yang amat dibutuhkan bagi kelangsungan hidup dan kehidupan keluarga, sementara tidak ada sumber lain yang dapat dijadikan sarana meraih kebutuhan primer.

Hukum haram ini memang tidak didasarkan pada dalil yang qah’i, tetapi disandarkan pada kaidah fikih, man ista’jala syai’an qabla awanihi uqiba bihirmanihi. Artinya, barangsiapa mempercepat sesuatu sebelum masanya, maka dihukumi haram melaksanakannya.

Perubahan hukum seperti itu, tentu saja tidak diperoleh penjelasannya secara rinci dalam Al-Qur’an. Karena itu, dalam memberi dan mengkonstruksi hukum dalam Islam, penggunaan kaidah-kaidah fiqhiyyah, ushuliyah, dan lughawiyah menjadi amat urgen untuk merumuskan kesimpulan-kesimpul an metodologis.

Pengentasan Kemiskinan
Sebagaimana halnya pengulangan ibadah haji yang disebut oleh hadits di muka sebagi “sunnah”, maka hukum sunnah ini bisa saja bergeser menjadi “makruh” dan atau bahkan “haram”, apabila nyata-nyata bertentangan dengan maslahat (kebaikan) yang ditetapkan secara qath’i (pasti).
Memelihara anak yatim dan menyantuni fakir miskin, yang disebut berkali-kali sebagi program pengentasan kemiskinan oleh Al-Qur’an, hemat saya, merupakan maslahat yang qath’i dan amat mendesak dilaksanakan ketimbang menunaikan ibadah haji sunnah (haji ulang) yang disandarkan dalil zanny (hadits).

Imam Malik, sang pencetus metode maslahah mursalah mengungkapkan, tiap maslahat sebenarnya merupakan takhshish (pengkhususan) terhadap keumuman nash yang zanny (Abu Zahrah, Ushul Fiqh). Jadi dalam konteks ini, menyerahkan dan mendayagunakan dana haji ulang (haji sunnah) untuk mengentaskan kemiskinan memberi beasiswa kepada mereka yang tak mampu, bahkan pemberian modal kepada mereka yang miskin agar mampu menciptakan lapangan kerja, misalnya, hemat saya merupakan maslahat yang amat mungkin nilainya lebih baik dan lebih panjang dibanding ibadah haji sunnah.

Prinsip kemaslahatan inilah yang oleh Ibrahim al-Nakha’i dijadikan sebagai asas untuk istimbath al-ahkam (pengambilan hukum), sehingga ia berkesimpulan, haji ulang itu hukumnya makruh. Dengan demikian, hukum makruh ibadah haji ini adalah hukum yang bergerak dari hukum sunnah karena adanya suatu sebab (illat), yaitu kebutuhan dana bagi orang-orang tertentu yang secara ekonomis dan politis tidak beruntung, seperti biaya pendidikan, pemberian modal kerja, dan kebutuhan-kebutuhan lain yang mendesak bagi fakir miskin.
Dengan kata lain, atas dasar pertimbangan etika dan kemaslahatan serta perubahan illat (alasan hukum) berupa kebutuhan yang bersifat urgen dan mendesak pada sementara bangsa kita yang kini menderita akibat krisis multidimensi, seperti penciptaan lapangan kerja baru, bantuan bagi korban bencana alam, biaya rehabilitasi tempat-tempat ibadah dan perumahan akibat kerusuhan.

Maka, sekali lagi, hukum haji ulang yang semula “sunnah” hemat saya, bisa bergeser menjadi “makruh”, dalam arti lebih baik ditangguhkan, bahkan ditinggalkan. Tetapi harus dipahami, yang menyebabkan makruh itu adalah sikap meninggalkan kemaslahatan yang qath’i dengan mendahulukan ibadah sunnah yang penetapan hukumnya berdasarkan dalil zanny. Jadi bukan hajinya itu sendiri.

Menyerahkan dan mendayagunakan haji sunnah (haji ulang) bagi mereka yang membutuhkan, jelas merupakan maslahat yang berimplikasi positif bagi dinamika sosial komunitas Muslim dalam skala luas. Ini amat relevan dan signifikan buat kondisi bangsa Indonesia yang kini secara obyektif sedang dihadapkan pada persoalan kemiskinan akibat krisis yang berkepanjangan.

Mengingat secara kuantitatif umat Islam Indonesia menempati mayoritas, maka problem kemiskinan merupakan urusan umat Islam itu sendiri yang menuntut perhatian dari kita yang mengklaim diri sebagai Muslim. Bukankah Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan secara keras kepada kita, “Barang siapa tidak mau memperhatikan urusan kaum Muslim, maka ia tidak termasuk kelompok mereka”. Beliau juga memberikan sinyalemen : “Tidak beriman orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya menggelepar kelaparan (padahal ia mengetahui kondisi tetangganya itu)”.

Karena itu, sebagai epilog tulisan ini, saya mengimbau kepada kaum Muslim yang telah meraih gelar haji dan berkeinginan untuk melaksanakan lagi untuk kali kedua dan seterusnya, urungkan niat itu. Ikhlaskan dan serahkan saja dana dana haji ulang itu kepada mereka yang tertindas baik secara ekonomis maupun politis untuk karya-karya yang produktif dan monumental.

Kalau saja kita berhaji tiga kali kemudian meninggal, maka tidak ada lagi nilai tambah (added value) atau pahala bagi ibadah kita. Berbeda bila kita cukup berhaji sekali saja, lalu dana yang dua kali itu, misalnya, didayagunakan untuk beasiswa bagi mereka yang miskin, dan orang-orang yang ada di dalamnya menjadi kreatif dan produktif kita akan tetap memperoleh pahala yang selalu berkesinambungan, meski kita telah terbujur kaku di liang kubur.

Rukun Islam urutannya adalah final
Rukun Islam ada 5 dan urutannya adalah final. Artinya rukun Islam tidak bisa ditukar atau dibolak-balik urutannya. Urutan ini memiliki tujuan skala prioritas. Orang yang berkewajiban sholat, membayar zakat, puasa ramadhan, dan haji adalah orang Islam artinya orang yang telah membaca syahadat dan benar syahadatnya.
Jadi apa maksudnya? Maksudnya, Syahadat dulu dengan benar baru Sholat, Sholat dulu dengan benar baru Zakat, Zakat dulu dengan benar baru Puasa, dan Puasa dulu dengan benar baru Haji. Banyak orang yang mengaku Muslim dalam menjalankan Rukun Islamnya loncat-lancat karena tidak memahami Rukun Islam itu sendiri yang final urutannya yang sekaligus mengandung makna skala prioritas. Loncatnya banyak yang tidak tanggung-tanggung, Syahadat belum benar saja sudah langsung naik haji, sehingga hajinya percuma.

Contohnya: Syarat haji mabrur itu salah satunya adalah biaya yang digunakan adalah halal. Tetapi karena Syahadat yang belum benar, mereka kadang memperoleh uang dari hasil yang tidak benar misalnya bohong sana-bohong sini dan curang sana-curang sini dalam berdagang, korupsi sana korupsi sini sebagai pegawai dan pejabat, bahkan ada yang berasal dari keyakinan menyekutukan- Nya, misalnya memelihara tuyul, minta ke simbah A yang telah meninggal, dan lain-lain. Semua ini bertentangan dengan yang Allah tetapkan dan Rosul contohkan.

Salah satu syarat dalam menunaikan ibadah haji adalah bila mampu. Mampu disini jangan dimaknai dengan dipersempit. Mampu disini secara ekonomi bukan hanya mampu sebatas biaya yang akan digunakan untuk biaya perjalanan, tetapi juga mampu secara ekonomi untuk keluarga yang ditinggalkan selama ditinggal ibadah haji. Keluarga disini banyak orang Muslim salah mengartikan. Keluarga itu ada keluarga satu rumah atau keluarga ikatan darah, keluarga sesama Muslim yang meliputi satu rumah, RT, RW, Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Propinsi dan Negara, bahkan keluarga Non-Muslim karena Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin.

Benar sekali bila jaman Bani Umayah dulu, naik Haji ke-2 dimakruhkan karena kondisi Negara sedang pailit. Maka untuk Indonesia masalah Haji perlu dikaji lagi. Tolong MUI. Mungkinkah di Indonesia karena keadaan Negara haji ke-2 dan seterusnya Makruh, Umroh haram, dan seterusnya? Dengan melihat kondisi Indonesia yang banyak bencana, terutama bencana kelaparan seperti busung lapar, penulis sangat sedih bila mendengar kuwota haji naik dan peserta haji setiap tahun naik. Bahkan ada yang lebih menyedihkan lagi apabila mereka itu haji ke-2, ke-3, ke-5, dan seterusnya. Atau bahkan itu hanya sekedar umroh yang banyak orang menganggap itu hanya wisata religius. Penulis sangat sedih pula bila melihat pamflet yang dipasang strategis dan bertuliskan besar dengan tulisan, “Umroh bersama KH. Fulan” yang seharusnya Beliau ini lebih tahu tentang semua ini.

Bila kita cermati, trend orang naik haji di Indonesia banyak ragamnya. Antara lain sebagai berikut:

Ibadah
Ini ibadah hajinya untuk orang-orang yang benar-benar mampu secara lahir batin.

Kehormatan
Inilah naik yang tidak pernah turun. Tidak ada turun haji. Dan inilah di Indonesia ibadah rukun Islam yang titelnya ditulis, bahkan ditulis didepan namanya. Kalau kita mau adil, seharusnya rukun Islam sebelum yang ke-5 juga ditulis. Misalnya, Syahadat (Sy) Fulan, Sholat (Sh) Fulan, Zakat (Z) Fulan, Puasa (P) Fulan, dan Haji (H) Fulan. Atau semuanya, Syahadat.Sholat. Zakat.Puasa. Haji Fulan atau SyShZPH Fulan. Naik haji agar terhormat (Kajen-Jawa), agar disebut pak haji atau bu haji.

Meledek Allah
Kalau kita cermati, banyak orang berulang kali haji. Katanya untuk bertobat. Tapi setiap kali pulang haji kelakuannya bejat lagi. Apakah tidak meledek Tuhannya?

Mencari Kekayaan
Melempar jumrah adalah symbol melempar syetan. Batu sejumlah 7 buah harus untuk melempar semuanya. Tetapi ada orang yang melempar tidak semuanya, untuk dibawa pulang untuk tujuan pesugihan. Apabila tidak dilemparkan semua berarti dia sayang dengan syetan.

Bunuh diri
Adalagi haji memaksakan diri, baik secara fisik dan materi. Secara fisik, katanya biar mati di Mekah. Secara ekonomi, belum saatnya memaksakan dengan menjual harta bendanya sehingga saat dia pulang haji sudah tidak punya apa-apa. Padahal di Islam memanen yang belum saatnya itu dilarang. Apa hukumnya menyiksa diri dan bunuh diri?

Beribadah yang Sombong
Indonesia ini sebenarnya secara ekonomi tidak mengalami krisis. Tetapi adalah krisis moral. Tahukah Anda penduduk Indonesia mayoritas (±85%) Muslim? Apabila menganut Teori Probabilitas siapakah yang sebenarnya mempunyai peran banyak terhadap bangsa ini atau yang tidak bermoral? Jangan heran. Banyak di Indonesia orang yang mengaku Muslim sangat sombong, riya dan lain-lain. Bahkan sombong atau riya tidak tanggung-tanggung, bukan hanya dalam kehidupan umum saja, tetapi bahkan dalam beribadah pun sombong. Contohnya ibadah Haji. Anda tahu Indonesia tidak krisis ekonomi? Salah satunya adalah jalanan semakin macet, dan bila anda perhatikan disana banyak mobil pribadi bukan mobil umum. Sejak tahun 1998 jamaah haji semakin naik pesertanya.

Kasus Haji kelaparan pada musim haji 2006-2007 bisa jadi ini merupakan peringatan sekaligus hukuman. Itulah rasanya bila terlantar, itulah rasanya bila kelaparan seperti saudara-saudara kita yang kelaparan dan busung lapar yang anda tinggalkan di tanah air. Bila anda cermat dan jeli, tahu rukun Islam secara final dan prioritas untuk memperoleh pelajaran dan hikmah seperti itu tidak perlu sampai naik haji dengan biaya mahal. Tetapi bila kita menjalankan puasa dengan sungguh-sungguh anda bisa petik semua pelajaran itu dari puasa sehingga tidak perlu sampai mekah. Sudahkah anda menjalankan puasa sungguh-sungguh? Sudah saatnya kah anda naik haji?

Indonesia ini sebenarnya memang makmur bila orangnya bermoral. Kekayaan ini cukup bila merata. Selama ini kekayaan hanya menumpuk di tempat tertentu. Dan yang lebih menyedihkan mereka yang diberi amanah ingkar. Anda pernah menonton acara TV dengan judul acara Rumah Antik? Kebanyakan itu bukan rumah antik, tapi rumah kesombongan dan keangkuhan, karena disana tertumpak barang-barang yang mewah dan mahal harganya. Coba bila itu semua digunakan untuk usaha yang bisa menghidupi orang banyak. Apa yang terjadi? Dan coba anda hitung, bila biaya naik haji itu 30 juta dan orang yang naik haji 300 ribu orang. Bisa untuk membuat usaha/industri apa sajakah? Bisa menghidupi orang Muslim berapakah?

Apabila uang untuk haji anda gunakan untuk usaha, berapakah pahalanya? Lebih besarkah daripada untuk naik haji dengan kondisi Negara seperti ini? Bila anda memiliki usaha dan memiliki karyawan, misalnya 10 orang. Berapa pahalanya? Dari 10 karyawan anda, mereka memiliki 1 istri dan 2 anak, artinya anda telah menghidupi 40 orang. Bagaimana bila anda memilki 1000 karyawan? Berapa pahalanya? Selama ini bila kita cermati masalah sosial berangkat dari masalah ekonomi, artinya anda telah sukses membuat banyak orang menjadi orang yang lebih baik. Berapakah pahalanya? Kemudian dari sekian banyak karyawan anda jadi bisa beribadah dengan baik, beramal dengan baik, apakah ini tidak seperti amal jariyah anda? Dan berapakah pahala amal jariyah? Allahu akbar.

Orang Islam Harus Kaya
Ingat orang Islam harus kaya. Banyak masalah social dan kejahatan hidup berangkat dari masalah ekonomi, bukan hanya masalah iman. Dan hanya orang kaya yang mampu membatu dengan optimal secara ekonomi. Orang miskin membantu orang miskin adalah tambal sulam. Ingat Fakir tipis bedanya dengan Kafir, bila tidak kuat imannya. Secara tulisan tinggal membalik huruf. Banyak orang miskin menyalahkan Tuhannya, sehingga dia mencari Tuhan lain, seperti ke Gunung Kawi, pohon Besar, batu, kuburan, dan lain-lain. Bila umat Islam Nusantara ini benar-benar bersatu, amanah, tidak sombong, rukun Islamnya benar, dan lain-lain tidak ada orang miskin, tidak ada membangun masjid seperti pengemis, dan lain-lain.

Kesimpulannya:
Mari interopeksi Islam kita, apakah sudah benar rukun Islam yang kita jalankan?
Mari kita lihat kembali konsep dan niat haji kita
Mari kita buat Muslim Indonesia makmur agar tidak mudah geser Tauhidnya, aman dan tentram.
Semoga bisa ditangkap esensinya dan bisa jadi bahan diskusi.
Semoga bermanfaat. Amin.

Sumber dari sini

Minggu, 05 Februari 2012

Kisah sukses pemilik rumah makan Cibiuk "daripada membakar uang untuk rokok lebih baik untuk sedekah"

Sumber : Harian Republika, Jum'at 3 Februari 2012

Namanya kecanduan, memang susah berhenti. Seperti kecanduan rokok. Menurut Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), dari beberapa penelitian sekitar 70-80 persen perokok ingin berhenti merokok, tapi hanya 3 persen yang berhasil.

Di Amerika Serikat, dalam periode 1964-1974 sebanyak 40 juta orang berusaha berhenti merokok. Tapi hanya sekitar 25 persen yang berhasil (Ambros Prechtl, N.D., Portrait of An Ex Smoker, Abul-Qasim Publishing House, Jeddah 1413 H.

Pun demikian yang pernah dialami Haji Iyus Ruslan (46), bos jaringan 33 Rumah Makan Cibiuk di 19 kota. Sebelum Berjaya dengan usaha rumah makan dan pabrik coklat saat ini, Iyus sukses menuai sukses bisnis beras warisan orang tuanya.

Seperti jamaknya pengusaha, Iyus dulu juga “ahli hisap” alias “ahlul udud”. Terlebih setelah juragan beras asal Cibiuk, Garut ini bangkrut. Stress, maka ngebulnya makin kenceng.
Putra ketiga dari 7 bersaudara keturunan (alm) H Ali Muchtar dan Hj Umayah ini berkisah, pada 1999 usaha berasnya bangkrut tak ketulungan. Padahal bisnis itu sudah berkembang, hingga menjangkau pasar DKI Jakarta, Jawa Barat, hingga Jawa Timur, Iyus juga memiliki sebuah pabrik penggilingan padi besar seluas 2-3 ribu m2, sejumlah truk, jaringan di sejumlah gerai, dengan 30-40 karyawan.

Namun, semua itu tak tersisa pada 1999. “Saya salah langkah,” kenang Iyus. Saat itu utangnya menumpuk, dan ia diuber-uber banyak pihak yang bermaksud menagih pembayaran. Padahal hartanya yang tersisa “tinggal hanya baju di badan”.

Beberapa bulan kemudian, Iyus mulai menggeliat bangkit. Dengan dukungan keluarganya, ia coba mengandalkan sambal Cibiuk dalam usaha warung makan lesehan. Sebuah rumah kumuh seluas 200m2 di jalan Ciledug pinggiran Garut, dia sewa untuk dijadikan warung makan sederhana.

Dari warung makan Cibiuk perdana itulah, usaha Iyus berkembang dan beranak pinak. Cabang pertamanya di jalan Otista Garut, kemudian merambah ke Bandung. Setelah membiak di kota Kembang, lalu merambah Bekasi, Bogor, Depok, Jakarta, Aceh, dan seterusnya hingga lebih dari 20 outlet kini.

Semua itu, dirasa Haji Iyus sebagai sebuah miracle. Keajaiban. Bayangkan, katanya, “Saya ini memulainya sebagai pengusaha kategori keempat menurut Ustadz Yusuf Mansur, yaitu tak punya modal, pengalaman, dan tak punya keahilian,” kenang Haji Iyus sambil terkekeh.

Suami dari Rossalina ingat betul, sewaktu membuka warung makan pertama ia memanen cibiran dan pesismisme. Pasalnya, lokasi Cibiuk di dekat pemukiman penduduk yang sepi dan rawan keamanan. Pelintas bakal takut mampir karena takut mampir karena khawatir kendaraannya hilang. Tapi bismillah, dengan dukungan keluarga dan terutama do’a restu orangtuanya, Iyus jalan terus hingga kemudian sukses besar.

Ia mengungkapkan, suksesnya diraih dengan ikhtiar manajerial dan spiritual. Prinsip usahanya adalah fokus, kreativitas yang unik, kerja keras, serta system administrasi yang baik. Misalnya sambal Cibiuk, menu andalan usahanya, kini dimoifikasi dengan 10 macam varian.

Tapi itu saja tidak cukup. Harus dibarengi laku spiritual, yaitu riyadhoh dan sedekah. Pengusaha kelahiran 5 Desember 1966 ini mengaku mendapat pencerahan sedekah dan riyadhoh setelah mengenal dan berhubungan akrab dengan ustadz Yusuf Mansur selama tiga tahun terakhir.

“Saya bersama keluarga berusaha giat melakukan riyadhoh, meningkatkan ibadah wajib atau sunnah,” ungkap ayahanda dari Galih Ruslan (20), Fani Prawesty (17), Ratu Vilia (16), Zahira Gaitsa (9), dan Nazwa Revalina (6).

Secara berkala, Iyus bersedekah kepada pelanggan rumah makannya dalam bentuk hadiah undian. Misalnya berupa motor. Juga berupa diskon.

Sedekah juga jadi kunci sukses bisnis Iyus. Salah satu keputusan besarnya adalah berhenti merokok, lalu menyalurkan anggaran rokok untuk menghidupi anak dhuafa termasuk membiayai pendidikannya.

Jumat, 03 Februari 2012

Cinta dan keakraban Ilahi

Sumber : Republika

Keakraban adalah kebersamaan yang dicapai dengan cinta. Begitu banyaknya kesamaan diri kita dengan Allah sehingga kita akan merasakan begitu dekat dengan-Nya. Diri kita memang tidak bisa dipisahkan dengan-Nya karena kita semua berasal dari-Nya, Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Seperti laut dan gelombangnya, lampu dan cahayanya, api dan panasnya; berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan. Allah dan makhluk-Nya, berbeda tetapi tak bisa dipisahkan. Kita tidak bisa mengatakan bahwa laut sama dengan gelombang, lampu sama dengan cahaya, atau api sama dengan bara, demikian pula kita tidak bisa mengatakan bahwa makhluk sama dengan Khaliq.

Lautan cinta pada diri seseorang akan mengimbas pada seluruh ruang. Jika cinta sudah terpatri dalam seluruh jaringan badan kita maka vibrasinya akan menghapus semua kebencian. Sebagai manifestasinya dalam kehidupan, begitu bertemu dengan seseorang, ia tersenyumm, sebagai ungkapan dan tanda rasa cinta.

Nikmat sekali bermesraan dengan Allah SWT. Kadang tidak terasa air mata meleleh. Air mata kerinduan dan air mata tobat inilah yang kelak akan memadamkan api neraka. Air mata cinta akan memutihkan noda-noda hitam dan menjadikannya suci.

Cinta tidak bisa diterangkan, hanya bisa dirasakan. Terkadang terasa tidak cukup kosakata yang tersedia untuk menggambarkan bagaimana nikmatnya cinta. Kosakata yang tersedia didominasi oleh kebutuhan fisik sehingga untuk mencari kata yang bisa memfasilitasi keinginan rohani tidak cukup.

Terminologi dan kota kata yang tersedia lebih banyak berkonotasi cinta kepada fisik materi, tetapi terlalu sedikit kosa kata cinta secara spiritual. Mungkin itulah sebabnya mengapa Allah Swt memilih bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur'an karena kosa kata spiritualnya lebih kaya. Kosa kata cinta dalam Al-Qur'an menurut ulama tafsir ada 14 kosa kata, mulai dari cinta monyet sampai kepada cinta Ilahi.

Cinta Allah bersifat primer, sementara cinta hamba sekunder. Primer itu inti, substansi. Yang sekunder itu tidak substansial. Pemilik cinta sesungguhnya hanya Allah SWT. Hakikat cinta yang sesungguhnya adalah unconditional love (cinta tanpa syarat). Tanpa pamrih ini cinta primer. Ini berbeda dengan cinta kita yang memiliki kepentingan.

Ketika sebelum kawin, masya Allah, kita sampai kehabisan kata-kata melukiskan kebaikan pujaan kita. Akan tetapi sesudah kawin, kata-kata paling kasar pun tak jarang kita lontarkan.

Unconditional love pernah ditunjukan Rasulullah Muhammad SAW ketika dilempari batu sampai tumitnya berdarah-darah oleh orang Thaif. Rasul hanya tersenyum. "Aduh umatku, seandainya engkau tahu visi misi yang kubawa, engkau pasti tidak akan melakukan ini", demikian bisiknya,.

Bahkan ketika datang malaikat penjaga gunung Thaif menawarkan bantuan untuk membalas perbuatan orang Thaif itu, Nabi berucap, "Terima kasih. Allah lebih kuasa daripada makhluk. Jangan diapa-apakan. Mereka hanya tidak tahu. Kelak kalau mereka sadar, mereka akan mencintai saya".

Nabi Nuh AS pernah menyesal sejadi-jadinya kenapa ia pernah mendoakan umatnya binasa. 950 tahun ia berdakwah mengajak kaumnya ke jalan Allah, namun hanya segelintir yang mengikuti ajakannya. Yang lainnya ingkar sehingga Nabi Nuh berdoa kepada Allah agar dikirimkan bencana kepada kaumnya yang ingkar itu. Maka datanglah banjir besar yang menenggelamkan mereka, sedangkan Nuh dan para pengikutnya sudah mempersiapkan diri dengan membuat perahu.

Ada sebuah ungkapan dari ahli hakekat: "Kalau cinta sudah meliputi, maka tak ada lagi ruang kebencian di dalam diri seseorang. Sejelek apapun dan kasarnya orang lain, ia tak akan membalas dengan kejelekan."

Banyak ulama besar kita telah mencapai tingkatan itu. Imam Syafi'i pernah "dikerjai" oleh seorang tukang jahit saat memesan pembuatan baju. Lengan kanan baju itu lebih besar/longgar dibanding lengan kirinya yang kecil dan sempit. Imam Syafi'i bukannya komplain dan marah kepada tukang jahit itu, malah berterima kasih.

Kata Imam Syafi'i, "Kebetulan, saya suka menulis dan lengan yang lebih longgar ini memudahkan saya untuk menulis sebab lebih leluasa bergerak".

Indah hidup ini kalau tidak ada benci. Ini bukan berarti kita harus menahan marah. Yang kita lakukan adalah bagaimana menjadikan diri ini penuh cinta sehingga potensi kemarahan kita berkurang. Kita punya hak untuk marah, dan itu harus diungkapkan dengan proporsional.

Jangan karena makanan sedikit kurang enak lalu marah. Istri salah sedikit marah. Banyak hal yang membuat kita marah. Akan tetapi, selesaikah persoalan dengan marah?

Semakin meningkat kadar cinta maka semakin mesra pula belaian Allah SWT. Bagaimanakah nikmatnya belaian Allah SWT? Bayangkanlah seorang bayi yang dibelai ibunya. Tersenyum, dan sekelilingnya menggoda. Itu baru belaian makhluk. Apalagi belaian Sang Pencipta.

Kita pun akan semakin akrab dengan Allah, dan semakin tipis garis pembatas alam gaib di hadapan kita sehingga semua rahasia akan terkuak dan semakin banyak keajaiban yang kita lihat. Seperti sepasang kekasih yang saling mencintai, masih adakah rahasia antara keduanya?

Ruh sifatnya tinggi dan cenderung dekat dengan Allah. Raga sifatnya rendah dan jauh dari Allah. Ruh itu terang, sedangkan raga gelap. Para sufi mengungkapkan, "Wahai raga, sibukkan dirimu dengan shalat dan puasa. Wahai kalbu, sibukkan dirimu dengan bisikan munajat kepada Allah. Wahai raga, ungkapkan iyyâka na'budu. Wahai kalbu, ungkapkan iyyâka nasta'în."

Ta'abbud mendaki ke atas, sedangkan isti'ânah turun ke bawah. Yang melakukan ta'abbud adalah hamba, sedangkan isti'ânah adalah Tuhan. Siapa yang naik akan memancing yang di atas untuk turun menyambut. Kalau tidak pernah naik, jangan harap akan ada yang turun.
Indah perjumpaan itu.

Ada ketakutan dan ada harapan. Kadang kita takut kepada Allah, tetapi juga kita berharap. Ada al-khasya dan ada al-raja'. Di balik ketakutan sehabis berdosa ada harapan bahwa kita akan diampuni, ada keinginan bersama Allah kembali. Maka lahirlah tobat. Seperti pendaki gunung yang tak pernah bosan, naik ke atas, terperosok ke bawah, naik lagi, terperosok, dan naik lagi. Semakin tinggi pendakian itu semakin licin dan sulit. Begitulah cobaan bagi manusia. Semakin tinggi kedudukan seseorang maka cobaannya semakin berat. Namun, cobaan itu jangan membuat kita putus asa. Jika kita terus mendaki, pasti kita akan sampai ke puncak.

Ada ketakjuban dan ada keakraban. Ketakjuban itu ada jarak. Untuk mengagumi suatu objek, kita harus mengambil jarak dari objek itu. Indahnya sebuah lukisan hanya akan terasa jika kita agak jauh dari lukisan itu. Keakraban itu tidak ada jarak, atau sangat dekat sekali. Inilah kita dengan Tuhan. Akrab tetapi takjub.

Ada pemusatan dan ada penyebaran. Allah Maha Esa. Kita fokus ke situ. Akan tetapi, apa yang dilihat pancaindera itu beragam dan beraneka. Namun, semuanya terhubungkan dengan Allah. Warna-warni yang kita lihat di alam semesta ini sumbernya satu, Allah Yang Esa. Ada kehadiran dan ada ketiadaan. Ini lebih menukik. Satu sisi kita merasakan Allah hadir dalam diri kita, di sisi lain hampa. Kadang kita kosong, kadang penuh. Kadang Dia muncul, kadang tiada. Dia adalah Mahaada, meski tak terlihat. Dan yang terlihat ini sebetulnya adalah manifestasi dari Yang Ada. Ketiadaan di sini bukan berarti menafikan.

Ada kemabukan dan ada kewarasan. Yang bisa memabukkan bukan hanya alkohol dan narkoba. Ada mabuk positif dan ada mabuk negatif. Mabuk bagi seorang sufi adalah supersadar (di atas kesadaran). Kesadaran seperti ini susah dijelaskan. Ketika kita sedang bermesraan dengan Allah, menangis di atas sajadah, terisak-isak, orang lain mungkin melihat kita sedang tidak sadar. Akan tetapi, sebenarnya kita sangat sadar, bahkan kita sedang berada di puncak bersama Allah.

Ketika mencintai seseorang saja kita bisa mabuk, begadang semalaman, membuat surat, dan lain-lain. Berkhayal, berimajinasi, membayangkan si dia hadir bersama kita. Bagaimana mabuknya kalau kita mencintai Allah?

Seorang sufi yang sedang mabuk kepada Allah, suka mengungkapkan ucapan-ucapan yang terdengar aneh di mata orang lain (syathahat). Misalnya "tak ada di dalam jubahku ini selain Allah". Berarti dalam jubah itu ada dua sosok yang bergumul menjadi satu, hamba dan Tuhan. Atau ungkapan subhânî subhânî (Maha Suci aku). Aku adalah Allah, Allah adalah aku. Aku ini siapa? Tak ada. Yang ada hanyalah Allah. Hanya Allahlah yang wujud. Selain itu hanya efek dari yang wujud.

Ada penafian dan ada penetapan. Kadang kita ragu, benarkah yang datang di dalam kalbu ini Allah? Jangan-jangan bukan, tetapi hanya imajinasi saja. Di sini terjadi pertentangan antara rasio dan rasa. Maka untuk meyakinkannya, kecilkan rasio dan besarkan rasa. Yakinilah bahwa kita telah mendaki, dan kita sudah sampai puncak. Maka yang kita jumpai pastilah Allah. Maka akan ada penampakan. Dan segala rahasia gaib pun tersibak