Sumber : catatan.azzahrah.com
Allah Ta’ala berfirman tentang rahasia ilmu ghaib tentang yang terjadi di masa depan, bahwa tak ada yang mengetahuinya selain-Nya :
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya melainkan Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan dan tidak sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahui, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (lauhul mahfudz)” (QS. Al-An`am: 59)
“Katakanlah, “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui hal ghaib, kecuali Allah Ta’ala” Dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (QS. An-Naml: 65)
Lalu bagaimana dengan orang yang berpendapat mengetahuinya ? Atau bertanya pada orang / media yang dianggap mengetahuinya ?
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menegaskan:
“Barangsiapa yang mendatangi paranormal lalu membenarkan ucapannya, maka ia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu’alaihi wa sallam-.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihut Targhib no. 3047)
Bahkan sekedar bertanya tanpa membenarkan atau mempercayai ucapan paranormal tersebut mengakibatkan tertolaknya sholat seseorang selama 40 hari, tanpa menggugurkan kewajiban sholat darinya.
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang mendatangi paranormal lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka tidak diterima sholatnya selama 40 malam.” (HR. Muslim no. 5957)
Mari kita berhati-hati dalam hal ini … Janganlah hanya sekedar membaca ramalan zodiak membuat amalah shalat kita yang merupakan tiang agama sia-sia selama 40 hari. Jika shalat yang kita kerjakan sana tidak diterima Allah, lalu bagaimana lagi dengan amalan-amalan lainnya? Padahal amalan-amalan tersebut telah kita kerjakan dengan pengorbanan. Coba Hitung, jika kita terbiasa membaca ramalan bintang tiap minggu, sudah berapa hari shalat kita yang terbuang sia-sia. Jangan-jangan malah jadi hutang yang berlipat-lipat. Astaghfirullah…
Jumat, 21 Oktober 2011
Kamis, 20 Oktober 2011
Sunan Kalijaga vs Kejawen
Sumber : forum.upi.edu
Sunan Kalijaga adalah ulama yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Beliau adalah legenda nyata dari tumbuh dan berkembangnya Islam di Pulau Jawa. Sayangnya, namanya sering dikaitkan dengan mistisme Jawa alias Kejawen. Benarkan ‘Kejawenisme’ merupakan buah pemikiran Sunan Kalijaga? Siapakah Sunan Kalijaga? Dari mana nama ‘Kalijaga’ berasal? Mari kita bangun perspektif yang benar tentang sosok ini.
Ada beragam versi tentang nama asli Kalijaga. Sejumlah sumber mengatakan bahwa nama asli Sunan Kalijaga ialah ‘Lokajaya’. Sumber lain ada yang menyebut bahwa nama aslinya ‘Raden Abdurrahman’ atau ada juga yang mengatakan bahwa namanya ialah ‘Raden Joko Said’ atau ‘Raden Jaka Syahid’. Pendapat yang terakhir merupakan riwayat yang paling mashyur. Nama Raden Joko Said ialah nama yang dikenal secara turun-temurun oleh para penduduk Tuban hingga masa kini.
Joko Said dilahirkan sekitar tahun 1450 M. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban. Arya Wilatikta ini adalah keturunan dari pemberontak legendaris Majapahit, Ronggolawe. Riwayat masyhur mengatakan bahwa Adipati Arya Wilatikta sudah memeluk Islam sejak sebelum lahirnya Joko Said. Namun sebagai Muslim, ia dikenal kejam dan sangat taklid kepada pemerintahan pusat Majapahit yang menganut Agama Hindu. Ia menetapkan pajak tinggi kepada rakyat.
Joko Said muda yang tidak setuju pada segala kebijakan Ayahnya sebagai Adipati sering membangkang pada kebijakan-kebijakan ayahnya. Pembangkangan Joko Said kepada ayahnya mencapai puncaknya saat ia membongkar lumbung kadipaten dan membagi-bagikan padi dari dalam lumbung kepada rakyat Tuban yang saat itu dalam keadaan kelaparan akibat kemarau panjang.
Karena tindakannya itu, Ayahnya kemudian ‘menggelar sidang’ untuk mengadili Joko Said dan menanyakan alasan perbuatannya. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Joko Said untuk mengatakan pada ayahnya bahwa, karena alasan ajaran agama, ia sangat menentang kebijakan ayahnya untuk menumpuk makanan di dalam lumbung sementara rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan kelaparan. Ayahnya tidak dapat menerima alasannya ini karena menganggap Joko Said ingin mengguruinya dalam masalah agama. Karena itu, Ayahnya kemudian mengusirnya keluar dari istana kadipaten seraya mengatakan bahwa ia baru boleh pulang jika sudah mampu menggetarkan seisi Tuban dengan bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an. Maksud dari ‘menggetarkan seisi Tuban’ di sini ialah bilamana ia sudah memiliki banyak ilmu agama dan dikenal luas masyarakat karena ilmunya.
Riwayat masyhur kemudian menceritakan bahwa setelah diusir dari istana kadipaten, Joko Said berubah menjadi seorang perampok yang terkenal dan ditakuti di kawasan Jawa Timur. Sebagai Perampok, Joko Said selalu ‘memilih’ korbannya dengan seksama. Ia hanya merampok orang kaya yang tak mau mengeluarkan zakat dan sedekah. Dari hasil rampokannya itu, sebagian besarnya selalu ia bagi-bagikan kepada orang miskin. Kisah ini mungkin mirip dengan cerita Robin Hood di Inggris. Namun itulah riwayat masyhur tentang beliau. Diperkirakan saat menjadi perampok inilah, ia diberi gelar ‘Lokajaya’ artinya kurang lebih ‘Perampok Budiman’.
Semuanya berubah saat Lokajaya alias Joko Said bertemu dengan seorang ulama beken, Syekh Maulana Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang. Sunan Bonang inilah yang kemudian mernyadarkannya bahwa perbuatan baik tak dapat diawali dengan perbuatan buruk –sesuatu yang haq tak dapat dicampuradukkan dengan sesuatu yang batil- sehingga Joko Said alias Lokajaya bertobat dan berhenti menjadi perampok. Joko Said kemudian berguru kepada Sunan Bonang hingga akhirnya dikenal sebagai ulama dengan gelar ‘Sunan Kalijaga’.
Dari mana nama ‘Kalijaga’ muncul?
Pertanyaan ini masih menjadi misteri dan bahan silang pendapat di antara para pakar sejarah hingga hari ini. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Ini dihubungkan dengan kebiasaan wong Cerbon untuk menggelari seseorang dengan daerah asalnya –seperti gelar Sunan Gunung Jati untuk Syekh Syarif Hidayatullah, karena beliau tinggal di kaki Gunung Jati.
Fakta menunjukan bahwa ternyata tidak ada ‘kali’ di sekitar dusun Kalijaga sebagai ciri khas dusun itu. Padahal, tempat-tempat di Jawa umumnya dinamai dengan sesuatu yang menjadi ciri khas tempat itu. Misalnya nama Cirebon yang disebabkan banyaknya rebon (udang), atau nama Pekalongan karena banyaknya kalong (Kelelawar). Logikanya, nama ‘Dusun Kalijaga’ itu justru muncul setelah Sunan Kalijaga sendiri tinggal di dusun itu. Karena itu, klaim Masyarakat Cirebon ini kurang dapat diterima.
Riwayat lain datang dari kalangan Jawa Mistik (Kejawen). Mereka mengaitkan nama ini dengan kesukaan wali ini berendam di sungai (kali) sehingga nampak seperti orang yang sedang “jaga kali”. Riwayat Kejawen lainnya menyebut nama ini muncul karena Joko Said pernah disuruh bertapa di tepi kali oleh Sunan Bonang selama sepuluh tahun. Pendapat yang terakhir ini yang paling populer. Pendapat Ini bahkan diangkat dalam film ‘Sunan Kalijaga’ dan ‘Walisongo’ pada tahun 80-an. Saya sendiri kurang sepaham dengan kedua pendapat ini.
Secara sintaksis, dalam tata bahasa-bahasa di Pulau Jawa (Sunda dan Jawa) dan segala dialeknya, bila ada frase yang menempatkan kata benda di depan kata kerja, itu berarti bahwa kata benda tersebut berlaku sebagai subjek yang menjadi pelaku dari kata kerja yang mengikutinya. Sehingga bila ada frase ‘kali jaga’ atau ‘kali jogo’ berarti ada ‘sebuah kali yang menjaga sesuatu’. Ini tentu sangat janggal dan tidak masuk akal.
Bila benar bahwa nama itu diperoleh dari kebiasaan Sang Sunan kungkum di kali atau karena beliau pernah menjaga sebuah kali selama sepuluh tahun non-stop (seperti dalam film), maka seharusnya namanya ialah “Sunan Jogo Kali” atau “Sunan Jaga Kali”.
Kemudian secara logika, silakan anda pikirkan masak-masak. Mungkinkah seorang da’i menghabiskan waktu dengan kungkum-kungkum di sungai sepanjang hari? Tentu saja tidak. Sebagai da’i yang mencintai Islam dan Syi’ar-nya, tentu ada banyak hal berguna yang dapat beliau lakukan. Riwayat Kejawen bahwa beliau bertapa selama sepuluh tahun non-stop di pinggir kali juga merupakan riwayat yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa seorang ulama saleh terus-menerus bertapa tanpa melaksanakan shalat, puasa, bahkan tanpa makan dan minum? Karena itu, dalam pendapat saya, kedua riwayat itu ialah riwayat batil dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Pendapat yang paling masuk akal ialah bahwa sebenarnya nama ‘kalijaga’ berasal dari bahasa Arab “Qadli’ dan nama aslinya sendiri, ‘Joko Said’, jadi frase asalnya ialah ‘Qadli Joko Said’ (Artinya Hakim Joko Said). Sejarah mencatat bahwa saat Wilayah (Perwalian) Demak didirikan tahun 1478, beliau diserahi tugas sebagai Qadli (hakim) di Demak oleh Wali Demak saat itu, Sunan Giri.
Masyarakat Jawa memiliki riwayat kuat dalam hal ‘penyimpangan’ pelafalan kata-kata Arab, misalnya istilah Sekaten (dari ‘Syahadatain’), Kalimosodo (dari ‘Kalimah Syahadah’), Mulud (dari Maulid), Suro (dari Syura’), Dulkangidah (dari Dzulqaidah), dan masih banyak istilah lainnya. Maka tak aneh bila frase “Qadli Joko” kemudian tersimpangkan menjadi ‘Kalijogo’ atau ‘Kalijaga’.
Posisi Qadli yang dijabat oleh Kalijaga alias joko Said ialah bukti bahwa Demak merupakan sebuah kawasan pemerintahan yang menjalankan Syariah Islam. Ini diperkuat oleh kedudukan Sunan Giri sebagai Wali di Demak. Istilah ‘Qadli’ dan ‘Wali’ merupakan nama-nama jabatan di dalam Negara Islam. Dari sini sajasudah jelas, siapa Sunan Kalijaga sebenarnya; ia adalahseorang Qadli, bukan praktisi Kejawenisme.
Da’wah Sunan Kalijaga adalah Da’wah Islam, Bukan Da’wah Kejawen atau Sufi-Pantheistik
Kita kembali ke Sunan Kalijaga alias Sunan Qadli Joko. Riwayat masyhur mengisahkan bahwa masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Ini berarti bahwa beliau mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit pada 1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, bahkan hingga Kerajaan Pajang (lahir pada 1546) serta awal kehadiran Kerajaan Mataram. Bila riwayat ini benar, maka kehidupan Sunan Kalijaga adalah sebuah masa kehidupan yang panjang.
Manuskrip-manuskrip dan babad-babad tua ternyata hanya menyebut-nyebut nama beliau hingga zaman Kesultanan Cirebon saja, yakni hingga saat beliau bermukim di dusun Kalijaga. Dalam kisah-kisah pendirian Kerajaan Pajang oleh Jaka Tingkir dan Kerajaan Mataram oleh Panembahan Senopati, namanya tak lagi disebut-sebut. Logikanya ialah, bila saat itu beliau masih hidup, tentu beliau akan dilibatkan dalam masalah imamah di Pulau Jawa karena pengaruhnya yang luas di tengah masyarakat Jawa. Fakta menunjukan bahwa makamnya berada di Kadilangu, dekat Demak, bukan di Pajang atau di kawasan Mataram (Yogyakarta dan sekitarnya) –tempat-tempat di mana Kejawen tumbuh subur. Perkiraan saya, beliau sudah wafat saat Demak masih berdiri.
Riwayat-riwayat yang batil banyak menceritakan kisah-kisah aneh tentang Sunan Kalijaga –selain kisah pertapaan sepuluh tahun di tepi sungai. Beberapa kisah aneh itu antara lain, bahwa beliau bisa terbang, bisa menurunkan hujan dengan hentakan kaki, mengurung petir bernama Ki Ageng Selo di dalam Masjid Demak dan kisah-kisah lain yang bila kita pikirkan dengan akal sehat nan intelek tidak mungkin bisa masuk ke dalam otak manusia. Kisah-kisah aneh macam itu hanya bisa dipercaya oleh orang gila yang gemar sihir.
Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dan berbau Hindu-Budha serta Kejawen. Padahal fakta tentang kehidupan Sunan Kalijaga adalah Da’wah dan Syi’ar Islam yang indah. Buktinya sangat banyak sekali. Sunan Kalijaga adalah perancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi peninggalan Sunan Kalijaga. Mana mungkin seorang kejawen ahli mistik mau-maunya mendirikan Masjid yang jelas-jelas merupakan tempat peribadatan Islam.
Paham keagamaan Sunan Kalijaga adalah salafi –bukan sufi-panteistik ala Kejawen yang ber-motto-kan ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Ini terbukti dari sikap tegas beliau yang ikut berada dalam barisan Sunan Giri saat terjadi sengketa dalam masalah ‘kekafiran’ Syekh Siti Jenar dengan ajarannya bahwa manusia dan Tuhan bersatu dalam dzat yang sama.
Kesenian dan kebudayaan hanyalah sarana yang dipilih Sunan Kalijaga dalam berdakwah. Beliau memang sangat toleran pada budaya lokal. Namun beliau pun punya sikap tegas dalam masalah akidah. Selama budaya masih bersifat transitif dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, beliau menerimanya. Wayang beber kuno ala Jawa yang mencitrakan gambar manusia secara detail dirubahnya menjadi wayang kulit yang samar dan tidak terlalu mirip dengan citra manusia, karena pengetahuannya bahwa menggambar dan mencitrakan sesuatu yang mirip manusia dalam ajaran Islam adalah haram hukumnya.
Cerita yang berkembang mengisahkan bahwa beliau sering bepergian keluar-masuk kampung hanya untuk menggelar pertunjukan wayang kulit dengan beliau sendiri sebagai dalangnya. Semua yang menyaksikan pertunjukan wayangnya tidak dimintai bayaran, hanya diminta mengucap dua kalimah syahadat. Beliau berpendapat bahwa masyarakat harus didekati secara bertahap. Pertama berislam dulu dengan syahadat selanjutnya berkembang dalam segi-segi ibadah dan pengetahuan Islamnya. Sunan Kalijaga berkeyakinan bahwa bila Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Lakon-lakon yang dibawakan Sunan Kalijaga dalam pagelaran-pagelarannya bukan lakon-lakon Hindu macam Mahabharata, Ramayana, dan lainnya. Walau tokoh-tokoh yang digunakannya sama (Pandawa, Kurawa, dll.) beliau menggubah sendiri lakon-lakonnya, misalnya Layang Kalimasada, Lakon Petruk Jadi Raja yang semuanya memiliki ruh Islam yang kuat. Karakter-karakter wayang yang dibawakannya pun beliau tambah dengan karakter-karakter baru yang memiliki nafas Islam. Misalnya, karakter Punakawan yang terdiri atas Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng adalah karakter yang sarat dengan muatan Keislaman.
1. Istilah ‘Dalang’ berasal dari bahasa Arab, ‘Dalla’ yang artinya menunjukkan. Dalam hal ini, seorang ‘Dalang’ adalah seseorang yang ‘menunjukkan kebenaran kepada para penonton wayang’. Mandalla’alal Khari Kafa’ilihi (Barangsiapa menunjukan jalan kebenaran atau kebajikan kepada orang lain, pahalanya sama dengan pelaku kebajikan itu sendiri –Sahih Bukhari)
2. Karakter ‘Semar’ diambil dari bahasa Arab, ‘Simaar’ yang artinya Paku. Dalam hal ini, seorang Muslim memiliki pendirian dan iman yang kokoh bagai paku yang tertancap, Simaaruddunyaa.
3. Karakter ‘Petruk’ diambil dari bahasa Arab, ‘Fat-ruuk’ yang artinya ‘tingggalkan’. Maksudnya, seorang Muslim meninggalkan segala penyembahan kepada selain Allah, Fatruuk-kuluu man siwallaahi.
4. Karakter ‘Gareng’ diambil dari bahasa Arab, ‘Qariin’ yang artinya ‘teman’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berusaha mencari teman sebanyak-banyaknya untuk diajak ke arah kebaikan, Nalaa Qaarin.
5. Karakter ‘Bagong’ diambil dari bahasa Arab, ‘Baghaa’ yang artinya ‘berontak’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berontak saat melihat kezaliman.
Seni ukir, wayang, gamelan, baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, serta seni suara suluk yang diciptakannya merupakan sarana dakwah semata, bukan budaya yang perlu ditradisikan hingga berkarat dalam kalbu dan dinilai sebagai ibadah mahdhah. Beliau memandang semua itu sebagai metode semata, metode dakwah yang sangat efektif pada zamannya. Secara filosofis, ini sama dengan da’wah Rasulullah Saw yang mengandalkan keindahan syair Al Qur’an sebagai metode da’wah yang efektif dalam menaklukkan hati suku-suku Arab yang gemar berdeklamasi.
Tak dapat disangkal bahwa kebiasaan keluar-masuk kampung dan memberikan hiburan gratis pada rakyat, melalui berbagai pertunjukan seni, pun memiliki nilai filosofi yang sama dengan kegiatan yang biasa dilakukan Khalifah Umar ibn Khattab ra. yang suka keluar-masuk perkampungan untuk memantau umat dan memberikan hiburan langsung kepada rakyat yang membutuhkannya. Persamaan ini memperkuat bukti bahwa Sunan Kalijaga adalah pemimpin umat yang memiliki karakter, ciri, dan sifat kepemimpinan yang biasa dimiliki para pemimpin Islam sejati, bukan ahli Kejawen.
Sunan Kalijaga adalah ulama yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Beliau adalah legenda nyata dari tumbuh dan berkembangnya Islam di Pulau Jawa. Sayangnya, namanya sering dikaitkan dengan mistisme Jawa alias Kejawen. Benarkan ‘Kejawenisme’ merupakan buah pemikiran Sunan Kalijaga? Siapakah Sunan Kalijaga? Dari mana nama ‘Kalijaga’ berasal? Mari kita bangun perspektif yang benar tentang sosok ini.
Ada beragam versi tentang nama asli Kalijaga. Sejumlah sumber mengatakan bahwa nama asli Sunan Kalijaga ialah ‘Lokajaya’. Sumber lain ada yang menyebut bahwa nama aslinya ‘Raden Abdurrahman’ atau ada juga yang mengatakan bahwa namanya ialah ‘Raden Joko Said’ atau ‘Raden Jaka Syahid’. Pendapat yang terakhir merupakan riwayat yang paling mashyur. Nama Raden Joko Said ialah nama yang dikenal secara turun-temurun oleh para penduduk Tuban hingga masa kini.
Joko Said dilahirkan sekitar tahun 1450 M. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban. Arya Wilatikta ini adalah keturunan dari pemberontak legendaris Majapahit, Ronggolawe. Riwayat masyhur mengatakan bahwa Adipati Arya Wilatikta sudah memeluk Islam sejak sebelum lahirnya Joko Said. Namun sebagai Muslim, ia dikenal kejam dan sangat taklid kepada pemerintahan pusat Majapahit yang menganut Agama Hindu. Ia menetapkan pajak tinggi kepada rakyat.
Joko Said muda yang tidak setuju pada segala kebijakan Ayahnya sebagai Adipati sering membangkang pada kebijakan-kebijakan ayahnya. Pembangkangan Joko Said kepada ayahnya mencapai puncaknya saat ia membongkar lumbung kadipaten dan membagi-bagikan padi dari dalam lumbung kepada rakyat Tuban yang saat itu dalam keadaan kelaparan akibat kemarau panjang.
Karena tindakannya itu, Ayahnya kemudian ‘menggelar sidang’ untuk mengadili Joko Said dan menanyakan alasan perbuatannya. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Joko Said untuk mengatakan pada ayahnya bahwa, karena alasan ajaran agama, ia sangat menentang kebijakan ayahnya untuk menumpuk makanan di dalam lumbung sementara rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan kelaparan. Ayahnya tidak dapat menerima alasannya ini karena menganggap Joko Said ingin mengguruinya dalam masalah agama. Karena itu, Ayahnya kemudian mengusirnya keluar dari istana kadipaten seraya mengatakan bahwa ia baru boleh pulang jika sudah mampu menggetarkan seisi Tuban dengan bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an. Maksud dari ‘menggetarkan seisi Tuban’ di sini ialah bilamana ia sudah memiliki banyak ilmu agama dan dikenal luas masyarakat karena ilmunya.
Riwayat masyhur kemudian menceritakan bahwa setelah diusir dari istana kadipaten, Joko Said berubah menjadi seorang perampok yang terkenal dan ditakuti di kawasan Jawa Timur. Sebagai Perampok, Joko Said selalu ‘memilih’ korbannya dengan seksama. Ia hanya merampok orang kaya yang tak mau mengeluarkan zakat dan sedekah. Dari hasil rampokannya itu, sebagian besarnya selalu ia bagi-bagikan kepada orang miskin. Kisah ini mungkin mirip dengan cerita Robin Hood di Inggris. Namun itulah riwayat masyhur tentang beliau. Diperkirakan saat menjadi perampok inilah, ia diberi gelar ‘Lokajaya’ artinya kurang lebih ‘Perampok Budiman’.
Semuanya berubah saat Lokajaya alias Joko Said bertemu dengan seorang ulama beken, Syekh Maulana Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang. Sunan Bonang inilah yang kemudian mernyadarkannya bahwa perbuatan baik tak dapat diawali dengan perbuatan buruk –sesuatu yang haq tak dapat dicampuradukkan dengan sesuatu yang batil- sehingga Joko Said alias Lokajaya bertobat dan berhenti menjadi perampok. Joko Said kemudian berguru kepada Sunan Bonang hingga akhirnya dikenal sebagai ulama dengan gelar ‘Sunan Kalijaga’.
Dari mana nama ‘Kalijaga’ muncul?
Pertanyaan ini masih menjadi misteri dan bahan silang pendapat di antara para pakar sejarah hingga hari ini. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Ini dihubungkan dengan kebiasaan wong Cerbon untuk menggelari seseorang dengan daerah asalnya –seperti gelar Sunan Gunung Jati untuk Syekh Syarif Hidayatullah, karena beliau tinggal di kaki Gunung Jati.
Fakta menunjukan bahwa ternyata tidak ada ‘kali’ di sekitar dusun Kalijaga sebagai ciri khas dusun itu. Padahal, tempat-tempat di Jawa umumnya dinamai dengan sesuatu yang menjadi ciri khas tempat itu. Misalnya nama Cirebon yang disebabkan banyaknya rebon (udang), atau nama Pekalongan karena banyaknya kalong (Kelelawar). Logikanya, nama ‘Dusun Kalijaga’ itu justru muncul setelah Sunan Kalijaga sendiri tinggal di dusun itu. Karena itu, klaim Masyarakat Cirebon ini kurang dapat diterima.
Riwayat lain datang dari kalangan Jawa Mistik (Kejawen). Mereka mengaitkan nama ini dengan kesukaan wali ini berendam di sungai (kali) sehingga nampak seperti orang yang sedang “jaga kali”. Riwayat Kejawen lainnya menyebut nama ini muncul karena Joko Said pernah disuruh bertapa di tepi kali oleh Sunan Bonang selama sepuluh tahun. Pendapat yang terakhir ini yang paling populer. Pendapat Ini bahkan diangkat dalam film ‘Sunan Kalijaga’ dan ‘Walisongo’ pada tahun 80-an. Saya sendiri kurang sepaham dengan kedua pendapat ini.
Secara sintaksis, dalam tata bahasa-bahasa di Pulau Jawa (Sunda dan Jawa) dan segala dialeknya, bila ada frase yang menempatkan kata benda di depan kata kerja, itu berarti bahwa kata benda tersebut berlaku sebagai subjek yang menjadi pelaku dari kata kerja yang mengikutinya. Sehingga bila ada frase ‘kali jaga’ atau ‘kali jogo’ berarti ada ‘sebuah kali yang menjaga sesuatu’. Ini tentu sangat janggal dan tidak masuk akal.
Bila benar bahwa nama itu diperoleh dari kebiasaan Sang Sunan kungkum di kali atau karena beliau pernah menjaga sebuah kali selama sepuluh tahun non-stop (seperti dalam film), maka seharusnya namanya ialah “Sunan Jogo Kali” atau “Sunan Jaga Kali”.
Kemudian secara logika, silakan anda pikirkan masak-masak. Mungkinkah seorang da’i menghabiskan waktu dengan kungkum-kungkum di sungai sepanjang hari? Tentu saja tidak. Sebagai da’i yang mencintai Islam dan Syi’ar-nya, tentu ada banyak hal berguna yang dapat beliau lakukan. Riwayat Kejawen bahwa beliau bertapa selama sepuluh tahun non-stop di pinggir kali juga merupakan riwayat yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa seorang ulama saleh terus-menerus bertapa tanpa melaksanakan shalat, puasa, bahkan tanpa makan dan minum? Karena itu, dalam pendapat saya, kedua riwayat itu ialah riwayat batil dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Pendapat yang paling masuk akal ialah bahwa sebenarnya nama ‘kalijaga’ berasal dari bahasa Arab “Qadli’ dan nama aslinya sendiri, ‘Joko Said’, jadi frase asalnya ialah ‘Qadli Joko Said’ (Artinya Hakim Joko Said). Sejarah mencatat bahwa saat Wilayah (Perwalian) Demak didirikan tahun 1478, beliau diserahi tugas sebagai Qadli (hakim) di Demak oleh Wali Demak saat itu, Sunan Giri.
Masyarakat Jawa memiliki riwayat kuat dalam hal ‘penyimpangan’ pelafalan kata-kata Arab, misalnya istilah Sekaten (dari ‘Syahadatain’), Kalimosodo (dari ‘Kalimah Syahadah’), Mulud (dari Maulid), Suro (dari Syura’), Dulkangidah (dari Dzulqaidah), dan masih banyak istilah lainnya. Maka tak aneh bila frase “Qadli Joko” kemudian tersimpangkan menjadi ‘Kalijogo’ atau ‘Kalijaga’.
Posisi Qadli yang dijabat oleh Kalijaga alias joko Said ialah bukti bahwa Demak merupakan sebuah kawasan pemerintahan yang menjalankan Syariah Islam. Ini diperkuat oleh kedudukan Sunan Giri sebagai Wali di Demak. Istilah ‘Qadli’ dan ‘Wali’ merupakan nama-nama jabatan di dalam Negara Islam. Dari sini sajasudah jelas, siapa Sunan Kalijaga sebenarnya; ia adalahseorang Qadli, bukan praktisi Kejawenisme.
Da’wah Sunan Kalijaga adalah Da’wah Islam, Bukan Da’wah Kejawen atau Sufi-Pantheistik
Kita kembali ke Sunan Kalijaga alias Sunan Qadli Joko. Riwayat masyhur mengisahkan bahwa masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Ini berarti bahwa beliau mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit pada 1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, bahkan hingga Kerajaan Pajang (lahir pada 1546) serta awal kehadiran Kerajaan Mataram. Bila riwayat ini benar, maka kehidupan Sunan Kalijaga adalah sebuah masa kehidupan yang panjang.
Manuskrip-manuskrip dan babad-babad tua ternyata hanya menyebut-nyebut nama beliau hingga zaman Kesultanan Cirebon saja, yakni hingga saat beliau bermukim di dusun Kalijaga. Dalam kisah-kisah pendirian Kerajaan Pajang oleh Jaka Tingkir dan Kerajaan Mataram oleh Panembahan Senopati, namanya tak lagi disebut-sebut. Logikanya ialah, bila saat itu beliau masih hidup, tentu beliau akan dilibatkan dalam masalah imamah di Pulau Jawa karena pengaruhnya yang luas di tengah masyarakat Jawa. Fakta menunjukan bahwa makamnya berada di Kadilangu, dekat Demak, bukan di Pajang atau di kawasan Mataram (Yogyakarta dan sekitarnya) –tempat-tempat di mana Kejawen tumbuh subur. Perkiraan saya, beliau sudah wafat saat Demak masih berdiri.
Riwayat-riwayat yang batil banyak menceritakan kisah-kisah aneh tentang Sunan Kalijaga –selain kisah pertapaan sepuluh tahun di tepi sungai. Beberapa kisah aneh itu antara lain, bahwa beliau bisa terbang, bisa menurunkan hujan dengan hentakan kaki, mengurung petir bernama Ki Ageng Selo di dalam Masjid Demak dan kisah-kisah lain yang bila kita pikirkan dengan akal sehat nan intelek tidak mungkin bisa masuk ke dalam otak manusia. Kisah-kisah aneh macam itu hanya bisa dipercaya oleh orang gila yang gemar sihir.
Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dan berbau Hindu-Budha serta Kejawen. Padahal fakta tentang kehidupan Sunan Kalijaga adalah Da’wah dan Syi’ar Islam yang indah. Buktinya sangat banyak sekali. Sunan Kalijaga adalah perancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi peninggalan Sunan Kalijaga. Mana mungkin seorang kejawen ahli mistik mau-maunya mendirikan Masjid yang jelas-jelas merupakan tempat peribadatan Islam.
Paham keagamaan Sunan Kalijaga adalah salafi –bukan sufi-panteistik ala Kejawen yang ber-motto-kan ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Ini terbukti dari sikap tegas beliau yang ikut berada dalam barisan Sunan Giri saat terjadi sengketa dalam masalah ‘kekafiran’ Syekh Siti Jenar dengan ajarannya bahwa manusia dan Tuhan bersatu dalam dzat yang sama.
Kesenian dan kebudayaan hanyalah sarana yang dipilih Sunan Kalijaga dalam berdakwah. Beliau memang sangat toleran pada budaya lokal. Namun beliau pun punya sikap tegas dalam masalah akidah. Selama budaya masih bersifat transitif dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, beliau menerimanya. Wayang beber kuno ala Jawa yang mencitrakan gambar manusia secara detail dirubahnya menjadi wayang kulit yang samar dan tidak terlalu mirip dengan citra manusia, karena pengetahuannya bahwa menggambar dan mencitrakan sesuatu yang mirip manusia dalam ajaran Islam adalah haram hukumnya.
Cerita yang berkembang mengisahkan bahwa beliau sering bepergian keluar-masuk kampung hanya untuk menggelar pertunjukan wayang kulit dengan beliau sendiri sebagai dalangnya. Semua yang menyaksikan pertunjukan wayangnya tidak dimintai bayaran, hanya diminta mengucap dua kalimah syahadat. Beliau berpendapat bahwa masyarakat harus didekati secara bertahap. Pertama berislam dulu dengan syahadat selanjutnya berkembang dalam segi-segi ibadah dan pengetahuan Islamnya. Sunan Kalijaga berkeyakinan bahwa bila Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Lakon-lakon yang dibawakan Sunan Kalijaga dalam pagelaran-pagelarannya bukan lakon-lakon Hindu macam Mahabharata, Ramayana, dan lainnya. Walau tokoh-tokoh yang digunakannya sama (Pandawa, Kurawa, dll.) beliau menggubah sendiri lakon-lakonnya, misalnya Layang Kalimasada, Lakon Petruk Jadi Raja yang semuanya memiliki ruh Islam yang kuat. Karakter-karakter wayang yang dibawakannya pun beliau tambah dengan karakter-karakter baru yang memiliki nafas Islam. Misalnya, karakter Punakawan yang terdiri atas Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng adalah karakter yang sarat dengan muatan Keislaman.
1. Istilah ‘Dalang’ berasal dari bahasa Arab, ‘Dalla’ yang artinya menunjukkan. Dalam hal ini, seorang ‘Dalang’ adalah seseorang yang ‘menunjukkan kebenaran kepada para penonton wayang’. Mandalla’alal Khari Kafa’ilihi (Barangsiapa menunjukan jalan kebenaran atau kebajikan kepada orang lain, pahalanya sama dengan pelaku kebajikan itu sendiri –Sahih Bukhari)
2. Karakter ‘Semar’ diambil dari bahasa Arab, ‘Simaar’ yang artinya Paku. Dalam hal ini, seorang Muslim memiliki pendirian dan iman yang kokoh bagai paku yang tertancap, Simaaruddunyaa.
3. Karakter ‘Petruk’ diambil dari bahasa Arab, ‘Fat-ruuk’ yang artinya ‘tingggalkan’. Maksudnya, seorang Muslim meninggalkan segala penyembahan kepada selain Allah, Fatruuk-kuluu man siwallaahi.
4. Karakter ‘Gareng’ diambil dari bahasa Arab, ‘Qariin’ yang artinya ‘teman’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berusaha mencari teman sebanyak-banyaknya untuk diajak ke arah kebaikan, Nalaa Qaarin.
5. Karakter ‘Bagong’ diambil dari bahasa Arab, ‘Baghaa’ yang artinya ‘berontak’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berontak saat melihat kezaliman.
Seni ukir, wayang, gamelan, baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, serta seni suara suluk yang diciptakannya merupakan sarana dakwah semata, bukan budaya yang perlu ditradisikan hingga berkarat dalam kalbu dan dinilai sebagai ibadah mahdhah. Beliau memandang semua itu sebagai metode semata, metode dakwah yang sangat efektif pada zamannya. Secara filosofis, ini sama dengan da’wah Rasulullah Saw yang mengandalkan keindahan syair Al Qur’an sebagai metode da’wah yang efektif dalam menaklukkan hati suku-suku Arab yang gemar berdeklamasi.
Tak dapat disangkal bahwa kebiasaan keluar-masuk kampung dan memberikan hiburan gratis pada rakyat, melalui berbagai pertunjukan seni, pun memiliki nilai filosofi yang sama dengan kegiatan yang biasa dilakukan Khalifah Umar ibn Khattab ra. yang suka keluar-masuk perkampungan untuk memantau umat dan memberikan hiburan langsung kepada rakyat yang membutuhkannya. Persamaan ini memperkuat bukti bahwa Sunan Kalijaga adalah pemimpin umat yang memiliki karakter, ciri, dan sifat kepemimpinan yang biasa dimiliki para pemimpin Islam sejati, bukan ahli Kejawen.
Minggu, 16 Oktober 2011
Salah Paham tentang Fitnah Lebih Kejam dari Pembunuhan
Sumber : www.eramuslim.com
Oleh Drs. H. Ahmad Yani, Ketua LPPD Khairu Ummah
Judul di atas merupakan kalimat yang diterjemahkan dari firman Allah swt pada surat Al Baqarah [2]:191, lebih lengkap terjemahannya adalah: Dan Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka Bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.
Kata fitnah yang dosanya lebih besar dari pembunuhan disebutkan pula dalam firman lain yang artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh, mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.(QS Al Baqarah [2]:217).
Ayat ini penting untuk kita pahami karena ia seringkali digunakan untuk sesuatu yang bukan maksudnya, hal ini karena kata fitnah sudah menjadi bahasa Indonesia yang konotasinya adalah mengemukakan tuduhan negatif kepada seseorang padahal orang itu tidak seperti yang dituduhkan. Bisa jadi banyak istilah dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab atau dari kata yang terdapat di dalam Al-Qur’an tapi maknanya tidak seperti yang dimaksud oleh Al-Qur’an dan ketika orang menggunakan kata itu, ia menggunakan dalil Al-Qur’an untuk membenarkannya, bukankah ini namanya penyalahgunaan suatu ayat?.
Dalam Ensiklopedi Al-Qur’an, fitnah berasal dari kata fatana yang berarti membakar logam, emas atau perak untuk menguji kemurniannya. Juga berarti membakar secara mutlak, meneliti, kekafiran, perbedaan pendapat dan kezaliman, hukuman dan kenikmatan hidup.
MAKSUD AYAT.
Bila diteliti ayat sebelum dan sesudah ayat di atas, turunnya ayat ini menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya merupakan perintah atau izin kepada Nabi dan kaum muslimin untuk melakukan peperangan terhadap orang-orang kafir yang memerangi kaum muslimin, namun memerangi mereka yang memerangi kaum muslimin tidak boleh melampaui batas seperti membunuh musuh sampai memotong-motong atau mencincang mereka, membunuh wanita, anak-anak, orang tua yang lanjut usia, rahib dan pendeta yang ada di rumah ibadah mereka padahal mereka tidak terlibat dalam peperangan, membunuh hewan dan merusak lingkungan seperti menebang atau membakar pohon, merusak rumah ibadah dan sebagainya.
Dibolehkan dan diperintahkannya kaum muslimin memerangi orang-orang kafir karena kekufuran dan kemusyrikan serta menghalangi manusia dari jalan Allah merupakan perbuatan yang lebih parah dan lebih fatal, ini merupakan fitnah besar dalam kaitan dengan agama sehingga pada surat Al Baqarah [2] ayat 193, Allah swt berfirman: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
Lebih lanjut, Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fii Dzilalil Quran menegaskan: “Sesungguhnya “fitnah terhadap agama” berarti permusuhan terhadap sesuatu yang paling suci dalam kehidupan manusia. Karena itu, ia lebih besar bahayanya daripada pembunuhan, lebih kejam daripada membunuh jiwa seseorang, menghilangkan nyawa dan menghilangkan kehidupan. Baik fitnah itu berupa intimidasi maupun perbuatan nyata atau berupa peraturan dan perundang-undangan bejat yang dapat menyesatkan manusia, merusak dan menjauhkan mereka dari manhaj Allah serta menganggap indah kekafiran dan memalingkan manusia dari agama Allah itu”.
Sebagai agama yang menekankan perdamaian, pada dasarnya Islam tidak menghendaki terjadinya peperangan dan permusuhan antar manusia meskipun mereka berbeda agama, tapi bila orang-orang kafir sudah sampai pada tingkat memerangi kaum muslimin, maka pembalasan harus dilakukan dan bila mereka berhenti memerangi umat Islam apalagi mereka masuk Islam, maka permusuhanpun diakhiri. Karena itu, Sayyid Quthb menambahkan: “Betapa mulianya Islam ini. Dia melambai-lambaikan ampunan dan rahmat bagi orang-orang kafir dan menggugurkan hukum qishash dari mereka semata-mata karena mereka mau masuk ke dalam barisan Islam setelah sebelumnya mereka membunuh dan memfitnahnya serta melakukan berbagai macam tindakan kasar terhadapnya. Tujuan perang ialah memberikan jaminan agar manusia tidak difitnah lagi dari (memasuki atau melaksanakan) agama Allah, dan agar mereka tidak dijauhkan atau dimurtadkan darinya dengan kekuatan atau semacamnya seperti kekuatan undang-undang yang mengatur kehidupan umum manusia dan kekuatan-kekuatan untuk menyesatkan dan merusak”.
Macam-Macam Fitnah.
Fitnah yang dikategorikan lebih kejam dari pembunuhan bisa dikelompokkan menjadi beberapa macam. Pertama adalah syirik, yakni mensekutukan Allah swt, hal ini dinyatakan dalam firman Allah swt yang artinya: Kelak kamu akan dapati (golongan-golongan) yang lain, yang bermaksud supaya mereka aman dari pada kamu dan aman (pula) dari kaumnya. setiap mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik), merekapun terjun kedalamnya. Karena itu jika mereka tidak membiarkan kamu dan (tidak) mau mengemukakan perdamaian kepadamu, serta (tidak) menahan tangan mereka (dari memerangimu), Maka tawanlah mereka dan Bunuhlah mereka dan merekalah orang-orang yang kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk menawan dan membunuh) mereka. (QS An Nisa [4]:91)
Kedua, kezaliman yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak suka kepada kaum muslimin, Allah swt berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan (fitnah) kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan Kemudian mereka tidak bertaubat, Maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.(QS Al Buruj [85]:10)
Menurut Prof. DR. Wahbah Az Zuhaili, yang dimaksud dengan cobaan atau fitnah adalah berbagai macam siksaan seperti dibakar hidup-hidup supaya orang beriman menjadi murtad. Maka bila mereka tidak bertaubat, siksaan jahannam yang membakar mereka akan menjadi balasannya.
Pada masa Rasulullah saw banyak sahabat yang mengalami fitnah berupa siksaan seperti yang dialami oleh Bilal bin Rabah yang diseret di atas padang pasir yang panas, dicambuk, dijemur sampai ditindihkan batu besar. Begitu juga dengan Yasir dan Sumayyah yang akhirnya mati karena mengalami siksaan yang amat berat.
Ketiga adalah fitnah dalam arti memperebutkan harta yang tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang zalim saja, tapi bisa terjadi pada siapa saja karena sikap mereka yang melampaui batas, bahkan bisa jadi antar sesama saudara, suku dan dalam organisasi perjuangan, mereka bisa bermusuhan karena berebut harta. Hal yang amat mengkhawatirkan adalah dengan sebab harta seseorang menggadaikan nilai-nilai idealisme kebenaran yang selama ini telah diperjuangkannya dan ini merupakan fitnah yang besar, karenanya bagi mereka akan disiapkan siksa yang Amat keras, Allah swt berfirman: Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan (fitnah) yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya (QS Al Anfal [8]:25).
Dalam menghadapi fitnah, setiap kita harus berlindung kepada Allah swt agar tidak termasuk orang-orang yang menjadi pelaku fitnah. Disinilah letal pentingnya bagi untuk memiliki kekuatan rohani.
Oleh Drs. H. Ahmad Yani, Ketua LPPD Khairu Ummah
Judul di atas merupakan kalimat yang diterjemahkan dari firman Allah swt pada surat Al Baqarah [2]:191, lebih lengkap terjemahannya adalah: Dan Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka Bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.
Kata fitnah yang dosanya lebih besar dari pembunuhan disebutkan pula dalam firman lain yang artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh, mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.(QS Al Baqarah [2]:217).
Ayat ini penting untuk kita pahami karena ia seringkali digunakan untuk sesuatu yang bukan maksudnya, hal ini karena kata fitnah sudah menjadi bahasa Indonesia yang konotasinya adalah mengemukakan tuduhan negatif kepada seseorang padahal orang itu tidak seperti yang dituduhkan. Bisa jadi banyak istilah dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab atau dari kata yang terdapat di dalam Al-Qur’an tapi maknanya tidak seperti yang dimaksud oleh Al-Qur’an dan ketika orang menggunakan kata itu, ia menggunakan dalil Al-Qur’an untuk membenarkannya, bukankah ini namanya penyalahgunaan suatu ayat?.
Dalam Ensiklopedi Al-Qur’an, fitnah berasal dari kata fatana yang berarti membakar logam, emas atau perak untuk menguji kemurniannya. Juga berarti membakar secara mutlak, meneliti, kekafiran, perbedaan pendapat dan kezaliman, hukuman dan kenikmatan hidup.
MAKSUD AYAT.
Bila diteliti ayat sebelum dan sesudah ayat di atas, turunnya ayat ini menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya merupakan perintah atau izin kepada Nabi dan kaum muslimin untuk melakukan peperangan terhadap orang-orang kafir yang memerangi kaum muslimin, namun memerangi mereka yang memerangi kaum muslimin tidak boleh melampaui batas seperti membunuh musuh sampai memotong-motong atau mencincang mereka, membunuh wanita, anak-anak, orang tua yang lanjut usia, rahib dan pendeta yang ada di rumah ibadah mereka padahal mereka tidak terlibat dalam peperangan, membunuh hewan dan merusak lingkungan seperti menebang atau membakar pohon, merusak rumah ibadah dan sebagainya.
Dibolehkan dan diperintahkannya kaum muslimin memerangi orang-orang kafir karena kekufuran dan kemusyrikan serta menghalangi manusia dari jalan Allah merupakan perbuatan yang lebih parah dan lebih fatal, ini merupakan fitnah besar dalam kaitan dengan agama sehingga pada surat Al Baqarah [2] ayat 193, Allah swt berfirman: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
Lebih lanjut, Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fii Dzilalil Quran menegaskan: “Sesungguhnya “fitnah terhadap agama” berarti permusuhan terhadap sesuatu yang paling suci dalam kehidupan manusia. Karena itu, ia lebih besar bahayanya daripada pembunuhan, lebih kejam daripada membunuh jiwa seseorang, menghilangkan nyawa dan menghilangkan kehidupan. Baik fitnah itu berupa intimidasi maupun perbuatan nyata atau berupa peraturan dan perundang-undangan bejat yang dapat menyesatkan manusia, merusak dan menjauhkan mereka dari manhaj Allah serta menganggap indah kekafiran dan memalingkan manusia dari agama Allah itu”.
Sebagai agama yang menekankan perdamaian, pada dasarnya Islam tidak menghendaki terjadinya peperangan dan permusuhan antar manusia meskipun mereka berbeda agama, tapi bila orang-orang kafir sudah sampai pada tingkat memerangi kaum muslimin, maka pembalasan harus dilakukan dan bila mereka berhenti memerangi umat Islam apalagi mereka masuk Islam, maka permusuhanpun diakhiri. Karena itu, Sayyid Quthb menambahkan: “Betapa mulianya Islam ini. Dia melambai-lambaikan ampunan dan rahmat bagi orang-orang kafir dan menggugurkan hukum qishash dari mereka semata-mata karena mereka mau masuk ke dalam barisan Islam setelah sebelumnya mereka membunuh dan memfitnahnya serta melakukan berbagai macam tindakan kasar terhadapnya. Tujuan perang ialah memberikan jaminan agar manusia tidak difitnah lagi dari (memasuki atau melaksanakan) agama Allah, dan agar mereka tidak dijauhkan atau dimurtadkan darinya dengan kekuatan atau semacamnya seperti kekuatan undang-undang yang mengatur kehidupan umum manusia dan kekuatan-kekuatan untuk menyesatkan dan merusak”.
Macam-Macam Fitnah.
Fitnah yang dikategorikan lebih kejam dari pembunuhan bisa dikelompokkan menjadi beberapa macam. Pertama adalah syirik, yakni mensekutukan Allah swt, hal ini dinyatakan dalam firman Allah swt yang artinya: Kelak kamu akan dapati (golongan-golongan) yang lain, yang bermaksud supaya mereka aman dari pada kamu dan aman (pula) dari kaumnya. setiap mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik), merekapun terjun kedalamnya. Karena itu jika mereka tidak membiarkan kamu dan (tidak) mau mengemukakan perdamaian kepadamu, serta (tidak) menahan tangan mereka (dari memerangimu), Maka tawanlah mereka dan Bunuhlah mereka dan merekalah orang-orang yang kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk menawan dan membunuh) mereka. (QS An Nisa [4]:91)
Kedua, kezaliman yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak suka kepada kaum muslimin, Allah swt berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan (fitnah) kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan Kemudian mereka tidak bertaubat, Maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.(QS Al Buruj [85]:10)
Menurut Prof. DR. Wahbah Az Zuhaili, yang dimaksud dengan cobaan atau fitnah adalah berbagai macam siksaan seperti dibakar hidup-hidup supaya orang beriman menjadi murtad. Maka bila mereka tidak bertaubat, siksaan jahannam yang membakar mereka akan menjadi balasannya.
Pada masa Rasulullah saw banyak sahabat yang mengalami fitnah berupa siksaan seperti yang dialami oleh Bilal bin Rabah yang diseret di atas padang pasir yang panas, dicambuk, dijemur sampai ditindihkan batu besar. Begitu juga dengan Yasir dan Sumayyah yang akhirnya mati karena mengalami siksaan yang amat berat.
Ketiga adalah fitnah dalam arti memperebutkan harta yang tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang zalim saja, tapi bisa terjadi pada siapa saja karena sikap mereka yang melampaui batas, bahkan bisa jadi antar sesama saudara, suku dan dalam organisasi perjuangan, mereka bisa bermusuhan karena berebut harta. Hal yang amat mengkhawatirkan adalah dengan sebab harta seseorang menggadaikan nilai-nilai idealisme kebenaran yang selama ini telah diperjuangkannya dan ini merupakan fitnah yang besar, karenanya bagi mereka akan disiapkan siksa yang Amat keras, Allah swt berfirman: Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan (fitnah) yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya (QS Al Anfal [8]:25).
Dalam menghadapi fitnah, setiap kita harus berlindung kepada Allah swt agar tidak termasuk orang-orang yang menjadi pelaku fitnah. Disinilah letal pentingnya bagi untuk memiliki kekuatan rohani.
Naik Haji
Sumber : jambi.kemenag.go.id
Macam-Macam Pelaksanaan Haji
Rukun-Rukun Haji (jika ditinggalkan, haji menjadi batal)
Wajib-wajib Haji (jika ditinggalkan, wajib memotong DAM)
Penjelasan Rukun-Rukun Haji
RUKUN PERTAMA: IHRAM
Yaitu melakukan ritual "niat" haji atau umrah dan/atau haji sekaligus dari Miqat yang telah ditentukan dengan bacaan yang telah ditentukan karena Allah ta'aala. Niat haji dilakukan dengan mengucapkan bacaan berikut:
(Labbaeka Allahumma hajjan wa 'umratan) - bagi yang berhaji qiran.
(Labbaeka Allahumma hajjan) - bagi yang berhaji Ifrad
(Labbaeka Allahumma 'umratan) - bagi yang berumrah/berhaji tamattu'
Wajib-wajib Ihram:
Sunnah-Sunnah Ihram:
Larangan-Larangan Ihram (ada ketentuan dendanya):
Sanksi pelanggaran larangan Ihram:
Wukuf berarti "berhenti". Sedangkan dalam pengertian Syaria'h: "Tinggal di padang Arafah sejak tergelincir matahari pada tgl 9 dzulhijjah dengan niat ibadah karena Allah". Arafah adalah nama sebuah padang, sekitar 8 mil dari kota Makkah. Padang ini dinamai "arafah" berarti "mengenal", karena riwayat menyebutkan bahwa di padang inilah Adam dan Hawa kembali saling bertemu dan mengenal setelah masing-masing diturunkan ke
bumi pada tempat yang berjauhan. Dengan demikian, wukuf di Arafah dapat berarti berhenti sejenak untuk mengenal kembali. Sebagian ahli hikmah mengatakan bahwa pengertian ini mengandung makna pentingnya bagi manusia untuk sejenak berhenti (introspeksi) dalam rangka melakukan pengenalan (pada dirinya sendiri dan juga lingkungan sekitarnya). Tanpa mengenal dirinya sendiri, manusia mustahil untuk mengenal Penciptanya secara benar. Tanpa mengenal Rabb-nya, manusia akan mustahil mampu untuk menyikapi kehidupannya secara rasional.
Wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang paling utama. Rasulullah bersabda "Alhajju 'arafah" (haji itu adalah Arafah". Sehingga barangsiapa yang tidak sempat melakukan wukuf, walau telah melakukan semua rukun yang lain, hajinya dianggap tidak ada.
Wajib Wukuf:
Sunnah-Sunnah Wukuf:
RUKUN KETIGA: THAWAF:
Thawaf berarti "mengelilingi". Dalam pengertian syari'ah, thawaf difahami sebagai mengelilingi Ka'bah selama tujuh kali dengan niat ibadah karena Allah Ta'aala.
Macam-Macam Thawaf: Ada 4 macam thawaf:
Syarat-syarat Thawaf:
Sunnah-Sunnah Thawaf:
RUKUN KEEMPAT: SA'I
Sa'I berarti "berusaha keras". Secara syar'I diartikan: "Berkeliling antara bukit Shafa dan Marwa selama tujuh kali dengan niat ibadah karena Allah ta'ala".
Syarat-Syarat Sa'i:
RUKUN KELIMA: TAHALLUL
Pengertian "Tahallul" adalah menghalalkan kembali apa-apa yang tadinya dilarang ketika masih dalam keadaan ihram. Tahallul ada dua macam; tahallul pertama dan tahallul kedua.
Tahallul pertama adalah melakukan pemotongan rambut baik secara keseluruhan atau hanya sebagianm walau hanya sepanjang 2 inci oleh Syafi'I, setelah melakukan dua rukun ditambah satu wajib haji. Jadi setelah melakukan ihram (rukun 1) lalu wukuf (rukun 2), dilanjutkan dengan melempar Jamrah Aqabah, sesorang haji telah diperbolehkan untuk melakukan tahallul pertama. Orang yang telah melakukan tahallul I, telah dapat melakukan larangan-larangan ihram, kecuali hubungan suami isteri (jima').
Tahallul kedua adalah jika semua rangkaian rukun haji telah dilakukan, termasuk thawaf ifadhah dan Sa'I haji. Tahallul kedua tidak dilakukan pemotongan, melainkan jatuh dengan sendirinya jika kedua hal di atas telah dilakukan. Setelah tahallul kedua jatuh, semua larangan ihram boleh dilakukan kembali, termasuk hubungan suami isteri.
Amalan-Amalan Mina.
Sebagaimana disebutkan terdahulu, amalan-amalan Mina termasuk dalam kategori wajib haji. Jadi melempar Jumrah Aqabah pada hari I, dilanjutkan dengan melempar ketiga jamarat pada hari kedua dan ketiga (nafar Awal) atau pada hari ketiga (nafar tsani), dan juga melakukan mabit pada malam-malam selama malam pelemparan tersebut, hukumnya adalah wajib. Yaitu jika tidak dilaksanakan maka diharuskan memotong atau
membayar DAM.
a. Melempar Jumrah Aqabah (10 Dzulhijjah pagi)
b. Melempar 3 Jumrah: Ula, Wustha, Aqabah (11 dan 12 Dzulhijjah).
c. Mabit di Mina (tgl 10 malam dan tgl 11 malam Dzulhijjah)
Catatan: Ada dua macam pelemparan dan Mabit di Mina. Pertama: Nafar Awal, yaitu
melempar hanya dua hari dan mabit hanya dua malam. Bagi yang mengambil nafar awal,
harus meninggalkan Mina sebelum matahari terbenam pada tgl 12 Dzulhijjah. Kedua:
Nafar Tsani, yaitu menambah semalam lagi di Mina pada tgl 12 Dzulhijjah malam, dan
esoknya melempar kembali tiga Jumrah.
THAWAF WADA'
Tawaf Wada' artinya thawaf "Selamat tinggal" karena seseorang akan meninggalkan tanah haram menuju kembali ke tempat tinggal aslinya dan dianggap sebagai bagian dari Wajib Haji. Cara melakukannya sama dengan thawaf lain, dengan catatan tidak boleh lagi melakukan kegiatan, kecuali dharurat seperti makan karena lapar, setelahnya.
Haji dan Ziarah Madinah
Ada semacam asumsi yang berkembang bahwa ziarah ke Madinah dengan shalat arba'iin (shalat 40 kali waktu tanpa masbuq) di masjid Nabawi menjadi penentu afdhal tidaknya haji seseorang. Padahal, sebenarnya hubungan antara haji dan ziarah ke masjid Nabawi di Madinah adalah dua entity ibadah yang terpisah. Haji adalah wajib dan menjadi rukun kelima Islam, sementara ziarah sekedar sunnah yang dianjurkan oleh Rasululah SAW. Untuk itu, sebenarnya kedua-duanya tidak ada hubungan serta tidak saling menanmbah
atau mengurangi bobot ibadahnya.
(Allahumma ij'alhu hajjan mabruuran wa sa'yan masykuuran wa dzanban maghfuuran wa
tijaaratan lan tabuur) Amin!
Macam-Macam Pelaksanaan Haji
- Ifrad: Yaitu melakukan niat haji semata (tanpa umrah). Tanpa DAM
- Qiran: Melakukan niat haji dan Umrah sekaligus. Dam diharuskan
- Tamattu': Berniat umrah pada bulan-bulan haji, lalu pada tgl 8 Dzulhijjah melakukan niat haji. DAM diharuskan, atau berpuasa 3 hari di tanah suci dan 4 hari jika telah kembali ke negara asal.
Rukun-Rukun Haji (jika ditinggalkan, haji menjadi batal)
- Ihram
- Wukuf di Arafah
- Thawaf Ifadhah
- Sa'I
- Tahallul
- Berurut (Syafi'I)
Wajib-wajib Haji (jika ditinggalkan, wajib memotong DAM)
- Berihram dari Miqat
- Mengucapkan Talbiyah (minimal sekali)
- Memakai pakaian khusus (pria: 2 potong kain tak berjahit. Wanita pakaian Muslimah)
- Berada di Arafah hingga terbenam matahari
- Mabit di Muzdalifah (minimal lewat ½ malam
- Melempar Jumrah (hari pertama hanya Aqabah. Disusul 2-3 hari melempar seluruh Jumrah)
- Mabit di Mina (2-3 malam)
- Tawaf Wada'
Penjelasan Rukun-Rukun Haji
RUKUN PERTAMA: IHRAM
Yaitu melakukan ritual "niat" haji atau umrah dan/atau haji sekaligus dari Miqat yang telah ditentukan dengan bacaan yang telah ditentukan karena Allah ta'aala. Niat haji dilakukan dengan mengucapkan bacaan berikut:
(Labbaeka Allahumma hajjan wa 'umratan) - bagi yang berhaji qiran.
(Labbaeka Allahumma hajjan) - bagi yang berhaji Ifrad
(Labbaeka Allahumma 'umratan) - bagi yang berumrah/berhaji tamattu'
Wajib-wajib Ihram:
- Melakukannya di Miqat atau sebelumnya. Ada lima miqat yang telah ditentukan. Bagi kita, tergantung arah kedatangan pesawatnya
- Membaca Talbiyah: (Labbaeka Allahumma Labbaek. Labbaeka laa syariika lakalabbaek. Innal hamda, wanni'mata laka wal mulk, laa syariika lak).
- Memakai pakaian tidak berjahit (pria) dan Muslimah (wanita)
- Menjaga larangan-larangannya (lihat larangan Ihram).
Sunnah-Sunnah Ihram:
- Mandi / Wudhu
- Mencukur/memotong (kuku, kumis, bulu ketiak, kemaluan)
- Berwangian sebelum membaca niat (di badan)
- Shalat sunnah 2 raka'at
- Memperbanyak "talbiyah"
Larangan-Larangan Ihram (ada ketentuan dendanya):
- Mencabut rambut.
- Menggunting kuku.
- Memakai wangi-wangian.
- Membunuh hewan buruan.
- Mencabut pepohonan di tanah suci
- Mengenakan pakaian berjahit (bagi laki-laki).
- Menutupi kepala dengan sesuatu yang menempel (bagi pria)
- Memakai tutup muka dan kaos tangan (bagi wanita)
- Menutupi mata kaki (bagi pria)
- Melangsungkan pernikahan, menikah atau menikahkan.
- Berhubungan suami isteri.
- Bercumbu (bermesraan) dengan syahwat
- Keluarnya airmani karena sengaja.
Sanksi pelanggaran larangan Ihram:
- Ia melakukannya tanpa udzur (alasan), maka ia berdosa dan wajib membayar fidyah (tebusan).
- Ia melakukannya untuk suatu keperluan, seperti memotong rambut karena sakit. Perbuatannya ter-sebut dibolehkan, tetapi ia wajib membayar fidyah.
- Ia melakukannya dalam keadaan tidur, lupa, tidak tahu atau dipaksa. Dalam keadaan seperti itu ia tidak berdosa dan tidak wajib membayar fidyah.
- Menyembelih kambing (untuk dibagikan kepada orang-orang fakir miskin dan ia tidak boleh memakan sesuatu pun daripadanya).
- Memberi makan enam orang miskin, masing-masing setengah sha' makanan. (setengah sha' lebih kurang sama dengan 1,25 kg.).
- Berpuasa selama tiga hari di tanah suci dan 7 hari jika kembali ke negara asal.
- Jika yang dilakukan adalah larangan-larangan berikut
- Melamar atau melangsungkan pernikahan, tidak ada ketetapan. Namun ada yang berpendapat dengan memotong kambing.
- Membunuh binatang buruan (darat) dengan memotong hewan yang dibunuhnya (kambing dengan kambing)
- Bersetubuh (dan ia adalah larangan yang paling besar). Jika ia melakukannya secara sengaja sebelum tahallul pertama, hajinya batal, menyembelih onta serta wajib melakukannya kembali pada tahun berikutnya. Jika dilakukan setelah tahallul pertama, maka dendanya adalah memotong kambing (jumhur ulama).
Wukuf berarti "berhenti". Sedangkan dalam pengertian Syaria'h: "Tinggal di padang Arafah sejak tergelincir matahari pada tgl 9 dzulhijjah dengan niat ibadah karena Allah". Arafah adalah nama sebuah padang, sekitar 8 mil dari kota Makkah. Padang ini dinamai "arafah" berarti "mengenal", karena riwayat menyebutkan bahwa di padang inilah Adam dan Hawa kembali saling bertemu dan mengenal setelah masing-masing diturunkan ke
bumi pada tempat yang berjauhan. Dengan demikian, wukuf di Arafah dapat berarti berhenti sejenak untuk mengenal kembali. Sebagian ahli hikmah mengatakan bahwa pengertian ini mengandung makna pentingnya bagi manusia untuk sejenak berhenti (introspeksi) dalam rangka melakukan pengenalan (pada dirinya sendiri dan juga lingkungan sekitarnya). Tanpa mengenal dirinya sendiri, manusia mustahil untuk mengenal Penciptanya secara benar. Tanpa mengenal Rabb-nya, manusia akan mustahil mampu untuk menyikapi kehidupannya secara rasional.
Wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang paling utama. Rasulullah bersabda "Alhajju 'arafah" (haji itu adalah Arafah". Sehingga barangsiapa yang tidak sempat melakukan wukuf, walau telah melakukan semua rukun yang lain, hajinya dianggap tidak ada.
Wajib Wukuf:
- Dilakukan di dalam daerah Arafah (Kalau sempat keluar walau sejengkal sebelum terbenam, diwajibkan memotong)
- Dilakukan hingga terbenam matahari (kalau mengakhirinya sebelum terbenam, wajib memotong)
Sunnah-Sunnah Wukuf:
- Melakukan shalat Zhuhur dan Asar (jama' qashar)
- Mendengarkan Khutbah Arafah
- Memperbanyak dzikir, doa atau baca Al Qur'an. Doa terafdhal adalah: "Laa ilaaha illallah wahdahu laa syraiika lah, lahul Mulku walahul hamdu yuhyii wa yumiit wahuwa 'alaa kulli syaein Qadiir". Masuk daerah Arafah sebelum zhuhur (setelah Zhuhur masih sah, tapi kehilangan sunnahnya).
RUKUN KETIGA: THAWAF:
Thawaf berarti "mengelilingi". Dalam pengertian syari'ah, thawaf difahami sebagai mengelilingi Ka'bah selama tujuh kali dengan niat ibadah karena Allah Ta'aala.
Macam-Macam Thawaf: Ada 4 macam thawaf:
- Thawaf Qudum, yaitu thawaf selamat datang. Thawaf ini hanya berlaku bagi mereka yang melakukan haji Ifrad.
- Thawaf Ifadhah, yaitu thawaf rukun (haji / umrah).
- Thawaf Sunnah, yaitu thawaf-thawaf yang dilakukan kapan saja bilamana ada peluang.
- Thawaf Wada', yaitu thawaf selamat tinggal, yang dilakukan jika seorang haji akan meninggalkan tanah haram.
Syarat-syarat Thawaf:
- Wudhu
- Menutup aurat
- Di luar Ka'bah
- Di dalam masjid al Haram
- Ka'bah di sebelah kiri
- Sempurna tujuh keliling
- Dimulai dan berakhir di sudut al hajar al aswad
Sunnah-Sunnah Thawaf:
- Mencium hajar al Aswad (jika tidak memungkinkan, dengan mengacungkan tangan dan menciumnya) sambil membaca: "Bismillah Allahu Akbar, abda' bimaa badaaLLAHU wa Rasuluhu bihi"
- Membaca doa: "Allahumma imaanan bika watishdiikan bikitaabika wattibaa'an lisunnati nabiyyika Muhammadin Sallallahu 'alaihi wasallam"
- Pada 3 putaran pertama, bagi laki-laki melakukan harwalah (berlari-lari kecil)
- Idhtiba' (menggantungkan kain atas di bawah ketiak)
- Melambaikan tangan ke Rukun Yamani (tanpa mencium)
- Membaca "Rabbana Aatina fidddunya hasanah wa fil Akhirah hasanah waqinaa 'adzaabannar" antara sudut keempat dan pertama (yamani-hajar al aswad)
- Memperbanyak doa, dzikir atau bacaan al Qur'an (sesuai kemampuan dan tanpa ikatan dengan doa puataran pertama, kedua, dst.)
- Shalat di belakang "Maqam Ibrahim" dengan membaca: pada raka'at pertama alfaatihah dan Al Kaafirun dan pada raka'at kedua al faatihah dan Al Ikhlas
- Berdoa di depan "Multazam" (sesuai hajat masing-masing).
- Meminum air zamzam (turun menuju tempat sumur zam zam).
RUKUN KEEMPAT: SA'I
Sa'I berarti "berusaha keras". Secara syar'I diartikan: "Berkeliling antara bukit Shafa dan Marwa selama tujuh kali dengan niat ibadah karena Allah ta'ala".
Syarat-Syarat Sa'i:
- Wudhu (sebagian tidak melihatnya keharusan)
- Tujuh keliling
- Dimulai dari Shafa dan berakhir di Marwa
- Arah yang benar
- Saat memulai dengan menghadap Ka'bah, melambaikan tangan sambil membaca: "Bismillah abda' bimaa badaaLLAHU Wa Rasuluhu bihi"
- Mulai berjalan sambil membaca: "Innas Shafa wal Marwata min Sya'aairiLLAH. Famanhajjal baeta awi'tamara falaa junaaha 'alaehi an yatthawwafa bihimaa. Famantathawwa'a khaeran fainnaLLAH syaakirun 'aliim". (dibaca setiap mendekati Shafa atau Marwa)
- Berlari-lari di antara dua lampu pijar (bagi pria)
- Memperbanyak doa, dzikir atau bacaan Al Qur'an
- Mengakhiri dengan berdoa menghadap Ka'bah
RUKUN KELIMA: TAHALLUL
Pengertian "Tahallul" adalah menghalalkan kembali apa-apa yang tadinya dilarang ketika masih dalam keadaan ihram. Tahallul ada dua macam; tahallul pertama dan tahallul kedua.
Tahallul pertama adalah melakukan pemotongan rambut baik secara keseluruhan atau hanya sebagianm walau hanya sepanjang 2 inci oleh Syafi'I, setelah melakukan dua rukun ditambah satu wajib haji. Jadi setelah melakukan ihram (rukun 1) lalu wukuf (rukun 2), dilanjutkan dengan melempar Jamrah Aqabah, sesorang haji telah diperbolehkan untuk melakukan tahallul pertama. Orang yang telah melakukan tahallul I, telah dapat melakukan larangan-larangan ihram, kecuali hubungan suami isteri (jima').
Tahallul kedua adalah jika semua rangkaian rukun haji telah dilakukan, termasuk thawaf ifadhah dan Sa'I haji. Tahallul kedua tidak dilakukan pemotongan, melainkan jatuh dengan sendirinya jika kedua hal di atas telah dilakukan. Setelah tahallul kedua jatuh, semua larangan ihram boleh dilakukan kembali, termasuk hubungan suami isteri.
Amalan-Amalan Mina.
Sebagaimana disebutkan terdahulu, amalan-amalan Mina termasuk dalam kategori wajib haji. Jadi melempar Jumrah Aqabah pada hari I, dilanjutkan dengan melempar ketiga jamarat pada hari kedua dan ketiga (nafar Awal) atau pada hari ketiga (nafar tsani), dan juga melakukan mabit pada malam-malam selama malam pelemparan tersebut, hukumnya adalah wajib. Yaitu jika tidak dilaksanakan maka diharuskan memotong atau
membayar DAM.
a. Melempar Jumrah Aqabah (10 Dzulhijjah pagi)
- Hanya dari Satu arah (menghadap Makkah)
- Setiap lemparan (7 lemparan) dengan membaca "Bismillah-Allahu Akbar".
- Setelah melempar berdoa menghadap Ka'bah (doa bebas).
b. Melempar 3 Jumrah: Ula, Wustha, Aqabah (11 dan 12 Dzulhijjah).
- Dimulai dari Ula lalu Wustha dan diakhiri di Aqabah
- Setiap lemparan membaca bacaan di atas
- Setelah melempar ketiganya berdoa menghadap Makkah
c. Mabit di Mina (tgl 10 malam dan tgl 11 malam Dzulhijjah)
- Selama mabit memperbanyak dzikir dan doa
- Mabit artinya berada pada tempat tersebut pada malam hari. Minimal sebelum midnight hingga setelah tengah malam.
Catatan: Ada dua macam pelemparan dan Mabit di Mina. Pertama: Nafar Awal, yaitu
melempar hanya dua hari dan mabit hanya dua malam. Bagi yang mengambil nafar awal,
harus meninggalkan Mina sebelum matahari terbenam pada tgl 12 Dzulhijjah. Kedua:
Nafar Tsani, yaitu menambah semalam lagi di Mina pada tgl 12 Dzulhijjah malam, dan
esoknya melempar kembali tiga Jumrah.
THAWAF WADA'
Tawaf Wada' artinya thawaf "Selamat tinggal" karena seseorang akan meninggalkan tanah haram menuju kembali ke tempat tinggal aslinya dan dianggap sebagai bagian dari Wajib Haji. Cara melakukannya sama dengan thawaf lain, dengan catatan tidak boleh lagi melakukan kegiatan, kecuali dharurat seperti makan karena lapar, setelahnya.
Haji dan Ziarah Madinah
Ada semacam asumsi yang berkembang bahwa ziarah ke Madinah dengan shalat arba'iin (shalat 40 kali waktu tanpa masbuq) di masjid Nabawi menjadi penentu afdhal tidaknya haji seseorang. Padahal, sebenarnya hubungan antara haji dan ziarah ke masjid Nabawi di Madinah adalah dua entity ibadah yang terpisah. Haji adalah wajib dan menjadi rukun kelima Islam, sementara ziarah sekedar sunnah yang dianjurkan oleh Rasululah SAW. Untuk itu, sebenarnya kedua-duanya tidak ada hubungan serta tidak saling menanmbah
atau mengurangi bobot ibadahnya.
(Allahumma ij'alhu hajjan mabruuran wa sa'yan masykuuran wa dzanban maghfuuran wa
tijaaratan lan tabuur) Amin!
Sabtu, 15 Oktober 2011
Kisah Nabi Idris 'alaihi sallam melihat surga dan neraka
Sumber : www.sufiz.com
Karena ketekunannya dalam beribadah dan menuntut ilmu, Nabi Idris dikaruniai Allah SWT pengetahuan yang luas dan dalam. Dialah manusia pertama yang menulis dengan pena serta satu-satunya Nabi yang tinggal di surga tanpa mengalami kematian.
Nabi Idris lahir di Munaf, sebuah daerah di Mesir. Dia adalah keturunan ke enam Nabi Adam, dari Yazid bin Mihla’iel bin Qinan bin Syits. Dia kakek bapak Nabi Nuh AS. Nabi Syits mengajarkan Idris membaca Shafiah. Allah SWT menurunkan 30 Shahifah kepada Nabi Idris AS yang berisi petunjuk untuk disampaikan kepada umatnya (keturunan Qabil yang durhaka kepada Allah).
Idris kecil mempelajari Shafiah dengan tekun, karena kesukaannya membaca itulah, ia mendapat gelar “Idris”, yang artinya orang yang tekun belajar. Dia belajar membaca dan menulis tanpa mengenal waktu dan tempat. Dia menjadi Nabi pertama yang menulis dengan Pena yang terbuat dari batu kerikil. Tidak mengherankan bila Allah menganugerahkan ilmu pengetahuan yang luas.
Beliaulah yang mula-mula pandai ilmu hitung dan ilmu bintang, dan beliau pula manusia pertama yang merancak kuda, menggunting pakian yang terbuat dari kulit binatang dan menjahitnya.
Dia mempunyai kekuatan yang hebat dan bertabiat gagah berani, sehingga diberi julukan “Asadul Usud”, artinya Singa dari segala Singa. Dia tidak pernah lalai sedikitpun dari mengingat Allah, walau sedang sibuk menghadapi persoalan penting sehari-hari. Hingga Allah memberikan derajat yang tinggi padanya.
Seperti halnya Nabi Adam dan Nabi Syits, Nabi Idris juga menerima Wahyu Allah melalui Malaikat Jibril yang berupa 30 Shahifah yang berisi petunjuk untuk disampaikan kepada Umatnya. Beliau di utus berdakwah kepada umat keturunan Qabil. Umat ini telah bersikap durhaka kepada Allah. Mereka menimbulkan berbagai bencana dan kerusakan di muka bumi. Oleh Nabi Idris orang-orang ini diajak salat, puasa dan bersedekah.
Tapi, keturunan Qabil ini tak mau mendengar ajakan menuju kebaikan itu. Mereka malah menghina dan mengejek Nabi Idris. “Hidup kami sudah enak, senang dan serba cukup, kenapa engkau mengganggu kami? Tanya beberapa orang penting dari kaum itu.
“Ajaranmu aneh, kami tak membutuhkannya!” sahut yang lain. “Lebih baik engkau hidup sendiri bersama Tuhanmu.”
Begitulah tantangan dakwah Nabi Idris selama puluhan tahun menyebarkan ajaran kebenaran. Hanya beberapa gelintir orang yang mau mengikutinya. Sebagian besar dari mereka lebih suka mengikuti hawa nafsunya sendiri.
Karena keturunan Qabil semakin menentang ajaran Idris, Allah memerintahkan Nabi Idris meninggalkan mereka dan membawa pengikutnya yang setia dan mau beriman kepada Allah untuk menyelamatkan diri. Karena Allah akan menurunkan azab kepada umat yang durhaka itu.
Begitu Nabi Idris dan pengikutnya meninggalkan negeri itu, datanglah azab yang dijanjikan Allah. Paceklik merajalela, pertanian gagal, ternak mati, akhirnya umat yang sesat itupun mati bergelimpangan karena kelaparan.
Sebaliknya, Nabi Idris dan orang-orang beriman yang mengikutinya diselamatkan Allah dari bencana yang mengerikan itu.
Izrael, Malaikat pencabut nyawa sangat mengagumi kepandaian Nabi Idris. Izrael ingin lebih mengenal Nabi Idris. Atas izin Allah, diam-diam Izrael menyamar sebagai manusia dan bertamu ke rumah Nabi Idris.
“Assalamu’alaikum,” Malaikat Izrael memberi salam sambil mengetuk pintu.
“Wa’alaikum salam,” jawab Nabi Idris, “Silahkan masuk, siapakah itu, dan ada perlu apa datang kemari?”
Izrael menyampaikan maksudnya untuk berkenalan dengan Nabi Idris sebagai utusan Allah. Akhirnya Nabi Idris mengajak Izrael menginap di rumahnya.
Di rumah Nabi Idris, keduanya asyik beribadah, mereka tidak banyak bicara melainkan terus beribadah. Ketika tiba waktu makan, Nabi Idris mempersilahkan tamunya makan. Tamunya menolak. “Silahkan tuan makan sendiri, saya ingin melanjutkan ibadah saya kepada Allah,” jawabnya.
Setelah makan nabi Idris melanjutkan ibadah bersama tamunya sampai tiba waktu tidur. “Silahkan tuan tidur disini,” Nabi Idris menunjukkan tempat tidur tamu.
“Silahkan tuan tidur dulu, saya masih ingin melanjutkan ibadah saya,” jawab sang tamu, tanpa menunjukkan rasa lelah.
Keesokan harinya, kejadian yang sama berulang. Nabi Idris sangat heran,, siapakah sebenarnya tamu ini, kenapa tamu aneh ini tidak mau makan dan tidur? Dengan hati-hati Nabi Idris menanyakan hal itu kepada tamunya.
“Saya adalah Izrael, Malaikat pencabut nyawa,” kata sang tamu. Nabi Idris sangat kaget. “Jadi, engkau datang untuk mencabut nyawa saya?” tanya Nabi Idris.
Izrael menggeleng, lalu menjelaskan keinginannya untuk mengenal Nabi Idris lebih jauh. Barulah Nabi Idris sadar, memang begitulah kehidupan malaikat. Dan para Malaikat memang suka mendekati orang-orang yang beriman. Bila orang beriman sedang shalat, berdoa, atau melakukan amal saleh, banyak malaikat yang mengerumuninya.
“Sebenarnya saya ingin merasakan bagaimana rasanya jika nyawa seseorang sedang di cabut,” ujar Nabi Idris tiba-tiba.
“Permintaan tuan aneh sekali,” kata Izrael. Selama ini manusia justru takut nyawanya akan dicabut.
Idris menjelaskan kepada Izrael bahwa pengalamannya akan menjadi bekal dalam berdakwah. Dengan izin Allah, Malaikat Izrael melakukan apa yang diminta Nabi Idris. Dicabutnya nyawa Nabi Idris, lalu segera dikembalikan lagi.
“Saya tidak merasakan apa-apa,” kata Idris setelah bangun dari kematiannya
“Karena saya melakukannya dengan lembut. Begitulah yang selalu saya lakukan terhadap orang-orang beriman,” kata Izrael.
“Bagaimana dengan orang yang tidak beriman? Tanya Nabi Idris penasaran.
“Oh, mereka akan merasakan luar biasa kesakitan waktu nyawa mereka dicabut,” kata Izrael. Nabi Idris ingin mendengarnya. Terlebih waktu Izrael mengatakan, rasa sakit itu akan dirasakan simati sampai hari kiamat. Nabi Idris tidak mampu membayangkan betapa sakitnya. Sakit sehari saja rasanya sudah tidak tahan, apalagi kalau harus menanggungnya hingga ratusan tahun sambil menunggu waktu kiamat tiba. Sebaliknya orang yang beriman akan merasakan kebahagiaan. Setelah mati, mereka akan menikmati hasil setiap amal saleh mereka di dunia,” tutur Izrael menjelaskan.
Setiap hari Malaikat Izrael dan Nabi Idris beribadah bersama. Suatu kali, sekali lagi Nabi Idris mengajukan permintaan. “Bisakah engkau membawa saya melihat surga dan neraka?”
“Wahai Nabi Allah, lagi-lagi permintaanmu aneh,” kata Izrael.
Setelah Malaikat Izrael memohon izin kepada Allah, dibawanya Nabi Idris ke tempat yang ingin dilihatnya.
“Ya Nabi Allah, mengapa ingin melihat neraka? Bahkan para Malaikat pun takut melihatnya,” kata Izrael.
“Terus terang, saya takut sekali kepada Azab Allah itu. Tapi mudah-mudahan, iman saya menjadi tebal setelah melihatnya,” Nabi Idris menjelaskan alasannya.
Waktu mereka sampai ke dekat neraka, Nabi Idris langsung pingsan. Penjaga neraka adalah Malaikat yang sangat menakutkan. Ia menyeret dan menyiksa manusia-manusia yang durhaka kepada Allah semasa hidupnya. Nabi Idris tidak sanggup menyaksikan berbagai siksaan yang mengerikan itu. Api neraka berkobar dahsyat, bunyinya bergemuruh menakutkan, tak ada pemandangan yang lebih mengerikan dibanding tempat ini.
Dengan tubuh lemas Nabi Idris meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Kemudian Izrael membawa Nabi Idris ke surga. “Assalamu’alaikum…” kata Izrael kepada Malaikat Ridwan, Malaikat penjaga pintu surga yang sangat tampan.
Wajah Malaikat Ridwan selalu berseri-seri di hiasi senyum ramah. Siapapun akan senang memandangnya. Sikapnya amat sopan, dengan lemah lembut ia mempersilahkan para penghuni surga untuk memasuki tempat yang mulia itu.
Waktu melihat isi surga, Nabi Idris kembali nyaris pingsan karena terpesona. Semua yang ada di dalamnya begitu indah dan menakjubkan. Nabi Idris terpukau tanpa bisa berkata-kata melihat pemandangan sangat indah di depannya. “Subhanallah, Subhanallah, Subhanallah…” ucap Nabi Idris beulang-ulang.
Nabi Idris melihat sungai-sungai yang airnya bening seperti kaca. Di pinggir sungai terdapat pohon-pohon yang batangnya terbuat dari emas dan perak. Ada juga istana-istana pualam bagi penghuni surga. Pohon buah-buahan ada disetiap penjuru. Buahnya segar, ranum dan harum.
Waktu berkeliling di sana, Nabi Idris diiringi pelayan surga. Mereka adalah para bidadari yang cantik jelita dan anak-anak muda yang amat tampan wajahnya. Mereka bertingkah laku dan berbicara dengan sopan.
Mendadak Nabi Idris ingin minum air sungai surga. “Bolehkah saya meminumnya? Airnya kelihatan sejuk dan segar sekali.”
“Silahkan minum, inilah minuman untuk penghuni surga.” Jawab Izrael. Pelayan surga datang membawakan gelas minuman berupa piala yang terbuat dari emas dan perak. Nabi Idris pun minum air itu dengan nikmat. Dia amat bersyukur bisa menikmati air minum yang begitu segar dan luar biasa enak. Tak pernah terbayangkan olehnya ada minuman selezat itu. “Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah,” Nabi Idris mengucap syukur berulang-ulang.
Setelah puas melihat surga, tibalah waktunya pergi bagi Nabi Idris untuk kembali ke bumi. Tapi ia tidak mau kembali ke bumi. Hatinya sudah terpikat keindahan dan kenikmatan surga Allah.
“Saya tidak mau keluar dari surga ini, saya ingin beribadah kepada Allah sampai hari kiamat nanti,” kata Nabi Idris.
“Tuan boleh tinggal di sini setelah kiamat nanti, setelah semua amal ibadah di hisab oleh Allah, baru tuan bisa menghuni surga bersama para Nabi dan orang yang beriman lainnya,” kata Izrael.
“Tapi Allah itu Maha Pengasih, terutama kepada Nabi-Nya. Akhirnya Allah mengkaruniakan sebuah tempat yang mulia di langit, dan Nabi Idris menjadi satu-satunya Nabi yang menghuni surga tanpa mengalami kematian. Waktu diangkat ke tempat itu, Nabi Isris berusia 82 tahun.
Firman Allah:
“Dan ceritakanlah Idris di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah orang yang sangat membenarkan dan seorang Nabi, dan kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (QS Al-Anbiya:85-86).
***
Pada saat Nabi Muhammad sedang melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj ke langit, beliau bertemu Nabi Idris. “Siapa orang ini? Tanya Nabi Muhammad kepada Jibril yang mendampinginya waktu itu.
“Inilah Idris,” jawab Jibril. Nabi Muhammad mendapat penjelasan Allah tentang Idris dalam Al-Qur’an Surat Al-Anbiya ayat 85 dan 86, serta Surat Maryam ayat 56 dan 57.
Karena ketekunannya dalam beribadah dan menuntut ilmu, Nabi Idris dikaruniai Allah SWT pengetahuan yang luas dan dalam. Dialah manusia pertama yang menulis dengan pena serta satu-satunya Nabi yang tinggal di surga tanpa mengalami kematian.
Nabi Idris lahir di Munaf, sebuah daerah di Mesir. Dia adalah keturunan ke enam Nabi Adam, dari Yazid bin Mihla’iel bin Qinan bin Syits. Dia kakek bapak Nabi Nuh AS. Nabi Syits mengajarkan Idris membaca Shafiah. Allah SWT menurunkan 30 Shahifah kepada Nabi Idris AS yang berisi petunjuk untuk disampaikan kepada umatnya (keturunan Qabil yang durhaka kepada Allah).
Idris kecil mempelajari Shafiah dengan tekun, karena kesukaannya membaca itulah, ia mendapat gelar “Idris”, yang artinya orang yang tekun belajar. Dia belajar membaca dan menulis tanpa mengenal waktu dan tempat. Dia menjadi Nabi pertama yang menulis dengan Pena yang terbuat dari batu kerikil. Tidak mengherankan bila Allah menganugerahkan ilmu pengetahuan yang luas.
Beliaulah yang mula-mula pandai ilmu hitung dan ilmu bintang, dan beliau pula manusia pertama yang merancak kuda, menggunting pakian yang terbuat dari kulit binatang dan menjahitnya.
Dia mempunyai kekuatan yang hebat dan bertabiat gagah berani, sehingga diberi julukan “Asadul Usud”, artinya Singa dari segala Singa. Dia tidak pernah lalai sedikitpun dari mengingat Allah, walau sedang sibuk menghadapi persoalan penting sehari-hari. Hingga Allah memberikan derajat yang tinggi padanya.
Seperti halnya Nabi Adam dan Nabi Syits, Nabi Idris juga menerima Wahyu Allah melalui Malaikat Jibril yang berupa 30 Shahifah yang berisi petunjuk untuk disampaikan kepada Umatnya. Beliau di utus berdakwah kepada umat keturunan Qabil. Umat ini telah bersikap durhaka kepada Allah. Mereka menimbulkan berbagai bencana dan kerusakan di muka bumi. Oleh Nabi Idris orang-orang ini diajak salat, puasa dan bersedekah.
Tapi, keturunan Qabil ini tak mau mendengar ajakan menuju kebaikan itu. Mereka malah menghina dan mengejek Nabi Idris. “Hidup kami sudah enak, senang dan serba cukup, kenapa engkau mengganggu kami? Tanya beberapa orang penting dari kaum itu.
“Ajaranmu aneh, kami tak membutuhkannya!” sahut yang lain. “Lebih baik engkau hidup sendiri bersama Tuhanmu.”
Begitulah tantangan dakwah Nabi Idris selama puluhan tahun menyebarkan ajaran kebenaran. Hanya beberapa gelintir orang yang mau mengikutinya. Sebagian besar dari mereka lebih suka mengikuti hawa nafsunya sendiri.
Karena keturunan Qabil semakin menentang ajaran Idris, Allah memerintahkan Nabi Idris meninggalkan mereka dan membawa pengikutnya yang setia dan mau beriman kepada Allah untuk menyelamatkan diri. Karena Allah akan menurunkan azab kepada umat yang durhaka itu.
Begitu Nabi Idris dan pengikutnya meninggalkan negeri itu, datanglah azab yang dijanjikan Allah. Paceklik merajalela, pertanian gagal, ternak mati, akhirnya umat yang sesat itupun mati bergelimpangan karena kelaparan.
Sebaliknya, Nabi Idris dan orang-orang beriman yang mengikutinya diselamatkan Allah dari bencana yang mengerikan itu.
Izrael, Malaikat pencabut nyawa sangat mengagumi kepandaian Nabi Idris. Izrael ingin lebih mengenal Nabi Idris. Atas izin Allah, diam-diam Izrael menyamar sebagai manusia dan bertamu ke rumah Nabi Idris.
“Assalamu’alaikum,” Malaikat Izrael memberi salam sambil mengetuk pintu.
“Wa’alaikum salam,” jawab Nabi Idris, “Silahkan masuk, siapakah itu, dan ada perlu apa datang kemari?”
Izrael menyampaikan maksudnya untuk berkenalan dengan Nabi Idris sebagai utusan Allah. Akhirnya Nabi Idris mengajak Izrael menginap di rumahnya.
Di rumah Nabi Idris, keduanya asyik beribadah, mereka tidak banyak bicara melainkan terus beribadah. Ketika tiba waktu makan, Nabi Idris mempersilahkan tamunya makan. Tamunya menolak. “Silahkan tuan makan sendiri, saya ingin melanjutkan ibadah saya kepada Allah,” jawabnya.
Setelah makan nabi Idris melanjutkan ibadah bersama tamunya sampai tiba waktu tidur. “Silahkan tuan tidur disini,” Nabi Idris menunjukkan tempat tidur tamu.
“Silahkan tuan tidur dulu, saya masih ingin melanjutkan ibadah saya,” jawab sang tamu, tanpa menunjukkan rasa lelah.
Keesokan harinya, kejadian yang sama berulang. Nabi Idris sangat heran,, siapakah sebenarnya tamu ini, kenapa tamu aneh ini tidak mau makan dan tidur? Dengan hati-hati Nabi Idris menanyakan hal itu kepada tamunya.
“Saya adalah Izrael, Malaikat pencabut nyawa,” kata sang tamu. Nabi Idris sangat kaget. “Jadi, engkau datang untuk mencabut nyawa saya?” tanya Nabi Idris.
Izrael menggeleng, lalu menjelaskan keinginannya untuk mengenal Nabi Idris lebih jauh. Barulah Nabi Idris sadar, memang begitulah kehidupan malaikat. Dan para Malaikat memang suka mendekati orang-orang yang beriman. Bila orang beriman sedang shalat, berdoa, atau melakukan amal saleh, banyak malaikat yang mengerumuninya.
“Sebenarnya saya ingin merasakan bagaimana rasanya jika nyawa seseorang sedang di cabut,” ujar Nabi Idris tiba-tiba.
“Permintaan tuan aneh sekali,” kata Izrael. Selama ini manusia justru takut nyawanya akan dicabut.
Idris menjelaskan kepada Izrael bahwa pengalamannya akan menjadi bekal dalam berdakwah. Dengan izin Allah, Malaikat Izrael melakukan apa yang diminta Nabi Idris. Dicabutnya nyawa Nabi Idris, lalu segera dikembalikan lagi.
“Saya tidak merasakan apa-apa,” kata Idris setelah bangun dari kematiannya
“Karena saya melakukannya dengan lembut. Begitulah yang selalu saya lakukan terhadap orang-orang beriman,” kata Izrael.
“Bagaimana dengan orang yang tidak beriman? Tanya Nabi Idris penasaran.
“Oh, mereka akan merasakan luar biasa kesakitan waktu nyawa mereka dicabut,” kata Izrael. Nabi Idris ingin mendengarnya. Terlebih waktu Izrael mengatakan, rasa sakit itu akan dirasakan simati sampai hari kiamat. Nabi Idris tidak mampu membayangkan betapa sakitnya. Sakit sehari saja rasanya sudah tidak tahan, apalagi kalau harus menanggungnya hingga ratusan tahun sambil menunggu waktu kiamat tiba. Sebaliknya orang yang beriman akan merasakan kebahagiaan. Setelah mati, mereka akan menikmati hasil setiap amal saleh mereka di dunia,” tutur Izrael menjelaskan.
Setiap hari Malaikat Izrael dan Nabi Idris beribadah bersama. Suatu kali, sekali lagi Nabi Idris mengajukan permintaan. “Bisakah engkau membawa saya melihat surga dan neraka?”
“Wahai Nabi Allah, lagi-lagi permintaanmu aneh,” kata Izrael.
Setelah Malaikat Izrael memohon izin kepada Allah, dibawanya Nabi Idris ke tempat yang ingin dilihatnya.
“Ya Nabi Allah, mengapa ingin melihat neraka? Bahkan para Malaikat pun takut melihatnya,” kata Izrael.
“Terus terang, saya takut sekali kepada Azab Allah itu. Tapi mudah-mudahan, iman saya menjadi tebal setelah melihatnya,” Nabi Idris menjelaskan alasannya.
Waktu mereka sampai ke dekat neraka, Nabi Idris langsung pingsan. Penjaga neraka adalah Malaikat yang sangat menakutkan. Ia menyeret dan menyiksa manusia-manusia yang durhaka kepada Allah semasa hidupnya. Nabi Idris tidak sanggup menyaksikan berbagai siksaan yang mengerikan itu. Api neraka berkobar dahsyat, bunyinya bergemuruh menakutkan, tak ada pemandangan yang lebih mengerikan dibanding tempat ini.
Dengan tubuh lemas Nabi Idris meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Kemudian Izrael membawa Nabi Idris ke surga. “Assalamu’alaikum…” kata Izrael kepada Malaikat Ridwan, Malaikat penjaga pintu surga yang sangat tampan.
Wajah Malaikat Ridwan selalu berseri-seri di hiasi senyum ramah. Siapapun akan senang memandangnya. Sikapnya amat sopan, dengan lemah lembut ia mempersilahkan para penghuni surga untuk memasuki tempat yang mulia itu.
Waktu melihat isi surga, Nabi Idris kembali nyaris pingsan karena terpesona. Semua yang ada di dalamnya begitu indah dan menakjubkan. Nabi Idris terpukau tanpa bisa berkata-kata melihat pemandangan sangat indah di depannya. “Subhanallah, Subhanallah, Subhanallah…” ucap Nabi Idris beulang-ulang.
Nabi Idris melihat sungai-sungai yang airnya bening seperti kaca. Di pinggir sungai terdapat pohon-pohon yang batangnya terbuat dari emas dan perak. Ada juga istana-istana pualam bagi penghuni surga. Pohon buah-buahan ada disetiap penjuru. Buahnya segar, ranum dan harum.
Waktu berkeliling di sana, Nabi Idris diiringi pelayan surga. Mereka adalah para bidadari yang cantik jelita dan anak-anak muda yang amat tampan wajahnya. Mereka bertingkah laku dan berbicara dengan sopan.
Mendadak Nabi Idris ingin minum air sungai surga. “Bolehkah saya meminumnya? Airnya kelihatan sejuk dan segar sekali.”
“Silahkan minum, inilah minuman untuk penghuni surga.” Jawab Izrael. Pelayan surga datang membawakan gelas minuman berupa piala yang terbuat dari emas dan perak. Nabi Idris pun minum air itu dengan nikmat. Dia amat bersyukur bisa menikmati air minum yang begitu segar dan luar biasa enak. Tak pernah terbayangkan olehnya ada minuman selezat itu. “Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah,” Nabi Idris mengucap syukur berulang-ulang.
Setelah puas melihat surga, tibalah waktunya pergi bagi Nabi Idris untuk kembali ke bumi. Tapi ia tidak mau kembali ke bumi. Hatinya sudah terpikat keindahan dan kenikmatan surga Allah.
“Saya tidak mau keluar dari surga ini, saya ingin beribadah kepada Allah sampai hari kiamat nanti,” kata Nabi Idris.
“Tuan boleh tinggal di sini setelah kiamat nanti, setelah semua amal ibadah di hisab oleh Allah, baru tuan bisa menghuni surga bersama para Nabi dan orang yang beriman lainnya,” kata Izrael.
“Tapi Allah itu Maha Pengasih, terutama kepada Nabi-Nya. Akhirnya Allah mengkaruniakan sebuah tempat yang mulia di langit, dan Nabi Idris menjadi satu-satunya Nabi yang menghuni surga tanpa mengalami kematian. Waktu diangkat ke tempat itu, Nabi Isris berusia 82 tahun.
Firman Allah:
“Dan ceritakanlah Idris di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah orang yang sangat membenarkan dan seorang Nabi, dan kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (QS Al-Anbiya:85-86).
***
Pada saat Nabi Muhammad sedang melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj ke langit, beliau bertemu Nabi Idris. “Siapa orang ini? Tanya Nabi Muhammad kepada Jibril yang mendampinginya waktu itu.
“Inilah Idris,” jawab Jibril. Nabi Muhammad mendapat penjelasan Allah tentang Idris dalam Al-Qur’an Surat Al-Anbiya ayat 85 dan 86, serta Surat Maryam ayat 56 dan 57.
Sabtu, 01 Oktober 2011
Kecerdasan Ketiga Menurut al-Ghazali
sumber : koran.republika.co.id
oleh : Prof Dr Nasaruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah
Imam al-Ghazali (450 H/ 1058M-505 H/ 1111M) dan beberapa sufi lainnya sesungguhnya sudah lama memperkenalkan model kecerdasan spiritual dengan beberapa sebutan, seperti dapat dilihat dalam konsep mukasyafah dan ma'rifah. Menurut al-Ghazali, kecerdasan spiritual dalam bentuk mukasyafah (penyingkapan langsung) dapat diperoleh setelah roh terbebas dari berbagai hambatan.
Yang dimaksud hambatan di sini ialah kecenderungan duniawi dan berbagai penyakit jiwa, termasuk perbuatan dosa dan maksiat. Mukasyafah merupakan sasaran terakhir para pencari kebenaran dan mereka yang berkeinginan meletakkan keyakinannya di atas kepastian. Kepastian yang mutlak tentang kebenaran hanya mungkin dapat dicapai ketika roh tidak lagi terselubung khayalan dan pikiran. (Lihat mukadimah Ihya' Ulum al-Din).
Kecerdasan spiritual, menurut Al-Ghazali, dapat diperoleh melalui wahyu dan atau ilham. Wahyu merupakan kata-kata yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, diturunkan Allah kepada nabi-Nya untuk disampaikan kepada orang lain sebagai petunjuk-Nya. Sedangkan, ilham hanya merupakan pengungkapan (mukasyafah) kepada manusia pribadi yang disampaikan langsung masuk ke dalam batin seseorang.
Al-Ghazali tidak membatasi ilham itu hanya pada wali, tetapi diperuntukkan kepada siapa pun yang diperkenankan oleh Allah. Menurut dia, tidak ada perantara antara manusia dan pencipta-Nya. Ilham diserupakan dengan cahaya yang jatuh di atas hati yang murni dan sejati, bersih, dan lembut. Dari sini, al-Ghazali tidak setuju ilham disebut atau diterjemahkan dengan intuisi.
Ilham berada di wilayah supra consciousness, sedangkan intuisi hanya merupakan sub-consciousness. Allah SWT sewaktu-waktu dapat saja mengangkat tabir yang membatasi Dirinya dengan makhluk-Nya. Ilmu yang diperoleh secara langsung dari Allah itulah yang disebut 'ilm al-ladunni oleh sl-Ghazali. (Lihat karyanya, Risalah al-Ladunniyyah)
Orang yang tidak dapat mengakses langsung ilmu pengetahuan dari-Nya tidak akan menjadi pandai karena kepandaian itu dari Allah. Al-Ghazali mengukuhkan pendapatnya dengan mengutip surah al-Baqarah/2: 269. "Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Alquran dan Sunah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)."
Al-Ghazali mengakui adanya hierarki kecerdasan, dan hierarki ini sesuai dengan tingkatan substansi manusia. Namun, ia menyatakan, hierarki ini disederhanakan menjadi dua bagian, yaitu kecerdasan intelektual yang ditentukan oleh akal (al-'aql) dan kecerdasan spiritual yang diistilahkan dengan kecerdasan ruhani, ditetapkan dan ditentukan oleh pengalaman sufistik.
Agak sejalan dengan Ibnu Arabi yang menganalisis lebih mikro lagi tentang kecerdasan spiritual dengan dihubungkannya kepada tiga sifat ilmu pengetahuan ini, yaitu pengetahuan kudus ('ilm al-ladunni), ilmu pengetahuan misteri-misteri ('ilm al-asrar), dan ilmu pengetahuan tentang gaib ('ilm al-gaib). Ketiga jenis ilmu pengetahuan tersebut tidak dapat diakses oleh kecerdasan intelektual (Ibn 'Arabi, Futuhat al-Makkiyyah, Juz IV, h 394).
Tentang kecerdasan intelektual, Ibnu 'Arabi cenderung mengikuti pendapat al-Hallaj yang menyatakan intelektualitas manusia tidak mampu memahami realitas-realitas. Hanya dengan kecerdasan spirituallah manusia mampu memahami ketiga sifat ilmu pengetahuan tersebut di atas.
Al-Ghazali dan Ibnu 'Arabi mempunyai kedekatan pendapat di sekitar aksesibilitas kecerdasan spiritual. Menurut al-Ghazali, jika seseorang mampu menyinergikan berbagai kemampuan dan kecerdasan yang ada pada dirinya, maka yang bersangkutan dapat 'membaca' alam semesta (makrokosmos/ al-'alam al-kabir).
Kemampuan itu merupakan anak tangga menuju pengetahuan tertinggi (ma'rifah) tentang pencipta-Nya. Karena alam semesta, menurut al-Ghazali dan Ibnu 'Arabi, merupakan 'tulisan' atau bagian dari ayat-ayat Allah. Al-Ghazali menuturkan, hampir seluruh manusia pada dasarnya dilengkapi kemampuan mencapai tingkat kenabian dalam mengetahui kebenaran, antara lain, dengan kemampuan membaca alam semesta tadi.
Fenomena kenabian bukanlah sesuatu yang supernatural, yang tidak memberi peluang bagi manusia dengan sifat-sifatnya untuk menerimanya. Dengan pemberian kemampuan dan berbagai kecerdasan kepada manusia, kenabian menjadi fenomena alami. Keajaiban yang menyertai para rasul sebelum Nabi Muhammad bukanlah aspek integral kenabian, tetapi hanyalah alat pelengkap alam mempercepat umat meyakini risalah para rasul itu.
Bahkan, menurut al-Ghazali, semua manusia pada dasarnya memenuhi syarat menjadi nabi, namun Allah menentukan hanya sebagian kecil di antaranya yang dipilih. Seruan penggunaan model-model kecerdasan di dalam Alquran tidak secara parsial. Keunggulan manusia terletak pada kemampuannya menyinergikan ketiga kecerdasan tersebut.
Seseorang yang hanya memiliki kecerdasan intelektual (IQ) belum tentu memiliki kejujuran, kesabaran, dan ketaatan, karena sifat-sifat ini lebih ditentukan kecerdasan yang lebih tinggi, yakni kecerdasan emosional (EQ) atau kecerdasan spiritual (SI). Sebaliknya, EQ dan SI tanpa dilengkapi IQ juga tidak akan banyak berarti karena kedua kecerdasan yang disebut pertama sesungguhnya merupakan kelanjutan dari kecerdasan IQ. Seseorang tidak akan sampai pada kecerdasan EQ dan SI tanpa melewati kecerdasan IQ.
Di dalam kehidupan bermasyarakat, ketiga model kecerdasan itu sangat dibutuhkan terutama di kalangan pemimpin masyarakat dan lebih khusus lagi pemimpin perusahaan. Menurut beberapa survei ahli manajemen, tingkat prestasi IQ yang dimiliki seorang manajer tidak berbanding lurus dengan tingkat prestasi perusahaan yang dipimpinnya. Seorang manajer dituntut memiliki kecerdasan ekstra berupa kecerdasan kedua (EQ) dan ketiga (SI).
Sebagai pribadi Muslim, sulit dibayangkan akan sukses menjadi 'abid dan khalifah yang sukses tanpa memiliki secara seimbang ketiga model kecerdasan tersebut. Manusia paripurna (insan kamil) sesungguhnya tidak lain ialah orang yang mampu memadukan secara simultan ketiga kecerdasan tersebut di dalam dirinya.
Di sinilah kekhususan al-Ghazali jika dibandingkan dengan Ibnu 'Arabi. Al-Ghazali masih tetap berpikir realistis di dalam mengembangkan pendapatnya. Ia masih tetap memandang penting kecerdasan ketiga atau apa pun namanya itu tetap dibumikan.
Ia mencela para sufi yang tidak realistis memandang kenyataan masyarakat. Mungkin itulah sebabnya ia dikategorikan sebagai penganut tasawuf akhlaqi. Berbeda dengan Ibnu 'Arabi yang dikategorikan sebagai penganut tasawuf falsafi.
Al-Ghazali mencela orang-orang yang sibuk dengan urusan sunah dan melalaikan ibadah fardhu, mengabaikan formalitas ibadah untuk substansi ibadah, mengabaikan substansi ibadah demi formalitas ibadah, dan waspada terhadap yang syubhat tetapi terjebak di dalam hal yang haram. Al-Ghazali juga mencela para ilmuwan yang tidak memedulikan yang lain kecuali hanya ilmu, dengan kata lain ilmu untuk ilmu. Seolah-olah tidak ada tempat nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.
Al-Ghazali mencela ahli tasawuf yang sibuk dengan hakikat tetapi mengabaikan syariat, sibuk membahagiakan batinnya tetapi mengabaikan keluarga dan masyarakatnya, asyik dengan akhiratnya dan mengabaikan dunianya, mereka memuji prestasi spiritualnya lantas mengasingkan diri dengan orang lain, dan menganggap ilmu tasawuf paling istimewa dan paling benar, sibuk berpolemik soal hukum tapi tidak menghargai waktu, serta sibuk memperbanyak hukum dan peraturan tetapi semakin sedikit mengamalkannya.
Dalam soal muamalah, al-Ghazali juga mencela ahli muamalah yang teperdaya karena banyak bermain di wilayah syubhat, sibuk menjalin hablun minannas tetapi melupakan hablun minallah, sibuk mengumpul harta tetapi tidak teliti menghitung zakatnya, dan sibuk melakukan inovasi tetapi mengabaikan tanggung jawabnya sebagai khalifah.
oleh : Prof Dr Nasaruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah
Imam al-Ghazali (450 H/ 1058M-505 H/ 1111M) dan beberapa sufi lainnya sesungguhnya sudah lama memperkenalkan model kecerdasan spiritual dengan beberapa sebutan, seperti dapat dilihat dalam konsep mukasyafah dan ma'rifah. Menurut al-Ghazali, kecerdasan spiritual dalam bentuk mukasyafah (penyingkapan langsung) dapat diperoleh setelah roh terbebas dari berbagai hambatan.
Yang dimaksud hambatan di sini ialah kecenderungan duniawi dan berbagai penyakit jiwa, termasuk perbuatan dosa dan maksiat. Mukasyafah merupakan sasaran terakhir para pencari kebenaran dan mereka yang berkeinginan meletakkan keyakinannya di atas kepastian. Kepastian yang mutlak tentang kebenaran hanya mungkin dapat dicapai ketika roh tidak lagi terselubung khayalan dan pikiran. (Lihat mukadimah Ihya' Ulum al-Din).
Kecerdasan spiritual, menurut Al-Ghazali, dapat diperoleh melalui wahyu dan atau ilham. Wahyu merupakan kata-kata yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, diturunkan Allah kepada nabi-Nya untuk disampaikan kepada orang lain sebagai petunjuk-Nya. Sedangkan, ilham hanya merupakan pengungkapan (mukasyafah) kepada manusia pribadi yang disampaikan langsung masuk ke dalam batin seseorang.
Al-Ghazali tidak membatasi ilham itu hanya pada wali, tetapi diperuntukkan kepada siapa pun yang diperkenankan oleh Allah. Menurut dia, tidak ada perantara antara manusia dan pencipta-Nya. Ilham diserupakan dengan cahaya yang jatuh di atas hati yang murni dan sejati, bersih, dan lembut. Dari sini, al-Ghazali tidak setuju ilham disebut atau diterjemahkan dengan intuisi.
Ilham berada di wilayah supra consciousness, sedangkan intuisi hanya merupakan sub-consciousness. Allah SWT sewaktu-waktu dapat saja mengangkat tabir yang membatasi Dirinya dengan makhluk-Nya. Ilmu yang diperoleh secara langsung dari Allah itulah yang disebut 'ilm al-ladunni oleh sl-Ghazali. (Lihat karyanya, Risalah al-Ladunniyyah)
Orang yang tidak dapat mengakses langsung ilmu pengetahuan dari-Nya tidak akan menjadi pandai karena kepandaian itu dari Allah. Al-Ghazali mengukuhkan pendapatnya dengan mengutip surah al-Baqarah/2: 269. "Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Alquran dan Sunah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)."
Al-Ghazali mengakui adanya hierarki kecerdasan, dan hierarki ini sesuai dengan tingkatan substansi manusia. Namun, ia menyatakan, hierarki ini disederhanakan menjadi dua bagian, yaitu kecerdasan intelektual yang ditentukan oleh akal (al-'aql) dan kecerdasan spiritual yang diistilahkan dengan kecerdasan ruhani, ditetapkan dan ditentukan oleh pengalaman sufistik.
Agak sejalan dengan Ibnu Arabi yang menganalisis lebih mikro lagi tentang kecerdasan spiritual dengan dihubungkannya kepada tiga sifat ilmu pengetahuan ini, yaitu pengetahuan kudus ('ilm al-ladunni), ilmu pengetahuan misteri-misteri ('ilm al-asrar), dan ilmu pengetahuan tentang gaib ('ilm al-gaib). Ketiga jenis ilmu pengetahuan tersebut tidak dapat diakses oleh kecerdasan intelektual (Ibn 'Arabi, Futuhat al-Makkiyyah, Juz IV, h 394).
Tentang kecerdasan intelektual, Ibnu 'Arabi cenderung mengikuti pendapat al-Hallaj yang menyatakan intelektualitas manusia tidak mampu memahami realitas-realitas. Hanya dengan kecerdasan spirituallah manusia mampu memahami ketiga sifat ilmu pengetahuan tersebut di atas.
Al-Ghazali dan Ibnu 'Arabi mempunyai kedekatan pendapat di sekitar aksesibilitas kecerdasan spiritual. Menurut al-Ghazali, jika seseorang mampu menyinergikan berbagai kemampuan dan kecerdasan yang ada pada dirinya, maka yang bersangkutan dapat 'membaca' alam semesta (makrokosmos/ al-'alam al-kabir).
Kemampuan itu merupakan anak tangga menuju pengetahuan tertinggi (ma'rifah) tentang pencipta-Nya. Karena alam semesta, menurut al-Ghazali dan Ibnu 'Arabi, merupakan 'tulisan' atau bagian dari ayat-ayat Allah. Al-Ghazali menuturkan, hampir seluruh manusia pada dasarnya dilengkapi kemampuan mencapai tingkat kenabian dalam mengetahui kebenaran, antara lain, dengan kemampuan membaca alam semesta tadi.
Fenomena kenabian bukanlah sesuatu yang supernatural, yang tidak memberi peluang bagi manusia dengan sifat-sifatnya untuk menerimanya. Dengan pemberian kemampuan dan berbagai kecerdasan kepada manusia, kenabian menjadi fenomena alami. Keajaiban yang menyertai para rasul sebelum Nabi Muhammad bukanlah aspek integral kenabian, tetapi hanyalah alat pelengkap alam mempercepat umat meyakini risalah para rasul itu.
Bahkan, menurut al-Ghazali, semua manusia pada dasarnya memenuhi syarat menjadi nabi, namun Allah menentukan hanya sebagian kecil di antaranya yang dipilih. Seruan penggunaan model-model kecerdasan di dalam Alquran tidak secara parsial. Keunggulan manusia terletak pada kemampuannya menyinergikan ketiga kecerdasan tersebut.
Seseorang yang hanya memiliki kecerdasan intelektual (IQ) belum tentu memiliki kejujuran, kesabaran, dan ketaatan, karena sifat-sifat ini lebih ditentukan kecerdasan yang lebih tinggi, yakni kecerdasan emosional (EQ) atau kecerdasan spiritual (SI). Sebaliknya, EQ dan SI tanpa dilengkapi IQ juga tidak akan banyak berarti karena kedua kecerdasan yang disebut pertama sesungguhnya merupakan kelanjutan dari kecerdasan IQ. Seseorang tidak akan sampai pada kecerdasan EQ dan SI tanpa melewati kecerdasan IQ.
Di dalam kehidupan bermasyarakat, ketiga model kecerdasan itu sangat dibutuhkan terutama di kalangan pemimpin masyarakat dan lebih khusus lagi pemimpin perusahaan. Menurut beberapa survei ahli manajemen, tingkat prestasi IQ yang dimiliki seorang manajer tidak berbanding lurus dengan tingkat prestasi perusahaan yang dipimpinnya. Seorang manajer dituntut memiliki kecerdasan ekstra berupa kecerdasan kedua (EQ) dan ketiga (SI).
Sebagai pribadi Muslim, sulit dibayangkan akan sukses menjadi 'abid dan khalifah yang sukses tanpa memiliki secara seimbang ketiga model kecerdasan tersebut. Manusia paripurna (insan kamil) sesungguhnya tidak lain ialah orang yang mampu memadukan secara simultan ketiga kecerdasan tersebut di dalam dirinya.
Di sinilah kekhususan al-Ghazali jika dibandingkan dengan Ibnu 'Arabi. Al-Ghazali masih tetap berpikir realistis di dalam mengembangkan pendapatnya. Ia masih tetap memandang penting kecerdasan ketiga atau apa pun namanya itu tetap dibumikan.
Ia mencela para sufi yang tidak realistis memandang kenyataan masyarakat. Mungkin itulah sebabnya ia dikategorikan sebagai penganut tasawuf akhlaqi. Berbeda dengan Ibnu 'Arabi yang dikategorikan sebagai penganut tasawuf falsafi.
Al-Ghazali mencela orang-orang yang sibuk dengan urusan sunah dan melalaikan ibadah fardhu, mengabaikan formalitas ibadah untuk substansi ibadah, mengabaikan substansi ibadah demi formalitas ibadah, dan waspada terhadap yang syubhat tetapi terjebak di dalam hal yang haram. Al-Ghazali juga mencela para ilmuwan yang tidak memedulikan yang lain kecuali hanya ilmu, dengan kata lain ilmu untuk ilmu. Seolah-olah tidak ada tempat nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.
Al-Ghazali mencela ahli tasawuf yang sibuk dengan hakikat tetapi mengabaikan syariat, sibuk membahagiakan batinnya tetapi mengabaikan keluarga dan masyarakatnya, asyik dengan akhiratnya dan mengabaikan dunianya, mereka memuji prestasi spiritualnya lantas mengasingkan diri dengan orang lain, dan menganggap ilmu tasawuf paling istimewa dan paling benar, sibuk berpolemik soal hukum tapi tidak menghargai waktu, serta sibuk memperbanyak hukum dan peraturan tetapi semakin sedikit mengamalkannya.
Dalam soal muamalah, al-Ghazali juga mencela ahli muamalah yang teperdaya karena banyak bermain di wilayah syubhat, sibuk menjalin hablun minannas tetapi melupakan hablun minallah, sibuk mengumpul harta tetapi tidak teliti menghitung zakatnya, dan sibuk melakukan inovasi tetapi mengabaikan tanggung jawabnya sebagai khalifah.
Minggu, 25 September 2011
Taubat
Sumber : www.pesantrenvirtual.com
Tidak sedikit orang-orang saleh awalnya adalah orang-orang yang sangat jahat saat mudanya. Setelah bertaubat, ia beristiqomah dalam berbuat baik dan pengabdian kepada Allah. Beberapa di antara mereka, pada akhirnya, menjadi tokoh panutan karena kesucian dan perilaku-perilaku yang membebaskan.
Konon, Sunan Kalijaga adalah salah satu contoh beberapa orang-orang saleh yang berhasil tercerahkan, dan selanjutnya menjadi tokoh pemberi pencerahan pada masyarakat pada zamannya.
Hidup suci dalam Islam bisa diraih oleh siapa saja. Kesucian hidup, bukanlah hak istimewa seseorang. Jalan tersebut terbuka bagi siapa saja, tidak hanya milik para ulama. Bahkan orang jahat sekalipun, ia bisa menapak cara hidup suci, asal dia bersedia untuk bertaubat dan bersungguh-sungguh. Bagi Allah, kesalehan bukan karena sama sekali tidak berbuat dosa, akan tetapi orang yang saleh adalah orang yang setiap kali berbuat dosa dia menyesali dan selanjutnya tak mengulangi perbuatan tadi.
Pepatah Arab menegaskan : "Manusia adalah tempat salah dan lupa". Pepatah di atas bukan berarti manusia dibiarkan untuk selalu berbuat salah dan dosa, akan tetapi kesalahan pada diri manusia harus ditebus dengan tobat, penyesalan dan penghentian. Rasulullah bersabda : Setiap anak Adam adalah sering berbuat salah. Dan, sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang-orang yang bertaubat.? (H.R. Tirmidzi)
Taubat yang sungguh-sungguh di mata Allah adalah pembersihan diri yang sangat dicintai. Dalam Islam, pertaubatan bukan melalui orang lain, sebut saja orang saleh, tetapi dari diri sendiri secara langsung kepada Allah. Apalagi, Islam tidak mengenal penebusan dosa dengan sejumlah uang. Islam sungguh sangat berbeda dengan cara-cara pertaubatan dibanding agama-agama lain. Islam memandang, pertaubatan adalah persoalan yang sangat personal antara seorang hamba dengan Tuhannya. Dan, Tuhan dalam Islam adalah Tuhan yang bisa didekati sedekat mungkin, bukan tuhan yang berada di atas langit, tak terjangkau.
Sabda Rasulullah (saw) : "Sesungguhnya Allah lebih suka menerima tobat hamba-Nya melebihi dari kesenangan seseorang yang menemukan kembali ontanya yang hilang di tengah hutan." (H.R. Bukhori dan Muslim)
Islam tidak menganggap taubat sebagai langkah terlambat kapanpun kesadaran itu muncul. Hisab (perhitungan) akan amal-amal jelek kita di mata Allah akan terhapus dengan taubat kita. Lembaran baru hidup terbuka lebar. Langkah anyar terbentang. Sabda Nabi (saw) : Siapa yang bertobat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubat dan memaafkannya.? (H.R. Muslim)
Bertaubat, demikian halnya, dijadikan amalan dzikir oleh Rasulullah (saw) setiap hari. Beliau beristighfar kendati sedikitpun beliau tidak melakukan dosa. Karena lewat istighfar, Nabi memohon ampun dan mengungkapkan kerendahan hati yang sangat dalam di hadapan yang Maha Agung. Sabda Nabi (saw) : Hai sekalian manusia, bertaubatlah kamu kepada Allah dan mintalah ampun kepada-Nya, maka sesungguhnya saya bertaubat dan beristighfar tiap hari 100 kali.? (H.R. Muslim)
Firman Allah : Katakanlah ! Hai hamba-hamba-Ku yang berdosa terhadap jiwanya sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.? (Q.S. al-Zumar : 53)
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan seikhlas-ikhlas taubat, semoga Tuhan mu akan menghapuskan dari kamu akibat kejahatan perbuatan-perbuatanmu, dan akan memasukkan kamu ke dalam surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai.? (Q.S. al Thalaq : 8)
Dalam memperbaiki kesalahan dan membersihkan diri dari dosa, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu hak Allah dan hak bani Adam. Apabila kesalahan atau dosa berhubungan dengan hak Allah, maka ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
1.Harus menghentikan tindakan maksiat.
2.Harus dengan sungguh-sungguh menyesali perilaku dosa yang telah dikerjakan.
3.Berniat dengan tulus untuk tidak mengulangi kembali perbuatan tersebut.
Dan, apabila kesalahan itu berhubungan dengan bani Adam, maka syarat bertambah satu, yaitu harus menyelesaikan urusannya dengan orang yang berhak dengan meminta maaf atau halalnya, atau mengembalikan apa yang harus dikembalikan.
Sabda Nabi (saw) : Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa. Dan orang yang minta ampunan dari dosanya, sedangkan dirinya tetap mengerjakan dosa, seperti orang yang mempermainkan Tuhannya.? (H.R. Baihaqi)
Tidak sedikit orang-orang saleh awalnya adalah orang-orang yang sangat jahat saat mudanya. Setelah bertaubat, ia beristiqomah dalam berbuat baik dan pengabdian kepada Allah. Beberapa di antara mereka, pada akhirnya, menjadi tokoh panutan karena kesucian dan perilaku-perilaku yang membebaskan. Konon, Sunan Kalijaga adalah salah satu contoh beberapa orang-orang saleh yang berhasil tercerahkan, dan selanjutnya menjadi tokoh pemberi pencerahan pada masyarakat pada zamannya.
Wallahu a'lam
Tidak sedikit orang-orang saleh awalnya adalah orang-orang yang sangat jahat saat mudanya. Setelah bertaubat, ia beristiqomah dalam berbuat baik dan pengabdian kepada Allah. Beberapa di antara mereka, pada akhirnya, menjadi tokoh panutan karena kesucian dan perilaku-perilaku yang membebaskan.
Konon, Sunan Kalijaga adalah salah satu contoh beberapa orang-orang saleh yang berhasil tercerahkan, dan selanjutnya menjadi tokoh pemberi pencerahan pada masyarakat pada zamannya.
Hidup suci dalam Islam bisa diraih oleh siapa saja. Kesucian hidup, bukanlah hak istimewa seseorang. Jalan tersebut terbuka bagi siapa saja, tidak hanya milik para ulama. Bahkan orang jahat sekalipun, ia bisa menapak cara hidup suci, asal dia bersedia untuk bertaubat dan bersungguh-sungguh. Bagi Allah, kesalehan bukan karena sama sekali tidak berbuat dosa, akan tetapi orang yang saleh adalah orang yang setiap kali berbuat dosa dia menyesali dan selanjutnya tak mengulangi perbuatan tadi.
Pepatah Arab menegaskan : "Manusia adalah tempat salah dan lupa". Pepatah di atas bukan berarti manusia dibiarkan untuk selalu berbuat salah dan dosa, akan tetapi kesalahan pada diri manusia harus ditebus dengan tobat, penyesalan dan penghentian. Rasulullah bersabda : Setiap anak Adam adalah sering berbuat salah. Dan, sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang-orang yang bertaubat.? (H.R. Tirmidzi)
Taubat yang sungguh-sungguh di mata Allah adalah pembersihan diri yang sangat dicintai. Dalam Islam, pertaubatan bukan melalui orang lain, sebut saja orang saleh, tetapi dari diri sendiri secara langsung kepada Allah. Apalagi, Islam tidak mengenal penebusan dosa dengan sejumlah uang. Islam sungguh sangat berbeda dengan cara-cara pertaubatan dibanding agama-agama lain. Islam memandang, pertaubatan adalah persoalan yang sangat personal antara seorang hamba dengan Tuhannya. Dan, Tuhan dalam Islam adalah Tuhan yang bisa didekati sedekat mungkin, bukan tuhan yang berada di atas langit, tak terjangkau.
Sabda Rasulullah (saw) : "Sesungguhnya Allah lebih suka menerima tobat hamba-Nya melebihi dari kesenangan seseorang yang menemukan kembali ontanya yang hilang di tengah hutan." (H.R. Bukhori dan Muslim)
Islam tidak menganggap taubat sebagai langkah terlambat kapanpun kesadaran itu muncul. Hisab (perhitungan) akan amal-amal jelek kita di mata Allah akan terhapus dengan taubat kita. Lembaran baru hidup terbuka lebar. Langkah anyar terbentang. Sabda Nabi (saw) : Siapa yang bertobat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubat dan memaafkannya.? (H.R. Muslim)
Bertaubat, demikian halnya, dijadikan amalan dzikir oleh Rasulullah (saw) setiap hari. Beliau beristighfar kendati sedikitpun beliau tidak melakukan dosa. Karena lewat istighfar, Nabi memohon ampun dan mengungkapkan kerendahan hati yang sangat dalam di hadapan yang Maha Agung. Sabda Nabi (saw) : Hai sekalian manusia, bertaubatlah kamu kepada Allah dan mintalah ampun kepada-Nya, maka sesungguhnya saya bertaubat dan beristighfar tiap hari 100 kali.? (H.R. Muslim)
Firman Allah : Katakanlah ! Hai hamba-hamba-Ku yang berdosa terhadap jiwanya sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.? (Q.S. al-Zumar : 53)
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan seikhlas-ikhlas taubat, semoga Tuhan mu akan menghapuskan dari kamu akibat kejahatan perbuatan-perbuatanmu, dan akan memasukkan kamu ke dalam surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai.? (Q.S. al Thalaq : 8)
Dalam memperbaiki kesalahan dan membersihkan diri dari dosa, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu hak Allah dan hak bani Adam. Apabila kesalahan atau dosa berhubungan dengan hak Allah, maka ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
1.Harus menghentikan tindakan maksiat.
2.Harus dengan sungguh-sungguh menyesali perilaku dosa yang telah dikerjakan.
3.Berniat dengan tulus untuk tidak mengulangi kembali perbuatan tersebut.
Dan, apabila kesalahan itu berhubungan dengan bani Adam, maka syarat bertambah satu, yaitu harus menyelesaikan urusannya dengan orang yang berhak dengan meminta maaf atau halalnya, atau mengembalikan apa yang harus dikembalikan.
Sabda Nabi (saw) : Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa. Dan orang yang minta ampunan dari dosanya, sedangkan dirinya tetap mengerjakan dosa, seperti orang yang mempermainkan Tuhannya.? (H.R. Baihaqi)
Tidak sedikit orang-orang saleh awalnya adalah orang-orang yang sangat jahat saat mudanya. Setelah bertaubat, ia beristiqomah dalam berbuat baik dan pengabdian kepada Allah. Beberapa di antara mereka, pada akhirnya, menjadi tokoh panutan karena kesucian dan perilaku-perilaku yang membebaskan. Konon, Sunan Kalijaga adalah salah satu contoh beberapa orang-orang saleh yang berhasil tercerahkan, dan selanjutnya menjadi tokoh pemberi pencerahan pada masyarakat pada zamannya.
Wallahu a'lam
Langganan:
Postingan (Atom)