Minggu, 11 Desember 2011

Sebab dan bahaya bid'ah (Kitab Asbab al-Bida' wa-Madlarruha)

Sumber : Republika online

Oleh Nashih Nashrullah

Kebodohan dalam penguasaan sumber dan metode pengambilan hukum menjadi salah satu penyebab munculnya bid'ah.

Sebagai sebuah fenomena, bidah tidak muncul dengan sendirinya. Bidah tak terlepas dari hubungan kausalitas-antara sebab dan musababnya. Kesimpulan itu tampak dengan jelas dalam kitab karya Syekh Mahmud Syaltut, mantan syekh al-Azhar, dalam kitabnya bertajuk Asbab al-Bida' wa-Madlarruha. Namun, dalam kitab itu, istilah bidah dibatasi hanya berlaku pada tuntunan agama.

"Di luar konteks keagamaan, istilah bidah tidak bisa digunakan," ujar Syekh Syaltut. Menurut ulama terkemuka itu, jika merujuk ke sejumlah teks, antara lain, hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bidah berarti semua perkara yang muncul dan belum pernah dicontohkan Rasulullah akan tertolak.

Maka, jika merujuk pada realitas yang terjadi di masyarakat, bidah ialah segala bentuk ibadah yang belum pernah dilakukan pada masa Rasulullah. Ibadah-ibadah itu tidak termaktub dalam nash (Alquran dan hadis) yang valid ataupun tersirat dalam berbagai teks keagamaan.

Jadi, menurut Syekh Syaltut, istilah bidah tak bisa diberlakukan pada tradisi di sebuah komunitas atau inovasi-inovasi yang berhubungan langsung dengan hajat hidup manusia. Dalam kitabnya tersebut, tokoh kelahiran Desa Munyah, Bani Manshur, Provinsi Buhairah, Mesir, itu menguraikan sebab-sebab munculnya fenomena bidah dan dampak negatifnya.

Dibandingkan dereten karya yang pernah ditulis Syekh Syaltut, kitab Asbab al-Bid'ah bisa dibilang minimalis, ringkas, dan sederhana. Kitab ini hanya mencakup dua bab utama, yaitu bab tentang faktor pemicu kemunculan bidah sekaligus penyebab penyebaran fenomena tersebut dan ulasan singkat tentang efek negatif serta bahaya bidah.

Syekh Syaltut, yang pernah ditunjuk sebagai pangawas umum Lembaga Penelitian dan Kebudayaan Islam Azhar itu, dalam kitabnya menyertakan bahasan tentang dampak bidah bagi masyarakat. Penyertaan bahasan mengenai efek dari bidah tersebut bertujuan memberi peringatan dan rambu kepada masyarakat agar terhindar dari bid'ah.

"Seorang yang cerdas, bila mengetahui bahaya mengadang, secara sigap niscaya berupaya sekuat tenaga untuk menjauhinya," tulis ulama yang lahir pada 1893 itu.

Minimnya ilmu picu bidah
Syekh Syaltut menegaskan, syariat sebagai sebuah tatanan yang mapan harus tetap terjaga dari titik kelemahan dan segala bentuk penyimpangan. Terlebih, agama Islam merupakan risalah yang universal mencakup suku bangsa dengan ragam tradisi dan kepercayaan yang telah berkembang dan mendarah daging. Sebagai penyampai risalah agung itu, Rasulullah SAW membaca kondisi itu secara baik dan tepat.

Rasulullah memperingatkan umatnya agar tak terjerumus untuk melakukan bidah. Dan, bila dicermati lebih jauh, terdapat tiga penyebab yang memicu tindakan bidah, yaitu kebodohan dalam penguasaan sumber dan metode pengambilan hukum, mengikuti hawa nafsu, dan mempertuhankan akal dalam menyikapi prinsip-prinsip syariat.

Sebab, yang pertama terjadi karena minimnya ilmu tentang referensi hukum dan metode penggunaannya. Sumber hukum yang dimaksud ialah Alquran dan Sunah. Dan, referensi turunannya yang berupa qiyas dan ijma'. Ia menggarisbawahi qiyas tidak berlaku untuk menganalogikan ibadah.

Sebab, kata Syekh Syaltut, qiyas efektif jika ada kesamaan illat atau indikator. Sementara, terkait persoalan ibadah, kaidah yang berlaku ialah menukil dan mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah (ta'abbudi). Karena itu, penggunaan qiyas dalam aspek tersebut tidak sah.

Bila diperinci lebih jauh, papar dia, munculnya bidah diduga karena ketidaktahuan pada sunah, komparasi qiyas, ataupun kurangnya pengetahuan atas gaya bahasa (uslub) yang dimiliki bahasa Arab.

Rasulullah pernah memperingatkan bahaya kebodohan itu di berbagai hadisnya. Dalam sebuah hadis disebutkan, "Allah akan mencabut ilmu di muka bumi dengan dipanggilnya para ulama kembali ke pangkuan-Nya." Selama kekosongan para pakar ilmu itu, umat yang ditinggalkan akan merujuk pada sosok-sosok yang minim ilmu.

Mereka akhirnya hanya akan sesat dan menyesatkan yang lain. Contoh dari penyimpangan qiyas ialah asumsi boleh meninggalkan shalat dengan mengqiyaskan kepada hukum diperbolehkannya tidak berpuasa jika membayar fidyah atau tebusan.

Begitu halnya bidah yang muncul akibat salah memahami bahasa Arab. Misalnya, pemahaman tentang bolehnya mengonsumsi lemak babi. Dasar yang digunakan ialah yang diharamkan teks hanya daging (lahm), bukan mencakup lemaknya. Padahal, anggapan tersebut salah kaprah. Padahal, kata dia, kata lahm dalam tradisi Arab memiliki cakupan makna yang tidak sebatas pada daging, tetapi juga meliputi lemak dan kaldu yang disarikan.

Sebab yang kedua ialah dominasi hawa nafsu dalam pengambilan hukum. Adakalanya, papar Syekh Syaltut, mereka yang telah diliputi nafsu akan membuat pembenaran atas argumentasinya. Teks-teks agama ditakwilkan sedemikian rupa agar sesuai dengan apa yang mereka yakini.

Menurut dia, tindakan seperti ini sangat berbahaya karena telah mengalihfungsingkan teks suci untuk keyakinan pribadi. "Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun." (QS al-Qashash [28]: 50).

Kategori penyimpangan ini banyak terjadi dan menimpa mereka yang dekat dan silau dengan lingkaran kekuasaan. Syekh Saltut bahkan menduga mayoritas ritual keagamaan yang dikategorikan bidah timbul akibat syahwat keduniawian untuk memenuhi hasrat penguasa.

Ritual azan kesultanan cukup menjadi salah satu bukti atas itu. Azan dikumandangan dan dibumbui dengan nyanyian-nyanyian di hadapan elite pemerintahan. Ritual ini sendiri disebut-sebut ada pertama kali saat pemerintahan khalifah ke-10 Dinasti Bani Umayyah, Hisyam bin Abdul Malik (743 H).

Faktor pemicu bidah yang terakhir adalah justifikasi akal atas sebuah ritual dan ibadah, baik dengan konteks menafikan sebuah ritual yang telah mapan menurut syariat maupun mengukuhkan amalan yang sama sekali tidak pernah dinukil dari Rasulullah. Padahal, dalam konteks yang pertama, bisa jadi terdapat nash-nash yang kuat dan valid-sekalipun luput dari pengetahuannya-tetapi, tetap saja, ia mengacuhkan ibadah yang jelas telah termaktub.

Beda halnya bila berbicara soal konteks kedua. Dalam konteks ini, ritual tersebut jelas-jelas dipaksakan keberadaannya. Dengan kata lain, pelakunya membuat hal baru yang belum berlaku dan ditetapkan Rasulullah. Mereka salah memahami filosofi legalisasi syariat dan hukum-hukum yang diberlakukan. Menurut Syekh Syaltut, mereka mempergunakan filsafat sebagai epistemologi untuk menciptakan perkara baru.

Menurut Syekh, mempersepsikan semua perkara selalu positif dan laik dengan ukuran rasio atau sering disebut istihsan-sebagaimana pandangan imam Syafi'I-tak lebih dari bentuk bermain-main (taladzudz). Dan, seandainya hukumnya diperbolehkan dalam agama, maka bisa dibayangkan, siapa pun yang berakal akan berbicara meskipun bukan pakar.

Kemudian, ia pun akan leluasa menciptakan bab baru di ranah syariat. Contoh bidah yang dikategorikun muncul karena sebab ini seperti membaca doa di hadapan jenazah. Alasannya, melantunkan doa lebih baik ketimbang membiarkan orang-orang yang berada di sekitar jenazah saling berbicara, tanpa makna.

Contoh lainnya, melarang penggunaan perhiasan yang tidak diharamkan Allah. Argumentasinya kembali ke inti yang sama saat Allah melarang mengenakan emas dan kain sutra. Menurut Syekh, keseluruhan faktor penyebab bidah itu terangkum dalam sebuah hadis-walaupun derajatnya lemah-riwayat Abdullah bin Amar dan Abu Hurairah.

Hadis yang dinukil dari kitab ad-Dlu'afa al-Kabir oleh al-Aqili itu menyebutkan bahwa di setiap masa ulama dengan integritas diri dan keilmuanlah yang akan memelihara ilmu. Mereka akan mengikis penyimpangan kalangan ekstrem dan liberalis serta pentakwilan orang-orang yang bodoh. \

Melacak Jalur Penyebaran Bidah

Meluasnya bidah disinyalir akibat dua faktor yang cukup berbahaya dan memberikan ancaman bagi orisinalitas ajaran Islam. Menurut Syekh Syaltut, pertama, yaitu keyakinan terjaga dari kesalahan (ushmah) yang diidentikkan dengan figur tertentu. Biasanya, fenomena tersebut kerap tampak di kalangan pegiat-pegiat tarekat. Kala para murid melihat aktivitas yang tak lazim dari sang guru, hal itu pun lantas disimpulkan sebagai sebuah tuntunan yang baru dan patut diikuti.

Menurut mereka, selama apa yang mereka lakukan itu mengacu pada tokoh alim, maka tidak jadi masalah. Sebuah ungkapan pernah menyebutkan, "Barang siapa yang bertaklid pada alim, ia akan selamat." Jelas, pernyataan itu dibantah oleh oleh Syekh.

Bagaimanapun, kata dia, taklid yang diperbolehkan ialah arahan menuju kebenaran dan kembali ke dalil yang kuat, bukan sekadar mengikuti tanpa alasan yang jelas. Sebatas ikut tanpa disertai informasi dan pengetahuan mendasar, maka tentu yang demikian tak diperkenankan.

Allah SWT memberikan peringatan tentang bahaya bertaklid buta. "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka." (QS az-Zukhruf [43]: 23).

Dan faktor penyebaran bidah yang kedua ialah ketidakprofesionalan ulama menjelaskan prinsip-prinsip syariah. Mereka teledor untuk membeberkan apa saja yang menjadi koridor dalam agama. Para ulama itu tidak mengutarakannya kemungkinan karena memang ketidakmampuan mereka atau didorong rasa takut masyarakat akan lari sekaligus mendapat kecaman dari elite penguasa.

"Selama ulama membisu, mereka menyimpulkan perilaku dan aktivitas tertentu sebagai bagian agama," tulis tokoh yang tutup usia pada 1963 itu.

Jumat, 09 Desember 2011

Antara al-Taibin dan al-Tawwabin (orang-orang yang bertobat)

Sumber : Republika online

Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar

Kata al-taibin dan al-tawwabin (orang-orang yang bertobat) berasal dari akar kata taba-yatubu yang artinya kembali, yaitu kembali ke jalan yang benar setelah menempuh jalan meyimpang. Beberapa kata yang sinonim secara harfiah tetapi kemudian berbeda dalam peristilahan, seperti raja'a berarti kembali ke jalan atau ke tempat semula, seperti kata Tuhan: Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Kata radda yang kemudian membentuk kata murtad berarti ditolak, yakni setelah seseorang bermohon untuk kembali tetapi ditolak oleh perbuatannya sendiri.

Di sinilah letak perbedaan antara tobat dan istighfar. Tobat menuntut tindak lanjut lebih jauh, sedangkan istighfar lebih merupakan ungkapan spontanitas seorang hamba yang baru saja menyadari kekhilafannya dengan mengucapkan kalimat istighfar, misalnya astagfirullah al-'azhim. Sedangkan tobat lebih dari sekadar itu, menghendaki tindak lanjut yang boleh jadi amat berat dilaksanakan para pelakunya. Secara terminologi, tobat biasa diartikan kembali dari sikap, perbuatan, dan perbuatan yang tercela menuju kepada yang terpuji.

Al-Taibin adalah bentuk isim fa'il dari kata taba, berarti orang-orang yang kembali menyadari kesalahannya dengan melakukan persyaratan tobat. Dalam kitab Hadâiq al-Haqâiq karya Muhammad bin Abi Bakar bin Abd Kadir Syamsuddin al-Razi (W 660 H), disebutkan bahwa persyaratan tobat bukan sekadar mengucapkan kalimat istighfar tetapi juga harus meninggalkan perbutan dosa dan maksiat, mengganti perbuatan itu dengan perbuatan baik, menyesali diri dengan perbuatan dosa dan maksiat itu, serta berikrar untuk tidak akan pernah mengulangi lagi perbuatan tercela itu.

Selain persyaratan tersebut, Imam al-Gazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin menambahkan dengan mengembalikan semua barang orang yang pernah diambil, meminta maaf kepada orang yang pernah difitnah atau dibicarakan aibnya, menghancurkan daging dan lemak yang tumbuh dalam dirinya yang berasal dari sumber yang haram dengan cara al-riyadhah, yakni menjalani latihan jasmani dan rohani dalam menempuh berbagai tahapan menuju kedekatan diri kepada Allah, dan mujahadah, yakni perjuangan melawan dorongan nafsu amarahnya, tidak makan, minum, dan memakai pakaian kecuali yang bersumber dari yang halal, dan mensucikan hati dari sifat khianat, tipu daya, sombong, iri hati, dengki, panjang angan-angan, lupa terhadap kematian, dan yang semacamnya. Dengan demikian, tobat lebih berat daripada istighfar.

Sementara itu, al-tawwabin perinsipnya sama saja dengan al-taibin, yaitu melakukan pertobatan dari dosa dan maksiat pada saat terjadinya dosa, bahkan kadang mengumpulkan dosa lalu sekaligus dilakukan pertobatan secara menyeluruh. Sedangkan, al-tawwabin frekuensinya lebih sering, bahkan tanpa harus menunggu adanya perbuatan dosa atau maksiat tetap saja selalu bertobat dan beristighfar. Orang-orang yang masuk kategori al-tawwabin selalu merasa ada yang salah di dalam dirinya sehingga selalu bolak-balik berobat kepada Allah SWT. Orang-orang seperti inilah uang disebutkan di dalam Alquran: Innallah yuhib al-tawwabin wa yuhib al-mutathahhirin
(Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri). (QS al-Baqarah [2]: 222).

Tobat menurut Imam al-Gazali ada tiga tingkatan. Pertama, tobatnya orang awam, yaitu tobat dari dosa dan maksiat. Kedua, tobatnya orang khawas, yaitu tobat tidak karena melakukan dosa atau maksiat akan tetapi tobat karena alpa melakukan ketaatan yang bersifat sunah, misalnya meninggalkan shalat dhuha, shalat tahajud, puasa Senin-Kamis, dan lain-lain. Ketiga, tobatnya orang khawas al-khawas, yaitu tobat bukan karena dosa dan maksiat atau meninggalkan ketaatan sunah apalagi wajib, melainkan tobat karena berkurangnya nilai khusyuk dari seluruh rangkaian rutinitas ibadah yang dilakukan. Bagi golongan ini, alpa sedikit pun tidak mengingat Allah SWT dirasakan seperti melakukan dosa sehingga ia berusaha untuk menutupi kelemahan-kelemahan itu dengan tobat dan istighfar.

Al-Qusyairi dalam risalahnya membagi tobat itu atas tiga macam, yaitu 1) Tobat dari segala kesalahan dan dosa. Inilah tobatnya masyarakat awam. 2) Tobat dari kelalaian dari ingat kepada Allah. Inilah tobatny orang khawas. 3) Tobat dari penglihatan terhadap segala kebaikan. Inilah tobatnya orang khawas al-khawas. Orang yang tobat karena takut siksaan disebut taubat. Orang yang tobat karena ingin meraih pahala disebut inabah, dan orang yang tobat bukan karena takut neraka atau mengejar pahala tapi hanya semata-mata karena menuruti perintah disebut aubah.

Syekh Muhammad bin Abi Bakar bin Abd Kadir Syamsuddin al-Razi (660 H) dalam karyanya Haqaiq al-Haqaiq, membagi tobat itu kepada dua bagian besar, yaitu pertama, tobat masyarakat awam, yaitu kembali dari segala kemaksiatan menuju kepada ketaatan dengan cara meninggalkan (pengaruh dan keterikatan) dunia dan mencari kehidupan akhirat. Kedua, tobat khawas, yaitu kembali dari mencari akhirat dan kenikmatan surga menuju pada ibadah kepada Allah hanya semata karena Zat-Nya Yang Mahasuci, bukan karena mencari pahala dan bukan pula karena takut akan siksaan. Oleh karena itu, tobatnya masyarakat awam justru sebagai sebuah dosa bagi kalangan orang khawas, sebagaimana dalam hadis, "Kebaikan orang-orang saleh merupakan kejahatan orang-orang muqarrabin."

Kemudian khawas ia bagi dua lagi, yaitu al-'arifun dan al-muqarrabun. Al-muqarrabun adalah khawas al-khawas. Hubungan antara al-'arifun dengan al-muqarrabun adalah sama dengan hubungan seorang pemula dalam menempuh jalan kegiatan suluk dengan orang yang sudah sampai pada tingkat makrifah.

Tobat pada bagian pertama di atas merupakan tanjakan awal dalam menempuh jalan menuju Allah dan maqam (tahapan) awal dalam mencari rida Allah. Sesungguhnya Allah selalu mendorong manusia agar segera bertobat. Dalam firman-Nya disebutkan: "Jika Allah mencintai seorang hamba, dosa itu tidak akan memberi mudarat pada dirinya." Lalu kemudian Beliau membaca ayat tersebut (QS al-Baqarah: 222). Maksudnya, Allah memberi taufik kepadanya untuk bertobat dan Allah menerima tobatnya. Maka, dosa yang pernah dilakukan sebelum tobat itu tidak ada lagi melekat pada dirinya. Nabi SAW juga selalu memotivasi untuk segera bertobat, sebagaimana dalam sabdanya: "Orang yang bertobat seperti orang yang tak berdosa." Dalam hadis lain dikatakan: "Tak ada sesuatu pun yang lebih dicintai Allah daripada seorang pemuda yang bertobat."

Rasulullah SAW pernah ditanya oleh istrinya, Aisyah ra, mengapa Engkau menghabiskan waktu malammu untuk beribadah, bukankah Engkau seorang Nabi yang dijamin masuk surga oleh Allah SWT? Rasulullah menjawab singkat, "Apakah aku tidak termasuk hamba yang bersyukur." Dari sini bisa dipahami bahwa porsi makna tobat tidak hanya pembersihan diri dari dosa dan maksiat tetapi lebih banyak bermakna mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah SWT (taqarrub ilallah). Tobat merupakan sifat orang-orang beriman, sebagaimana dijelaskan Allah dalam Alquran:
"Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung. (QS an-Nur [24]: 31).

Inabah yang merupakan sifat dasar al-tawwabin. Sesungguhnya menjadi ciri khas para wali dan para orang dekat Tuhan (al-muqarrabin). Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Alquran: "Wa ja'a bi qalbin salim (Dan dia datang dengan hati yang bertobat)." (QS Qaf [50]: 33). 
Selain inabah juga dikenal istilah lain, yaitu aubah, yang merupakan sifat para nabi dan rasul, sebagaimana firman-Nya: "Ni'mal 'abdu innahu awwab"
(Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)." (QS Shad [38]: 44).

Tobatnya para al-taw wabin biasa juga disebut dengan tobat nasuha, yaitu tobat yang benar-benar dilandasi ketulusan hati secara murni, tobat yang tidak pernah mengulangi lagi perbuatan dosa yang sama selamanya. Yahya bin Mu’adz mengatakan: “Melakukan satu perbuatan dosa setelah tobat jauh lebih buruk daripada melakukan 70 perbuatan dosa sebelum tobat.

Sementara menurut Dzun Nun al-Mishri, beristighfar dari dosa tanpa berusaha melepaskan diri dari dosa itu adalah tobatnya para pendusta. Barang siapa bertobat kemudian tidak membatalkan tobatnya, ia termasuk orang baha gia. Jika ia membatalkannya sekali atau dua kali kemudian mengulanginya lagi, ia masih diharapkan tetap pada sikap tobatnya, sebab segala sesuatu telah ditetapkan ajalnya.

Diriwayatkan dari Abu Hafash al-Haddad, ia pernah berkata: “Dulu aku meninggalkan perbuatan begini sekali, lalu kemudian aku kembali lagi kepadanya. Kemudian aku meninggalkannya lagi dan tidak mengulanginya lagi.” Syekh Abu Ali ad-Daqaq mengatakan, ada sebagian murid bertobat lalu meninggalkan tobatnya. Pada suatu hari ditanya kanlah, jika ia kembali lagi bertobat apakah tobatnya masih diterima? Tibatiba terdengar suara yang menjawabnya:

“Hai Fulan, engkau telah menaati kami, maka kami pun berterima kasih kepadamu. Kemudian engkau me ninggalkan kami, maka kami pun me nangguhkanmu. Jika engkau kembali lagi bertobat, kami akan menerimamu.” Lalu, murid itu kem bali bertobat dan tercapailah apa yang dituju.

Menurut kalangan arifin, seseorang yang telah bertekad untuk bertobat, yang pertama kali harus dilakukan ialah melunasi segala macam bentuk kezaliman yang pernah dilakukan terhadap sesamanya dan mengembalikan kepada hak-hak me reka. Jika tidak mampu melakukan hal itu, ia tetap harus berusaha kapan ia mam pu mengembalikan ke pada mereka yang berhak menerimanya, selalu mendoakan bagi pemiliknya yang berhak menerima agar ia terbebas dari padanya. Kemudian, ia menghindari dan memutuskan hubungannya dengan yang lain untuk menuju kedekatan diri kepada Allah; mengganti segala hak dan kewajibannya kepada Allah yang luput dilakukan selama ini; serta menyesali dan menangisi terhadap apa yang dilalaikan selama ini sehingga jauh dari Allah dan menyia-nyiakan waktu muda dan sehatnya.

Pengarang Al-Haqaiq al-Haqaiq meng ingatkan bahwa seorang pendosa tidak sepantasnya putus asa dari rahmat Allah dalam menerima tobat mereka, walaupun dosa mereka banyak dan besar serta berulang-ulang membatalkan tobat dan bergelimang dalam dosa. Sebab, putus asa itu merupakan kesalahan fatal dan justru menjadi penyebab untuk sema kin tenggelam dalam lumpur dosa selamanya. Jika seseorang dihadapkan dengan kondisi seperti ini, sebaiknya yakinkan dalam dirinya bahwa hal itu adalah tipu daya setan yang selalu menghalangi manusia untuk bertobat dan selalu menggoda agar tetap melakukan dosa seumur hidup. Obat dari penyakit seperti itu ialah seorang pendosa hendaknya merenungkan firman Allah:

“Wala taiasu min ruh Allah
(Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah).” (QS Yusuf [12]: 87). 


Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosadosa semuanya.” (QS az-Zumar [39]: 87). 


“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS an-Nisa [4]: 116).

Ayat-ayat dalam Alquran seperti ini sangat banyak.

Dalam hadis Nabi juga disebutkan bahwa: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya, ada dua ayat dalam Alquran yang jika dibaca oleh orang berdosa lalu memohon ampunan kepada Allah, niscaya dosa-dosanya akan terampuni.” Ayat yang dimaksud ialah:
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui.” (QS Ali Imran [3]: 135).

“Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nisa [4]: 110).

Sesungguhnya esensi tobat didasarkan pada jalan dan sumber seperti yang dikemukakan di atas. Jika tobat dijalankan secara tepat dan ikhlas semata hanya karena Allah, seluruh prosesinya akan berjalan dengan baik dan sempurna. Jika sebagian persyaratannya tidak terpenuhi atau tujuannya tercemari oleh polusi keduniaan seperti hanya karena tuntutan reputasi dan popularitas serta menarik perhatian orang lain dan yang semacamnya, maka tobat seperti ini bagaikan sebuah bangunan di atas pinggir sungai yang diruntuhkan oleh derasnya banjir dan terhanyut sampai ke jurang neraka jahanam. Na’udzu billahi min dzalik!

Kamis, 08 Desember 2011

Tidak Masuk Surga, Orang Yang Tak Mau Memaafkan Si Peminta Maaf

Sumber dari sini

Ibnu Abas r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Ada sepuluh golongan dari umatku yang tidak akan masuk surga, kecuali bagi yang bertobat. Mereka itu adalah al-qalla’, al-jayyuf, al-qattat, ad-daibub, ad-dayyus, shahibul arthabah, shahibul qubah, al-’utul, az-zanim, dan al-’aq li walidaih.

Selanjutnya Rasulullah saw. ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah al-qalla’ itu?” Beliau menjawab, “Orang yang suka mondar-mandir kepada penguasa untuk memberikan laporan batil dan palsu.”

Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah al-jayyuf itu?” Beliau menjawab, “Orang yang suka menggali kuburan untuk mencuri kain kafan dan sebagainya.”

Beliau ditanya lagi, “Siapakah al-qattat itu?” Beliau menjawab, “Orang yang suka mengadu domba
Beliau ditanya, “Siapakah ad-daibub itu?” Beliau menjawab, “Germo.”

Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah ad-dayyus itu?” Beliau menjawab, “Dayyus adalah laki-laki yang tidak punya rasa cemburu terhadap istrinya, anak perempuannya, dan saudara perempuannya.”

Rasulullah saw. ditanya lagi, “Siapakah shahibul arthabah itu?” Beliau menjawab, “Penabuh gendang besar.”

Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah shahibul qubah itu?” Beliau menjawab, “Penabuh gendang kecil.”

Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah al-’utul itu?” Beliau menjawab, “Orang yang tidak mau memaafkan kesalahan orang lain yang meminta maaf atas dosa yang dilakukannya, dan tidak mau menerima alasan orang lain.”

Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah az-zanim itu?” Beliau menjawab, “Orang yang dilahirkan dari hasil perzinaan yang suka duduk-duduk di tepi jalan guna menggunjing orang lain. Adapun al-’aq, kalian sudah tahu semua maksudnya (yakni orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya).”

Mu’adz bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan engkau tentang ayat ini: yauma yunfakhu fiish-shuuri fata’tuuna afwaajaa, yaitu hari (yang pada waktu itu) ditiup sangkakala, lalu kalian datang berkelompok-kelompok?” (An-Naba’: 18)

“Wahai Mu’adz, engkau bertanya tentang sesuatu yang besar,” jawab Rasulullah saw. Kedua mata beliau yang mulia pun mencucurkan air mata. Beliau melanjutkan sabdanya.
“Ada sepuluh golongan dari umatku yang akan dikumpulkan pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan yang berbeda-beda. Allah memisahkan mereka dari jama’ah kaum muslimin dan akan menampakkan bentuk rupa mereka (sesuai dengan amaliyahnya di dunia). Di antara mereka ada yang berwujud kera; ada yang berwujud babi; ada yang berjalan berjungkir-balik dengan muka terseret-seret; ada yang buta kedua matanya, ada yang tuli, bisu, lagi tidak tahu apa-apa; ada yang memamah lidahnya sendiri yang menjulur sampai ke dada dan mengalir nanah dari mulutnya sehingga jama’ah kaum muslimin merasa amat jijik terhadapnya; ada yang tangan dan kakinya dalam keadaan terpotong; ada yang disalib di atas batangan besi panas; ada yang aroma tubuhnya lebih busuk daripada bangkai; dan ada yang berselimutkan kain yang dicelup aspal mendidih.”

“Mereka yang berwajah kera adalah orang-orang yang ketika di dunia suka mengadu domba di antara manusia. Yang berwujud babi adalah mereka yang ketika di dunia gemar memakan barang haram dan bekerja dengan cara yang haram, seperti cukai dan uang suap.”

“Yang berjalan jungkir-balik adalah mereka yang ketika di dunia gemar memakan riba. Yang buta adalah orang-orang yang ketika di dunia suka berbuat zhalim dalam memutuskan hukum. Yang tuli dan bisu adalah orang-orang yang ketika di dunia suka ujub (menyombongkan diri) dengan amalnya.”
“Yang memamah lidahnya adalah ulama dan pemberi fatwa yang ucapannya bertolak-belakang dengan amal perbuatannya. Yang terpotong tangan dan kakinya adalah orang-orang yang ketika di dunia suka menyakiti tetangganya.”

“Yang disalib di batangan besi panas adalah orang yang suka mengadukan orang lain kepada penguasa dengan pengaduan batil dan palsu. Yang tubuhnya berbau busuk melebihi bangkai adalah orang yang suka bersenang-senang dengan menuruti semua syahwat dan kemauan mereka tanpa mau menunaikan hak Allah yang ada pada harta mereka.”

“Adapun orang yang berselimutkan kain yang dicelup aspal mendidih adalah orang yang suka takabur dan membanggakan diri.” (HR. Qurthubi)

Minggu, 04 Desember 2011

Amalan di bulan Muharram

Sumber : Konsultasi Syariah

Memperbanyak puasa selama bulan Muharram
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أفضل الصيام بعد رمضان ، شهر الله المحرم

“Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:

ما رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يتحرى صيام يوم فضَّلة على غيره إلا هذا اليوم يوم عاشوراء ، وهذا الشهر – يعني شهر رمضان

“Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih satu hari untuk puasa yang lebih beliau unggulkan dari pada yang lainnya kecuali puasa hari Asyura’, dan puasa bulan Ramadhan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Puasa Asyura’ (puasa tanggal 10 Muharram)

Dari Abu Musa Al Asy’ari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

كان يوم عاشوراء تعده اليهود عيداً ، قال النبي صلى الله عليه وسلم : « فصوموه أنتم ».

Dulu hari Asyura’ dijadikan orang yahudi sebagai hari raya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasalah kalian.” (HR. Al Bukhari)

Dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

سئل عن صوم يوم عاشوراء فقال كفارة سنة

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Asyura’, kemudian beliau menjawab: “Puasa Asyura’ menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim dan Ahmad).

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:

قَدِمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْمَدِينَةَ وَالْيَهُودُ تَصُومُ عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ ظَهَرَ فِيهِ مُوسَى عَلَى فِرْعَوْنَ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لأَصْحَابِهِ «أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ ، فَصُومُوا».

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang yahudi berpuasa Asyura’. Mereka mengatakan: Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat: “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang yahudi), karena itu berpuasalah.” (HR. Al Bukhari)

Keterangan:
Puasa Asyura’ merupakan kewajiban puasa pertama dalam islam, sebelum Ramadlan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliallahu ‘anha, beliau mengatakan:

أرسل النبي صلى الله عليه وسلم غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار : ((من أصبح مفطراً فليتم بقية يومه ، ومن أصبح صائماً فليصم)) قالت: فكنا نصومه بعد ونصوّم صبياننا ونجعل لهم اللعبة من العهن، فإذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناه ذاك حتى يكون عند الإفطار

Suatu ketika, di pagi hari Asyura’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi’ mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka. (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, puasa Asyura’ menjadi puasa sunnah. A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan:

كان يوم عاشوراء تصومه قريش في الجاهلية ،فلما قد المدينة صامه وأمر بصيامه ، فلما فرض رمضان ترك يوم عاشوراء ، فمن شاء صامه ، ومن شاء تركه

Dulu hari Asyura’ dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliyah. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melaksanakn puasa Asyura’ dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, beliau tinggalkan hari Asyura’. Siapa yang ingin puasa Asyura’ boleh puasa, siapa yang tidak ingin puasa Asyura’ boleh tidak puasa. (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Puasa Tasu’a (puasa tanggal 9 Muharram)

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau menceritakan:

حين صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه ، قالوا : يا رسول الله ! إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((فإذا كان العام المقبل ، إن شاء الله ، صمنا اليوم التاسع )) . قال : فلم يأت العام المقبل حتى تُوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada sahabat yang berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan nasrani. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah diwafatkan. (HR. Al Bukhari)

Adakah anjuran puasa tanggal 11 Bulan Muharram?
Sebagian ulama berpendapat, dianjurkan melaksanakan puasa tanggal 11 Muharram, setelah puasa Asyura’. Pendapat ini berdasarkan hadis:

صوموا يوم عاشوراء وخالفوا فيه اليهود وصوموا قبله يوما أو بعده يوما

“Puasalah hari Asyura’ dan jangan sama dengan model orang yahudi. Puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” (HR. Ahmad, Al Bazzar).

Hadis ini dihasankan oleh Syaikh Ahmad Syakir. Hadis ini juga dikuatkan hadis lain, yang diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra dengan lafadz:

صوموا قبله يوماً وبعده يوماً

“Puasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.”

Dengan menggunakan kata hubung وَ (yang berarti “dan”) sementara hadis sebelumnya menggunakan kata hubung أَوْ (yang artinya “atau”).

Al-Hafidz Ibn Hajar menjelaskan status hadis di atas:
Hadis ini diriwayatkan Ahmad dan al-Baihaqi dengan sanad dhaif, karena keadaan perawi Muhammad bin Abi Laila yang lemah. Akan tetapi dia tidak sendirian. Hadis ini memiliki jalur penguat dari Shaleh bin Abi Shaleh bin Hay. (Ittihaf al-Mahrah, hadis no. 2225)
Demikian keterangan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Munajed.

Sementara itu, ulama lain berpendapat bahwa puasa tanggal 11 tidak disyariatkan, karena hadis ini sanadnya dhaif. Sebagaimana keterangan Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam ta’liq musnad Ahmad. Hanya saja dianjurkan untuk melakukan puasa tiga hari, jika dia tidak bisa memastikan tanggal 1 Muharam, sebagai bentuk kehati-hatian.

Imam Ahmad mengatakan:

Jika awal bulan Muharram tidak jelas maka sebaiknya puasa tiga hari: (tanggal 9, 10, dan 11 Muharram), Ibnu Sirrin menjelaskan demikian. Beliau mempraktekkan hal itu agar lebih yakin untuk mendapatkan puasa tanggal 9 dan 10. (Al Mughni, 3/174. Diambil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 52).

Disamping itu, melakukan puasa 3 hari, di tanggal 9, 10, dan 11 Muharram, masuk dalam cakupan hadis yang menganjurkan untuk memperbanyak puasa selama di bulan Muharram. Sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)

Ibnul Qayim menjelaskan bahwa puasa terkait hari Asyura ada tiga tingkatan:

Tingkatan paling sempurna, puasa tiga hari. Sehari sebelum Asyura, hari Asyura, dan sehari setelahnya.
Tingkatan kedua, puasa tanggal 9 dan tanggal 10 Muharram. Ini berdasarkan banyak hadis.
Tingkatan ketiga, puasa tanggal 10 saja.
(Zadul Ma’ad, 2/72)

Bolehkah puasa tanggal 10 saja?

Sebagian ulama berpendapat, puasa tanggal 10 saja hukumnya makruh. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berencana untuk puasa tanggal 9, di tahun berikutnya, dengan tujuan menyelisihi model puasa orang yahudi. Ini merupakan pendapat Syaikh Ibn Baz rahimahullah.

Sementara itu, ulama yang lain berpendapat bahwa melakukan puasa tanggal 10 saja tidak makruh. Akan tetapi yang lebih baik, diiringi dengan puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya, dalam rangka melaksanakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam majmu’ fatawa, Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya:
Bolehkah puasa tanggal 10 Muharam saja, tanpa puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya. Mengingat ada sebagian orang yang mengatakan bahwa hukum makruh untuk puasa tanggal 10 muharram telah hilang, disebabkan pada saat ini, orang yahudi dan nasrani tidak lagi melakukan puasa tanggal 10.

Beliau menjawab:
Makruhnya puasa pada tanggal 10 saja, bukanlah pendapat yang disepakati para ulama. Diantara mereka ada yang berpendapat tidak makruh melakukan puasa tanggal 10 saja, namun sebaiknya dia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Dan puasa tanggal 9 lebih baik dari pada puasa tanggal 11. Maksudnya, yang lebih baik, dia berpuasa sehari sebelumnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika saya masih hidup tahun depan, saya akan puasa tanggal sembilan (muharram).” maksud beliau adalah puasa tanggal 9 dan 10 muharram….. Pendapat yang lebih kuat, melaksanakan puasa tanggal 10 saja hukumnya tidak makruh. Akan tetapi yang lebih baik adalah diiringi puasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, 20/42)

Jumat, 02 Desember 2011

Pernikahan yang berkah

Sumber : Republika Online

Oleh M Fuad Nasar MSc

Rasulullah SAW bersabda, "Perempuan yang paling besar mendatangkan berkah Allah untuk suaminya adalah yang paling ringan maharnya." (HR Ahmad, Hakim, dan Baihaqi). Dalam riwayat lain diungkapkan, "Sesungguhnya pernikahan yang paling berkah ialah yang sederhana belanjanya." (HR Ahmad).

Dalam hukum munakahat (perkawinan Muslim) ditetapkan pemberian mahar (maskawin) dari suami kepada istrinya adalah wajib bagi sebuah pernikahan. Kendati agama tidak menentukan nilai mahar, tidak seyogianya bertolak belakang dengan prinsip Islam yang mempermudah pernikahan sebagai dasar pembentukan rumah tangga.

Mempermudah pernikahan berarti menutup pintu perzinaan yang dilarang keras dalam Islam. Pernikahan juga merupakan cara Islam untuk mencegah timbulnya berbagai penyimpangan seksual sebagai penyakit masyarakat yang harus dibasmi.

Islam mengoreksi adat jahiliah bangsa Arab yang berlebihan dalam menetapkan mahar. Mahar yang tinggi seringkali menjadi barrier bagi pernikahan. Akibatnya, banyak perkawinan yang tak dapat dilangsungkan karena ketidaksanggupan memenuhi tuntutan mahar yang tinggi dari pihak perempuan. Hal itu jelas menyalahi kehendak agama dan kemanusiaan.

Nabi menganjurkan memberi mahar walaupun berbentuk cincin besi. Sebab, mahar bukanlah simbol nilai perempuan dalam perkawinan, tetapi simbol kewajiban suami akan memberi nafkah kepada istrinya.

Dr M Sayyid Ahmad Al-Musayyar, guru besar Universitas Al-Azhar, Kairo, menyatakan, "Kami menyeru kepada seluruh pemimpin, agar mempermudah pernikahan sehingga kehormatan para pemuda dan pemudi akan terjaga dengan baik. Dengan menikah, mereka akan terbebas dari perangkap setan. Mahar yang paling murah adalah mahar yang paling banyak berkahnya bagi seorang wanita."

Pernikahan merupakan peristiwa yang patut disambut dengan rasa syukur dan gembira. Oleh karena itu, pernikahan dirayakan dengan perhelatan atau walimah. Imam Ahmad meriwayatkan ketika Ali bin Abi Thalib meminang Fathimah, putri Nabi SAW, Rasul berkata, "Perkawinan mesti dirayakan dengan walimah."

Walimah ada etikanya. Walimah bukan ajang pamer kebanggaan, status, dan kemewahan. Ia harus disesuaikan dengan keadaan lingkungan di sekitarnya. Menurut hadis Rasulullah SAW sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari, seburuk-buruk pesta atau walimah adalah yang hanya mengundang orang-orang kaya, sedangkan orang-orang fakir dan miskin tidak diundang. Bandingkan etika yang diajarkan agama dengan fenomena pada sebagian kalangan masyarakat yang suka menggelar pesta pernikahan yang mewah dan berlebihan.

Sebuah ironi di masyarakat, tidak sedikit kasus suami istri terlibat dalam percekcokan dan perselisihan berselang beberapa waktu dari acara pernikahan yang mewah dan meriah. Sangat tepat pandangan agama tentang pernikahan yang berkah tidak dapat "dibeli" dengan resepsi yang mahal. Pernikahan yang berkah harus diupayakan sendiri oleh suami istri yang bersangkutan. Dalam kaitan ini, peranan agama tidak dapat diabaikan dalam rumah tangga yang menginginkan keberkahan. Tiada kebahagiaan dan keberkahan jika agama disia-siakan dalam kehidupan rumah tangga. Wallahu a'lam.

Rabu, 30 November 2011

Tenaga Metafisika

Sumber : Scribd

Tenaga Metafisika adalah tenaga yang diserap oleh seseorang menusia dari alam dan dimanfaatkan atau didapat dengan jalan diisi oleh seorang guru atau dengan jalan bertapa dan puasa. Tenaga ini berasal dari luar tubuh manusia dan merasuk ke dalam tubuh manusia sesuai dengan keperluan dan kegunaannya, misalnya sebagai pertahanan diri, pengobatan, pukulan jarak jauh dan sebagainya.

Secara garis besar ada empat jenis tenaga metafisika yang beredar di dunia dan masing- masing memiliki ciri tersendiri di dalam mendapatkannya. Keempat tenaga metafisika itu adalah:

Tenaga metafisika yang diturunkan langsung oleh Allah SWT. yaitu suatu tenaga metafisika yang dimiliki oleh seseorang tanpa diketahui orang yang bersangkutan. Jadi tenaga metafisika ini diberikan oleh Allah SWT. Kepada yang dikehendaki-Nya tanpa perantara apa-apa. Biasanya orang memiliki tenaga ini memiliki misi-misi tertentu, terutama dalam syiar Islam dan menegakkan agama Allah. Untuk tenaga metafiska ini dibagi lagi menjadi 3 golongan yaitu: mukjijat, karamah dan maunah.

Tenaga metafisik bantuan malaikat, yaitu bala bantuan pasukan malaikat yang diberikan oleh Allah SWT. Kepada orang-orang yang sedang berperang di jalan Allah.

Tenaga metafisika bantuan jin, yaitu suatu jenis tenaga metafisika dimana kekuatan menggunakan sarana jin. Cara mendapatkan tenaga metafiska jenis ini biasanya menggunakan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat untuk mendapatkan tenaga metafisika atas bantuan jin ada beberapa jenis yaitu: bertapa, berpuasa, melalui wirid tertentu.

Tenaga metafisika energi luar, yaitu suatu jenis tenaga metafisika berupa energi yang menyelubungi tubuh dan bukan merupakan bantuan makluk ghaib apapun. Energi ini membentuk Aura atau selubung tenaga yang mengelilingi tubuh seseorang. Setiap orang memiliki apa yang disebut Aura ini hanya tebal tipisnya berbeda dengan orang yang telah melakukan olah nafas, Auranya akan tebal dan melebar. Keberadaan tenaga ini dapat dibuktikan secara visual dengan melalui pemotretan dengan kamera KIRLIAN atau AURA CAMERA 3000. Setiap makluk bernyawa pasti memiliki energi metafisika ini. Kekuatan ini dari ion-ion positif dan negatif sehingga dapat dimodifikasi dengan kekuatan tanpa batas dengan catatan energi yang dimiliki oleh orang tersebut besar sekali dan itu bisa dilatih.

Minggu, 27 November 2011

Alam jin menurut Al Qur'an dan hadits

Sumber : As Sunnah

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Ikhwanul Muslimin Rahimakumullah,
Dalam topik kali ini, insya Allah kita akan coba mengkaji bersama tentang alam jin dan hal-hal yang berkaitan dengan Jin sebagaimana yang diajarkan dalam Al Qur'an maupun yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW.

Semoga Allah memudahkan dan memberi taufiq kepada kita sekalian untuk memahami intrik-intrik jin, setan, dan semua sekutunya dari golongan manusia yang menggunakan sihir atau ilmu hitam yang sesat lagi menyesatkan nanusia-manusia lain yang lemah imannya, terutama menjelang akhir zaman ini.

Perhatikanlah, hampir semua stasiun televisi nasional seolah berlomba-lomba untuk menayangkan hal-hal mistis-alam supernatural dan lain-lain acara yang berbau "syiriq" dengan kemasan yang menarik disertai trik-trik kamera yang canggih, yang menyebabkan banyak orang yang merasa takjub-terpukau- terheran-heran serta terpesona olehnya.
Naudzubillahi minzaliq!

Mudah-mudahan risalah yang singkat ini dapat menambahkan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua, dan sesungguhnya hanyalah Allah SWT semata pemberi taufiq dalam i'tikad, ilmu dan amal.

ASAL KATA JIN


Asal pembentukan kalimat "jin" dari huruf 'jim' dan 'nun' menunjukkan makna tertutup, sebagaimana firman Allah SWT:

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَباً قَالَ هَـذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ
"Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Robbku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata:"Saya tidak suka kepada yang tenggelam." (QS.Al-An'am [6]: 76).

Berkata Syaikhul Islam Rahimahullah: "Ia dinamakan jin karena ketertutupannya dari pandangan manusia."

Para jin melihat manusia sedangkan manusia tidak dapat melihat mereka. Allah SWT berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءَاتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاء لِلَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ
"Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman." (QS.Al-A-rof [7]: 27)

Maksud dari ayat ini adalah: Sesungguhnya manusia tidak dapat melihat jin sesuai dengan bentuk kejadiannya yang hakiki, tetapi terkadang mereka bisa dilihat dengan bentuk yang lain semisal hewan. (Lihat Fath al-Haq al-Mubin: 28 oleh Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thoyar)

JIN DICIPTAKAN SEBELUM MANUSIA


Jin diciptakan sebelum manusia berdasarkan nash al-Qur'an QS Al-Hijr [15]"27-28)

وَالْجَآنَّ خَلَقْنَاهُ مِن قَبْلُ مِن نَّارِ السَّمُومِوَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَراً مِّن صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَإٍ مَّسْنُونٍ
"Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas. Dan (ingatlah) , ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk."

ASAL PENCIPTAAN JIN
Allah menciptakan jin dari api. Hal ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Allah SWT dalam surat Al-Hijr [15]: 27;
وَالْجَآنَّ خَلَقْنَاهُ مِن قَبْلُ مِن نَّارِ السَّمُومِ
"Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas." Dan juga dalam surat Ar-Rohman [55]: 15;

وَخَلَقَ الْجَانَّ مِن مَّارِجٍ مِّن نَّارٍ
"Dan Dia menciptakan jin dari nyala api."

Dan Rasulullah SAW bersabda: "Malaikat diciptakan dari nur (cahaya). Jin diciptakan dari marij (api). Dan Adam diciptakan dari apa yang disifatkan kepada kalian. (yaitu dari tanah)" (HR Muslim: 2512)

MACAM-MACAM JIN


Rasulullah SAW bersabda: "Jin terdiri atas tiga kelompok: satu kelompok memiliki sayap mereka terbang di udara dengannya, satu kelompok berbentuk ular dan anjing, dan satu kelompok lagi berdiam diri di tempatnya dan melakuikan petualangan." (HR.Thabroni dengan sanad hasan, al-Hakim, dan al-Baihaqi dengan sanad shohih; lihat Shohihul Jami' 3/85)

TEMPAT TINGGAL JIN


Jin banyak berdiam pada tempat-tempat berikut ini:

Di Pasar
Dari Salman r.a. ia berkata: "Bersabda Rasulullah SAW: "Sungguh jika kamu mampu, janganlah engkau menjadi orang yang pertama kali masuk pasar dan terakhir kali keluar darinya, karena sesungguhnya pasar adalah medan peperangan setan dan di dalamnya ia menancapkan bendera." (HR. Muslim:2451)

Tempat-tempat Buang Hajat
Dari Zaid bin Arqam r.a. dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Tempat-tempat buang hajat ini dihadiri oleh setan (dengan tujuan mengganggu). Maka jika salah seorang di antara kalian masuk ke dalamnya, hendaklah mengucapkan: ("Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari gangguan setan laki-laki dan perempuan)." (HR. Abu Daud: 6)

Bersama dengan unta dan di kandang-kandangnya
Dari Abdullah bin Mughofal r.a., ia berkata: "Rasulullah SAW telah melarang kami untuk melakukan sholat di kandang-kandang unta dan tempat-tempat menderumnya, karena ia diciptakan dari setan-setan." (Shahih Sunan Abu Dawud, No.184/493)

Berkata Ibnu Hibban r.a sebagaimana dalam al-Ihsan (4/602)., mengomentari makna hadits: karena ia diciptakan dari setan-setan: "Maksudnya adalah: "Sesungguhnya setan bersamanya."

Di rumah-rumah
Dari Abu Hurairah r.a. behwasanya Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, sesungguhnya setan akan lari dari rumah-rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah." (HR.Muslim:780-Shahih Muslim:752)

Dalam hadist yang diriwayatkan dari As-Sya'bi ia berkata: "Abdullah bin Mas'ud berkata: "Barangsiapa membaca 10 ayat dari surat Al-Baqarah di dalam rumah, maka setan tidak akan memasuki rumah itu malam harinya hingga tiba pagi hari. Kesepuluh ayat tersebut adalah 4 ayat pertama darinya; Ayat Kursi; 2 ayat sesudah Ayat Kursi; dan 3 ayat terakhir dari surah Al-Baqarah." (HR.Thabrani).

(Al-Haitsami berkata dalam Mazma'uz Zawai'd [10/118], "Hadits ini diriwayatkan Thabrani dengan rijal shahih, hanya saja As-Sya'bi tidak mendengar langsung dari Ibnu Mas'ud.")

Hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa mereka tinggal pula di rumah-rumah manusia.

Di Lautan
Dari Jabir r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di lautan. Dari sana dia mengirim pasukannya untuk membuat fitnah (mengacau atau membencanai) umat manusia. Maka siapa yang lebih besar membuat bencana, dialah yang lebih besar jasanya (terhormat) di kalangan mereka." (HR.Muslim: 2813-Shahih Muslim: 2408)

Di Lubang-lubang dan belahan-belahan tanah
Dari Qatadah, dari Abdullah bin Sirjis, bahwa sesungguhnya Nabi SAW melarang seseorang melakukan kencing di lubang. Meraka bertanya kepada Qatadah: "Mengapa dibenci kencing di dalam lubang?" Ia menjawab: "Dikatakan, bahwasanya ia adalah tempat-tempat tinggal jin." (Abu Daud: 29)

Di padang pasir, Lembah, Lorong, dan tempat-tempat yang ditinggalkan oleh penghuninya.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud r.a. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: "Pada suatu malam kami bersama Rasulullah SAW, lalu kami kehilangan beliau lantas kamipun mencari beliau di lembah-lembah dan gang-gang. Kami mengatakan "Rasulullah SAW telah diculik." Maka kamipun tidur malam dengan sejelek-jelek malam yang suatu kaum bermalam dengannya. Tatkala tiba waktu pagi hari, tiba-tiba beliau datang dari arah Haro', maka kami mengatakan:"Ya Rasulullah, kami kehilangan anda dan kami mencari anda namun kami tidak menjumpai anda, lantas kami bermalam dengan sejelek-jelek malam yang suatu kaum bermalam dengannya." (Mendengar ucapan tersebut) maka Rasulullah menjawab: "Datang kepadaku seorang yang mengundang dari kalangan jin, maka akupun pergi bersamanya dan aku membacakan Al-Qur'an kepada mereka." (HR.Muslim, 1007)

DAPATKAH MANUSIA MELIHAT JIN?


Termasuk kekhususan jin, mereka dapat melihat manusia, namun sebaliknya manusia tidak dapat melihat mereka dalam wujud aslinya. Allah SWT berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءَاتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاء لِلَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ
"Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman." (QS Al-A'rof [7]:27)

Tidak seorangpun mampu melihat jin, kecuali bila mereka mengubah diri (menjelma) dalam berbagai bentuk atas izin Allah SWT. Ada beberapa riwayat yang menjelaskan bahwasanya mereka mengubah diri ke dalam berbagai bentuk seperti di antaranya:
Menjadi seorang lelaki miskin (Lihat Mukhtasor Shahih Muslim karya Az-Zabidi: 1078)
Menjadi seorang Syaikh dari Najd (Lihat Siroh Ibnu Hisyam 2/122)
Menjadi seekor ular (Lihat Mukhtasor Shahih Muslimi: 1498)
Adapun tentang bagaimana cara mereka mengubah diri menjadi bentuk-bentuk lain, tidak ada nash yang menjelaskan hal tersebut.

DAPATKAH MANUSIA MENUNDUKKAN JIN?


Tidak seorangpun akan mampu menaklukkan dan menguasai jin setelah do'a dari Nabi Sulaiman AS, sebagaimana firman Allah SWT:

قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكاً لَّا يَنبَغِي لِأَحَدٍ مِّنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيحَ تَجْرِي بِأَمْرِهِ رُخَاء حَيْثُ أَصَابَوَالشَّيَاطِينَ كُلَّ بَنَّاء وَغَوَّاصٍوَآخَرِينَ مُقَرَّنِينَ فِي الْأَصْفَادِ هَذَا عَطَاؤُنَا فَامْنُنْ أَوْ أَمْسِكْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
"Ia berkata: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi". Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja yang dikehendakinya, dan (Kami tundukkan pula kepadanya) syaitan-syaitan semuanya ahli bangunan dan penyelam, dan syaitan yang lain terikat dalam belenggu. Inilah anugerah Kami; maka berikanlah (kepada orang lain) atau tahanlah (untuk dirimu sendiri) dengan tiada pertanggungan jawab." (QS Shod [38]:35-39)

Berkata Syaikh Ahmad bin Nashir bin Muhammad al-Hamd ra: "Tetapi didapatkan penguasaan dan penundukkan manusia terhadap jin tidaklah mungkin, karena adanya perbedaan bentuk keduanya. Manusia tidak bisa melihat jin dan dari sini (diketahui) bahwa manusia tidaklah dapat menguasai dan menundukkan jin. (Penundukkan dan penguasaan ini) didapatkan dari syaitan sebagai hasil dari penundukkan sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Maka jin yang ditundukkan manusia, hakikatnya ia tertundukkan oleh syaitan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan terhadap sang jin itu sendiri, dan hal ini adalah sebagai timbal balik dari pelaksanaan manusia itu terhadap apa yang dikehendaki oleh syaitan darinya, yang berupa kefasikan, maksiat dan keluar dari ajaran-ajaran agama. Dari sini diketahui, (pada hakekatnya) manusialah yang menjadi budak bagi syaitan (bukan syaitan atau jin ditundukkan olehnya)." (As-Sihr Baina Haqiqoh wal Khoyal:211)

AL-QUR'AN DIGUNAKAN UNTUK MENUNDUKKAN JIN?


Kita banyak mendengar bahwa ada di antara kaum yang menisbatkan dirinya kepada ilmu dan kebajikan, mereka mendakwakan diri telah menundukkan jin dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur'an. Yang menjadi pertanyaan, benarkah hal tersebut bisa dilakukan dan benarkah al-Qur'an dapat digunakan untuk hal itu? Jawabnya adalah: Tidak benar dan tidak mungkin!

Berkata Syaikh Majd Muhammad asy-Syahawi rahimahullah: "Dan tidaklah diragukan lagi bahwasanya pada saat sekarang ini tidak ada orang yang meminta bantuan jin dengan al-Qur'an semata tanpa menggunakan mantera-mantera dan jimat-jimat dari sihir yang tidak diketahui maknanya, yang kami telah memberikan peringatan terhadap kesesatan yang ada didalamnya dan barangsiapa menyangka bahwa dia meminta bantuan jin dengan al-Qur'an semata tanpa menggunakan selain al-Qur'an,-maka ia adalah pendusta dan penipu." (Tahdhirul Arwah wa Taskhiru al-Jan Baina Baina Haqiqoh wal Khurofat: 103-104)

MEMINTA BANTUAN JIN


Meminta bantuan jin tidaklah diperbolehkan secara syar'i. Adapun dasar-dasar larangan tersebut adalah sebagai berikut:

Hal ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, Khulafa'ur Rosyidin, para shahabat Nabi SAW secara umum, para tabi'in, dan orang-orang shaleh dari umat ini.

Ciri utama dari jin dan setan adalah dusta. Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Hurairoh r.a.: "Ia berlaku jujur kepadamu, sedangkan ia pendusta." (Shahih Bukhori No.1122)

Tersebarnya kejahilan yang merata, jauhnya kebanyakan manusia dari metode al-Qur'an dan as-Sunnah, serta sedikitnya penuntut ilmu syar'i di masa sekarang ini menyebabkan kebanyakan manusia tidak dapat lagi membedakan antara tukang sihir (tenung) dan selainnya dari orang-orang yang mendakwakan meminta bantuan kepada jin yang sholih. Akibatnya, bercampur aduklah perkara-perkara tersebut dan cacatlah aqidah umat manusia, padahal ia merupakan sesuatu yang paling berharga baginya dan padahal jaminan kejayaan dan keselamatan di dunia dan akhirat terdapat dalam aqidah shohihah.

Jin atau syaitan akan menjerumuskan manusia kedalam kekufuran, kesyirikan, ataupun keharaman dengan berbagai jalan dan sarana serta secara sedikit demi sedikit menjerat orang yang meminta bantuan kepada mereka.

Meminta bantuan kepada mereka (jin-syaitan), akan membawa kepada kecacatan aqidah, dimana kita akan jumpai diantara mereka bergantung kepada selain Allah SWT.

Membuka pintu lebar-lebar bagi kebanyakan ahli sihir untuk mendakakan ruqyah syar'iyyah dengan al-Qur'an dan Sunnah dan meminta pertolongan jim muslim (padahal hakikat dan keadaan yang sebenarnya berbicara lain).

Apabila ada orang bertanya: "Apakah orang yang meminta bantuan jin telah melakukan kekufuran?" Maka jawabannya adalah: "Orang (manusia) yang menggunakan jin tidaklah kufur, kecuali apabila penggunaan jin tersebut dengan memakai cara dan jalan yang telah ditempuh tukang sihir dan sulap atau dikaitkan dengan bintang dan tulisan-tulisan ajimat kufur atau semisalnya. Apabila perkaranya seperti itu, maka ia telah kafir. [Lihat al-Qoul al-Mubin oleh Usamah bin Yasin: 197]

BEBERAPA BENTUK MEMINTA BANTUAN JIN


Ada beberapa perbuatan yang merupakan bentuk dan perwujudan meminta bantuan jin, diantaranya:
Penjualan cincin dan batu berharga dengan harga yang sangat mahal, dengan iming-iming (sangkaan) bahwa ada jin bersamanya, yang akan membantu pemiliknya, menjaganya dari gangguan-kesulitan, melancarakan usahanya dan lain sebagainya.

Membaca sebagian ayat-ayat al-Qur'an dan bermacam-macam wirid dan do'a pada seseorang yang tertelentang di atas dipan dan setelah selesai dari pembacaan wirid tersebut, tubuhnya terangkat ke udara.
Membedah tubuh pasien penderita penyakit-penyakit tertentu dengan cara yang unik dan asing atau tanpa meninggalkan bekas apapun pada tubuh dan kulit si pasien.

Menghadirkan arwah, baik dengan cara merasukkan pada tubuh seseorang lalu arwah tersebut berbicara tentang segala sesuatu yang dikehendaki oleh orang yang mendatangkannya atau dengan cara menampakkannya dalam bentuk orang yang telah meninggal dunia dan kemudian berjalan di kamar atau berbicara dengan orang yang ada disekitarnya (penampakan).

Catatan: Arwah atau roh yang disangkakan datang kepada penghadir roh tersebut pada hakikatnya adalah jin yang bekerja sama dengannya. Bukan roh orang yang diminta kehadirannya (sebab sebagai Muslim kita tahu bila meninggal seorang manusia maka rohnya akan berpindah ke alam kubur dan terputus seluruh hubungannya dengan dunia, kecuali tiga hal.

Tentang ini Rasulullah SAW bersabda:

إذا مات العبد انقطع عنه عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له
"Jika seseorang telah meninggal, maka putuslah semua amalannya kecuali 3 hal: shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakannya."
(HR Bukhori)

MENGAMBIL SUMPAH DARI JIN


Tidaklah diperkenankan seorang muslim ketika melakukan ruqyah syar'iyyah mengambil janji dengan nama Allah kepada jin yang mengganggunya. Hal ini dikarenakan jin sering bersumpah dengan nama Allah, namun mereka banyak melanggarnya.

Demikianlah yang dapat kita kaji bersama pada topik kita kali ini, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Kami mohon maaf jika terdapat beberapa kesalahan dan hal-hal yang kurang berkenan dalam topik ini. Dan segala puji dan sanjungan teriring kecintaan dan pengagungan hanya milik Allah semata.

Wallahu A'lam bish shawab.

Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Azza wa Jalla. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga dan shahabatnya.

ماً الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِي إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.
Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi
dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
(QS Al-Ahzab [33]:5)