Jumat, 09 Desember 2011

Antara al-Taibin dan al-Tawwabin (orang-orang yang bertobat)

Sumber : Republika online

Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar

Kata al-taibin dan al-tawwabin (orang-orang yang bertobat) berasal dari akar kata taba-yatubu yang artinya kembali, yaitu kembali ke jalan yang benar setelah menempuh jalan meyimpang. Beberapa kata yang sinonim secara harfiah tetapi kemudian berbeda dalam peristilahan, seperti raja'a berarti kembali ke jalan atau ke tempat semula, seperti kata Tuhan: Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Kata radda yang kemudian membentuk kata murtad berarti ditolak, yakni setelah seseorang bermohon untuk kembali tetapi ditolak oleh perbuatannya sendiri.

Di sinilah letak perbedaan antara tobat dan istighfar. Tobat menuntut tindak lanjut lebih jauh, sedangkan istighfar lebih merupakan ungkapan spontanitas seorang hamba yang baru saja menyadari kekhilafannya dengan mengucapkan kalimat istighfar, misalnya astagfirullah al-'azhim. Sedangkan tobat lebih dari sekadar itu, menghendaki tindak lanjut yang boleh jadi amat berat dilaksanakan para pelakunya. Secara terminologi, tobat biasa diartikan kembali dari sikap, perbuatan, dan perbuatan yang tercela menuju kepada yang terpuji.

Al-Taibin adalah bentuk isim fa'il dari kata taba, berarti orang-orang yang kembali menyadari kesalahannya dengan melakukan persyaratan tobat. Dalam kitab Hadâiq al-Haqâiq karya Muhammad bin Abi Bakar bin Abd Kadir Syamsuddin al-Razi (W 660 H), disebutkan bahwa persyaratan tobat bukan sekadar mengucapkan kalimat istighfar tetapi juga harus meninggalkan perbutan dosa dan maksiat, mengganti perbuatan itu dengan perbuatan baik, menyesali diri dengan perbuatan dosa dan maksiat itu, serta berikrar untuk tidak akan pernah mengulangi lagi perbuatan tercela itu.

Selain persyaratan tersebut, Imam al-Gazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin menambahkan dengan mengembalikan semua barang orang yang pernah diambil, meminta maaf kepada orang yang pernah difitnah atau dibicarakan aibnya, menghancurkan daging dan lemak yang tumbuh dalam dirinya yang berasal dari sumber yang haram dengan cara al-riyadhah, yakni menjalani latihan jasmani dan rohani dalam menempuh berbagai tahapan menuju kedekatan diri kepada Allah, dan mujahadah, yakni perjuangan melawan dorongan nafsu amarahnya, tidak makan, minum, dan memakai pakaian kecuali yang bersumber dari yang halal, dan mensucikan hati dari sifat khianat, tipu daya, sombong, iri hati, dengki, panjang angan-angan, lupa terhadap kematian, dan yang semacamnya. Dengan demikian, tobat lebih berat daripada istighfar.

Sementara itu, al-tawwabin perinsipnya sama saja dengan al-taibin, yaitu melakukan pertobatan dari dosa dan maksiat pada saat terjadinya dosa, bahkan kadang mengumpulkan dosa lalu sekaligus dilakukan pertobatan secara menyeluruh. Sedangkan, al-tawwabin frekuensinya lebih sering, bahkan tanpa harus menunggu adanya perbuatan dosa atau maksiat tetap saja selalu bertobat dan beristighfar. Orang-orang yang masuk kategori al-tawwabin selalu merasa ada yang salah di dalam dirinya sehingga selalu bolak-balik berobat kepada Allah SWT. Orang-orang seperti inilah uang disebutkan di dalam Alquran: Innallah yuhib al-tawwabin wa yuhib al-mutathahhirin
(Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri). (QS al-Baqarah [2]: 222).

Tobat menurut Imam al-Gazali ada tiga tingkatan. Pertama, tobatnya orang awam, yaitu tobat dari dosa dan maksiat. Kedua, tobatnya orang khawas, yaitu tobat tidak karena melakukan dosa atau maksiat akan tetapi tobat karena alpa melakukan ketaatan yang bersifat sunah, misalnya meninggalkan shalat dhuha, shalat tahajud, puasa Senin-Kamis, dan lain-lain. Ketiga, tobatnya orang khawas al-khawas, yaitu tobat bukan karena dosa dan maksiat atau meninggalkan ketaatan sunah apalagi wajib, melainkan tobat karena berkurangnya nilai khusyuk dari seluruh rangkaian rutinitas ibadah yang dilakukan. Bagi golongan ini, alpa sedikit pun tidak mengingat Allah SWT dirasakan seperti melakukan dosa sehingga ia berusaha untuk menutupi kelemahan-kelemahan itu dengan tobat dan istighfar.

Al-Qusyairi dalam risalahnya membagi tobat itu atas tiga macam, yaitu 1) Tobat dari segala kesalahan dan dosa. Inilah tobatnya masyarakat awam. 2) Tobat dari kelalaian dari ingat kepada Allah. Inilah tobatny orang khawas. 3) Tobat dari penglihatan terhadap segala kebaikan. Inilah tobatnya orang khawas al-khawas. Orang yang tobat karena takut siksaan disebut taubat. Orang yang tobat karena ingin meraih pahala disebut inabah, dan orang yang tobat bukan karena takut neraka atau mengejar pahala tapi hanya semata-mata karena menuruti perintah disebut aubah.

Syekh Muhammad bin Abi Bakar bin Abd Kadir Syamsuddin al-Razi (660 H) dalam karyanya Haqaiq al-Haqaiq, membagi tobat itu kepada dua bagian besar, yaitu pertama, tobat masyarakat awam, yaitu kembali dari segala kemaksiatan menuju kepada ketaatan dengan cara meninggalkan (pengaruh dan keterikatan) dunia dan mencari kehidupan akhirat. Kedua, tobat khawas, yaitu kembali dari mencari akhirat dan kenikmatan surga menuju pada ibadah kepada Allah hanya semata karena Zat-Nya Yang Mahasuci, bukan karena mencari pahala dan bukan pula karena takut akan siksaan. Oleh karena itu, tobatnya masyarakat awam justru sebagai sebuah dosa bagi kalangan orang khawas, sebagaimana dalam hadis, "Kebaikan orang-orang saleh merupakan kejahatan orang-orang muqarrabin."

Kemudian khawas ia bagi dua lagi, yaitu al-'arifun dan al-muqarrabun. Al-muqarrabun adalah khawas al-khawas. Hubungan antara al-'arifun dengan al-muqarrabun adalah sama dengan hubungan seorang pemula dalam menempuh jalan kegiatan suluk dengan orang yang sudah sampai pada tingkat makrifah.

Tobat pada bagian pertama di atas merupakan tanjakan awal dalam menempuh jalan menuju Allah dan maqam (tahapan) awal dalam mencari rida Allah. Sesungguhnya Allah selalu mendorong manusia agar segera bertobat. Dalam firman-Nya disebutkan: "Jika Allah mencintai seorang hamba, dosa itu tidak akan memberi mudarat pada dirinya." Lalu kemudian Beliau membaca ayat tersebut (QS al-Baqarah: 222). Maksudnya, Allah memberi taufik kepadanya untuk bertobat dan Allah menerima tobatnya. Maka, dosa yang pernah dilakukan sebelum tobat itu tidak ada lagi melekat pada dirinya. Nabi SAW juga selalu memotivasi untuk segera bertobat, sebagaimana dalam sabdanya: "Orang yang bertobat seperti orang yang tak berdosa." Dalam hadis lain dikatakan: "Tak ada sesuatu pun yang lebih dicintai Allah daripada seorang pemuda yang bertobat."

Rasulullah SAW pernah ditanya oleh istrinya, Aisyah ra, mengapa Engkau menghabiskan waktu malammu untuk beribadah, bukankah Engkau seorang Nabi yang dijamin masuk surga oleh Allah SWT? Rasulullah menjawab singkat, "Apakah aku tidak termasuk hamba yang bersyukur." Dari sini bisa dipahami bahwa porsi makna tobat tidak hanya pembersihan diri dari dosa dan maksiat tetapi lebih banyak bermakna mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah SWT (taqarrub ilallah). Tobat merupakan sifat orang-orang beriman, sebagaimana dijelaskan Allah dalam Alquran:
"Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung. (QS an-Nur [24]: 31).

Inabah yang merupakan sifat dasar al-tawwabin. Sesungguhnya menjadi ciri khas para wali dan para orang dekat Tuhan (al-muqarrabin). Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Alquran: "Wa ja'a bi qalbin salim (Dan dia datang dengan hati yang bertobat)." (QS Qaf [50]: 33). 
Selain inabah juga dikenal istilah lain, yaitu aubah, yang merupakan sifat para nabi dan rasul, sebagaimana firman-Nya: "Ni'mal 'abdu innahu awwab"
(Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)." (QS Shad [38]: 44).

Tobatnya para al-taw wabin biasa juga disebut dengan tobat nasuha, yaitu tobat yang benar-benar dilandasi ketulusan hati secara murni, tobat yang tidak pernah mengulangi lagi perbuatan dosa yang sama selamanya. Yahya bin Mu’adz mengatakan: “Melakukan satu perbuatan dosa setelah tobat jauh lebih buruk daripada melakukan 70 perbuatan dosa sebelum tobat.

Sementara menurut Dzun Nun al-Mishri, beristighfar dari dosa tanpa berusaha melepaskan diri dari dosa itu adalah tobatnya para pendusta. Barang siapa bertobat kemudian tidak membatalkan tobatnya, ia termasuk orang baha gia. Jika ia membatalkannya sekali atau dua kali kemudian mengulanginya lagi, ia masih diharapkan tetap pada sikap tobatnya, sebab segala sesuatu telah ditetapkan ajalnya.

Diriwayatkan dari Abu Hafash al-Haddad, ia pernah berkata: “Dulu aku meninggalkan perbuatan begini sekali, lalu kemudian aku kembali lagi kepadanya. Kemudian aku meninggalkannya lagi dan tidak mengulanginya lagi.” Syekh Abu Ali ad-Daqaq mengatakan, ada sebagian murid bertobat lalu meninggalkan tobatnya. Pada suatu hari ditanya kanlah, jika ia kembali lagi bertobat apakah tobatnya masih diterima? Tibatiba terdengar suara yang menjawabnya:

“Hai Fulan, engkau telah menaati kami, maka kami pun berterima kasih kepadamu. Kemudian engkau me ninggalkan kami, maka kami pun me nangguhkanmu. Jika engkau kembali lagi bertobat, kami akan menerimamu.” Lalu, murid itu kem bali bertobat dan tercapailah apa yang dituju.

Menurut kalangan arifin, seseorang yang telah bertekad untuk bertobat, yang pertama kali harus dilakukan ialah melunasi segala macam bentuk kezaliman yang pernah dilakukan terhadap sesamanya dan mengembalikan kepada hak-hak me reka. Jika tidak mampu melakukan hal itu, ia tetap harus berusaha kapan ia mam pu mengembalikan ke pada mereka yang berhak menerimanya, selalu mendoakan bagi pemiliknya yang berhak menerima agar ia terbebas dari padanya. Kemudian, ia menghindari dan memutuskan hubungannya dengan yang lain untuk menuju kedekatan diri kepada Allah; mengganti segala hak dan kewajibannya kepada Allah yang luput dilakukan selama ini; serta menyesali dan menangisi terhadap apa yang dilalaikan selama ini sehingga jauh dari Allah dan menyia-nyiakan waktu muda dan sehatnya.

Pengarang Al-Haqaiq al-Haqaiq meng ingatkan bahwa seorang pendosa tidak sepantasnya putus asa dari rahmat Allah dalam menerima tobat mereka, walaupun dosa mereka banyak dan besar serta berulang-ulang membatalkan tobat dan bergelimang dalam dosa. Sebab, putus asa itu merupakan kesalahan fatal dan justru menjadi penyebab untuk sema kin tenggelam dalam lumpur dosa selamanya. Jika seseorang dihadapkan dengan kondisi seperti ini, sebaiknya yakinkan dalam dirinya bahwa hal itu adalah tipu daya setan yang selalu menghalangi manusia untuk bertobat dan selalu menggoda agar tetap melakukan dosa seumur hidup. Obat dari penyakit seperti itu ialah seorang pendosa hendaknya merenungkan firman Allah:

“Wala taiasu min ruh Allah
(Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah).” (QS Yusuf [12]: 87). 


Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosadosa semuanya.” (QS az-Zumar [39]: 87). 


“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS an-Nisa [4]: 116).

Ayat-ayat dalam Alquran seperti ini sangat banyak.

Dalam hadis Nabi juga disebutkan bahwa: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya, ada dua ayat dalam Alquran yang jika dibaca oleh orang berdosa lalu memohon ampunan kepada Allah, niscaya dosa-dosanya akan terampuni.” Ayat yang dimaksud ialah:
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui.” (QS Ali Imran [3]: 135).

“Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nisa [4]: 110).

Sesungguhnya esensi tobat didasarkan pada jalan dan sumber seperti yang dikemukakan di atas. Jika tobat dijalankan secara tepat dan ikhlas semata hanya karena Allah, seluruh prosesinya akan berjalan dengan baik dan sempurna. Jika sebagian persyaratannya tidak terpenuhi atau tujuannya tercemari oleh polusi keduniaan seperti hanya karena tuntutan reputasi dan popularitas serta menarik perhatian orang lain dan yang semacamnya, maka tobat seperti ini bagaikan sebuah bangunan di atas pinggir sungai yang diruntuhkan oleh derasnya banjir dan terhanyut sampai ke jurang neraka jahanam. Na’udzu billahi min dzalik!

Tidak ada komentar: