Rabu, 23 November 2011

Tasawuf dan gugurnya kewajiban syari'at

Sumber : Sufi Road

Oleh: Syeikh Abdul Halim Mahmud (Mantan Rektor al-Azhar Mesir)
Alih bahasa: Juru Angon


Kita sering menemukan adanya provokator dalam setiap bidang kehidupan, baik dalam bidang keagamaan, politik, keilmuan bahkan dalam bidang tasawuf itu sendiri. Tujuan para provokator tersebut sangat jelas, yakni memperoleh keuntungan materiil dengan jalan pintas. Agar agama, ilmu pengetahuan maupun tasawuf tidak menjadi suatu yang disalahfahami, maka kita perlu menjelaskan bagaimana para provokator menyembunyikan wajahnya.

Agama dan ilmu pengetahuan memiliki kebenaran dan karakteristiknya sendiri yang sangat jelas, sehingga bisa menjadi “alat ukur” untuk mengungkap berbagai kebohongan dan kebatilan yang telah dilontarkan oleh para pendusta. Begitu juga dengan tasawuf.
Kami kemukakan hal di atas, karena berkaitan dengan apa yang pernah kami dengar berkaitan dengan adanya bid’ah dlalalah (bid’ah yang sesat) yang telah meresap dalam sebagian hati orang-orang yang belum mendalami agama secara khusus dan tasawuf secara umum.

Bid’ah ini memandang bahwa seseorang yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat tertentu, ia dibebaskan dari kewajiban syari’at, sehingga ia boleh meninggalkan shalat, zakat, haji dan lain-lain yang telah menjadi kewajiban seorang muslim.
Ironisnya, pandangan tersebut pertama kali dimunculkan oleh mereka yang menggeluti bidang hukum dan syari’at. Mereka mengaku bahwa dirinya telah sampai pada tingkat ma’rifat tasawuf yang tertinggi dan sampai pada satu kondisi yang menurut anggapan mereka sudah tidak diwajibkan lagi menjalankan kewajiban-kewajiban syari’at.

Ketika saya melacak sumber “ma’rifat” mereka, maka anda pasti akan sangat heran, karena sumber pengetahuan mereka tidak lain adalah ruh-ruh yang sengaja mereka hadirkan – yang menurut mereka – melalui perantaraan tubuh seseorang. Ruh-ruh tersebut memberikan informasi kepada mereka mengenai berbagai persoalan ghaib dan lain-lain.

Perbuatan bid’ah yang berupa “menghadirkan ruh” telah bgitu tersebar dan populer di kalangan mereka. Kegiatan tersebut telah menjadi “agama” mereka. Dalam pandangan mereka, informasi yang diberikan ruh tersebut mengalahkan kedudukan al-Qur’an dan Sunnah.

Lebih ironis lagi, mereka justeru mengaku sebagai pengamal ajaran tasawuf. Mereka menganggap diri mereka sebagai tokoh sufi, orang ‘arif dan orang yang memperoleh ilham. Bahkan ada yang sudah keterlaluan karena mengaku sebagai seorang wali. Ada juga yang mengaku sebagai seorang rasul. Bahkan ada yang berani mengaku bahwa dirinya adalah Isa (‘alaihi salam), kemudian ada juga yang mengaku sebagai Nabi Muhammad Saw.

Yang lebih keterlaluan lagi, ada yang bahwa “kemanusiaan” yang ada dalam dirinya telah lenyap dalam sekejap, kemudian mengaku kepada para pengikutnya bahwa “Tuhan telah menyatu dengan dirinya”. Semua pengakuan orang tersebut selalu diperkuat dan didukung oleh ruh yang dihadirkannya. Ruh tersebut selalu membenarkan apa yang dikatakan orang tersebut. Maha benar Allah Swt, karena Dia memberikan perumpamaan tentang orang yang berhubungan dengan jin dan berpaling dari jalan kebenaran.
“Dan ada beberapa orang laki-laki di antara manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” Qs. Al-Jin; 6).

Mungkin anda akan bertanya: “Apakah ada hubungan antara menghadirkan ruh dengan tasawuf?” Jawaban ahli tasawuf tentang hal itu sangat jelas, bahwa antara menghadirkan ruh dengan tasawuf sama sekali tidak memiliki keterkaitan, justeru sebaliknya, keduanya saling bertentangan. Para ahli tasawuf menganggap bahwa menghadirkan ruh termasuk perbuatan pembodohan, karena hal itu sama saja dengan bekerja sama dengan jin dan syaitan. Allah Swt berfirman tentang hal itu.

“Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa syaitan-syaitan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaitan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta” (Qs. Al-Syu’ara; 221-223).

Allah Swt juga berfirman: “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Qur’an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk” (Qs. Al-Zuhruf; 36-37).


Tujuan tulisan kami di sini hanyalah untuk menjelaskan pandangan tasawuf tentang “gugurnya kewajiban-kewajiban syari’at”. Persoalan ini sering dianggap bukan sebagai sesuatu yang bid’ah (mengada-ada) oleh mereka yang mengaku sebagai orang sufi di era modern ini. Sesungguhnya, persoalan tersebut merupakan kesesatan yang telah ada sejak lama dan telah muncul di tengah-tengah masyarakat, kemudian dianggap sebagai salah satu dasar ajaran tasawuf. Suatu anggapan yang sangat keliru dan ditentang oleh tokoh-tokoh sufi yang sejati kapanpun dan di manapun mereka berada.

Yang pasti, jika ada beberapa problem atau permasalahan, maka yang menjadi rujukan dalam penyelesaiannya adalah mereka yang benar-benar menguasai bidang permasalahan tersebut. Oleh karena itu, ketika kami merujuk pada tokoh-tokoh tasawuf yang tidak lagi diragukan kredibilitasnya, baik mereka yang hidup di masa lalu maupun di era modern sekarang ini, semuanya sangat mengingkari dan menentang pendapat di atas. Mereka menganggap bahwa gagasan tentang “gugurnya kewajiban syari’at” merupakan gagasan atau pendapat yang menyesatkan, penuh kebohongan dan tidak sejalan dengan ajaran agama secara umum.Kami akan membicarakan tentang pendapat sebagian ahli tasawuf klasik mengenai persoalan tersebut.

Abu Yazid al-Busthami pernah berkata kepada salah seorang temannya: “Marilah kita sama-sama melihat seorang lelaki yang mengaku dirinya sebagai seorang wali” – dan dia memang dikenal ke-zuhud-annya. Kemudian, ketika laki-laki tadi keluar dari rumahnya dan memasuki masjid, dia membuang ludahnya ke arah kiblat. Melihat kejadian tersebut, Abu Yazid langsung bergegas meninggalkannya dan tidak memberi salam kepadanya, lalu beliau berkata: “Laki-laki tadi tidak bisa mengamalkan akhlaq Rasulullah Saw, bagaimana mungkin pengakuannya (sebagai seorang wali) bisa dipercaya?”

Abu Yazid al-Busthami juga pernah berkata: “Kalian jangan tertipu, jika kalian melihat seseorang yang memiliki karamah -meski dia bisa terbang di udara-, sampai kalian melihat bagaimana orang tersebut melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah Swt, menjaga dirinya dari hudud (hukum pidana Allah Swt) dan bagaimana dia melaksanakan syari’at Allah Swt.”

Sahl al-Tusturi mengatakan tentang pinsip-prinsip dasar tasawuf: “Dasar-dasar tasawuf itu adalah tujuh, yaitu berpegang teguh pada al-Qur’an; meneladani Sunnah Nabi Muhammad Saw; memakan makanan yang halal; menahan diri dari menyakiti (orang lain); menjauhi maksiyat; senantiasa bertaubat; dan memenuhi segala yang telah menjadi kewajibannya”.

Al-Junaid, seorang tokoh dan Imam para sufi, berkata – sebagaimana dikutip oleh al-Qusyairi: “Barang siapa yang tidak menghafal al-Qur’an dan tidak menulis hadits, maka janganlah ia mengikuti jalan tasawuf ini, karena ilmu kami ini berasal dari dalil-dalil al-Qur’an dan sunnah.” Beliau menambahkan: “Ilmu kami ini selalu diperkuat dengan hadits Rasulullah Saw”. Beliau juga berkata: “Pada dasarnya jalan tasawuf itu tertutup bagi semua orang, kecuali bagi mereka yang memilih jalan yang ditempuh Rasulullah Saw, mengikuti sunnahnya dan terus tetap berada di jalannya.”

Pernah ada seorang laki-laki yang menuturkan tentang ma’rifat di hadapan al-Junaid dengan berkata: “Ahli ma’rifat kepada Allah Swt akan sampai pada satu kondisi dimana ia bisa meninggalkan perbuatan baik apapun dan ber-taqarrub¬ kepada Allah Swt”. Mendengar perkataan orang tersebut, al-Junaid berkata: “Itulah pendapat sekelompok orang yang menyatakan tentang ‘gugurnya amal perbuatan’, dan hal ini, menurutku, merupakan suatu kesalahan atau dosa yang sangat besar. Bahkan orang yang mencuri dan bezina masih lebih baik keadaannya daripada orang yang mengatakan pendapat tersebut”.

Jika kita menengok pada Imam al-Ghazali, maka kita akan melihat bahwa beliau menyatakan pendapatnya dengan tegas, jelas dan kuat argumentasinya. “Ketahuilah, bahwa orang yang menempuh perjalanan menuju Allah Swt itu sangat sedikit jumlahnya, namun mereka yang mengaku-aku sangat banyak jumlahnya. Kami ingin anda mengetahui seorang salik yang sebenarnya, antara lain; semua amal perbuatannya yang bersifat ikhtiyari selalu selaras dengan aturan-aturan syari’at, baik keinginannya, aktualisasinya maupun performansinya. Karena tidak mungkin bisa menmpuh jalan tasawuf, kecuali setelah ia benar-benar menjalankan syari’at. Tidak ada orang yang akan sampai (pada tujuan tasawuf), kecuali mereka yang selalu mengamalkan amalan-amalan sunah. Oleh karena itu, bagaimana mungkin seseorang yang meremehkan kewajiban-kewajiban syari’at bisa sampai (pada tujuan tasawuf tersebut)?”

Jika anda bertanya: “Apakah kedudukan salik akan sampai pada suatu tingkatan di mana ia boleh meninggalkan sebagian yang menjadi kewajiban syari’atnya dan atau melakukan sebagian perbuatan yang dilarang oleh syari’at, sebagaimana pendapat sebagian syeikh yang menggampangkan persoalan tersebut?”

Jawabanku: “Ketahuilah, bahwa pendapat tersebut merupakan bentuk tipuan dan kebohongan yang nyata, karena orang-orang sufi sejati mengatakan: ‘Jika engkau melihat seseorang yang dapat terbang di atas udara dan berjalan di atas air tetapi dia melakukan satu hal yang bertentangan dengan syari’at, maka ketahuilah bahwa dia adalah syaitan’.”

Selanjutnya, kita sampai pada pendapat Abi Hasan al-Syadzali yang mengatakan: “Jika kasyf-mu bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka berpeganglah kepada al-Qur’an dan Sunnah dan abaikanlah kasyf-mu itu, lalu katakan pada dirimu sendiri; sesungguhnya Allah Swt telah memberikan jaminan tentang kebenaran al-Qur’an dan Sunnah kepadaku, tetapi Allah Swt tidak memberikan jaminan kepadaku tentang kebenaran kasyf, ilham dan musyahadah kecuali setelah dikonfirmasikan dengan al-Qur’an dan Sunnah”.

Orang-orang sufi mengikuti semua petunjuk yang berupa nash al-Qur’an dan Sunnah, baik Sunnah qauliyah (perkataan Nabi) maupun Sunnah ‘amaliyah (perbuatan Nabi). Mereka pasti sangat menyadari akan kebenaran sejarah bahwa Rasulullah Saw adalah contoh ideal dalam segala hal hingga akhir hayatnya.

Itulah beberapa pendapat dari kalangan sufi klasik. Sebagai penutup, kami kutipkan sebuah hadits Nabi Muhammad Saw. Beliau pernah ditanya tentang sekelompok orang yang meninggalkan amal perbuatan atau kewajiban agama, tetapi mereka ber-husnu al-dzan (berprasangka baik) kepada Allah Swt. Rasulullah Saw menjawab: “Mereka itu bohong, kalau mereka itu berprasangka baik, tentu baik pula amal perbuatan mereka”.

Allah sebagai pelindung

Sumber : Republika Online

Oleh Prof Dr Yunahar Ilyas


Setelah Pemilihan Umum Pertama (1955), Hamka terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante dari Masyumi mewakili Jawa Tengah. Setelah Konstituante dan Masyumi dibubarkan, Hamka memusatkan kegiatannya pada dakwah Islamiah dan memimpin jamaah Masjid Agung Al-Azhar, di samping tetap aktif di Muhammadiyah. Dari ceramah-ceramah di Masjid Agung itu lah lahir sebagian dari karya monumental Hamka, Tafsir Al-Azhar.

Zaman demokrasi terpimpin, Hamka pernah ditahan dengan tuduhan melanggar Penpres Anti-Subversif. Dia berada di tahanan Orde Lama itu selama dua tahun (1964-1966). Dalam tahanan itulah Hamka menyelesaikan penulisan Tafsir Al-Azhar.

Waktu menulis Tafsir Al-Azhar, Hamka memasukkan beberapa pengalamannya saat berada di tahanan. Salah satunya berhubungan de ngan ayat 36 Surah az-Zumar, “Bukan kah Allah cukup sebagai Pelindung hamba-Nya...”. Pangkal ayat ini menjadi perisai bagi hamba Allah yang beriman dan Allah jadi pelindung sejati.

Sehubungan dengan maksud ayat di atas, Hamka menceritakan pengalaman beliau dalam tahanan di Sukabumi, akhir Maret 1964. Berikut kutipan lengkapnya. “Inspektur polisi yang memeriksa sambil memaksa agar saya mengakui suatu kesalahan yang difitnahkan ke atas diri, padahal saya tidak pernah berbuatnya. Inspektur itu masuk kembali ke dalam bilik tahanan saya membawa sebuah bungkusan, yang saya pandang sepintas lalu saya menyangka bahwa itu adalah sebuah tape recorder buat menyadap pengakuan saya.”

“Dia masuk dengan muka garang sebagai kebiasaan selama ini. Dan, saya menunggu dengan penuh tawakal kepada Tuhan dan memohon kekuatan kepada-Nya semata-mata. Setelah mata yang garang itu melihat saya dan saya sambut dengan sikap tenang pula, tiba-tiba kegarangan itu mulai menurun.”

“Setelah menanyakan apakah saya sudah makan malam, apakah saya sudah sembahyang, dan pertanyaan lain tentang penyelenggaraan makan minum saya, tiba-tiba dilihatnya arlojinya dan dia berkata, Biar besok saja dilanjutkan pertanyaan. Saudara istirahatlah dahulu malam ini, ujarnya dan dia pun keluar membawa bungkusan itu kembali.

Setelah dia agak jauh, masuklah polisi muda (agen polisi) yang ditugaskan menjaga saya, yang usianya baru kira-kira 25 tahun. Dia melihat terlebih dahulu kiri kanan. Setelah jelas tidak ada orang yang melihat, dia bersalam dengan saya sambil menangis, diciumnya tangan saya, lalu dia berkata, Alhamdulillah bapak selamat! Alhamdulillah! Mengapa, tanya saya. Bungkusan yang dibawa oleh Inspektur M itu adalah setrum. Kalau dikontakkan ke badan bapak, bapak bisa pingsan dan kalau sampai maksimum bisa mati.

Demikian jawaban polisi muda yang ditugaskan menjaga saya itu dengan berlinang air mata. Bapak sangka tape recorder, jawabku sedikit tersirap, tetapi saya bertambah ingat kepada Tu han. Moga-moga Allah memelihara diri Bapak. Ah! Bapak orang baik, kata anak itu.

Dalam menghadapi paksaan, hinaan, dan hardikan di dalam tahanan, Hamka selalu berserah diri kepada Allah SWT. Termasuk ketika Inspektur M datang membawa bungkusan malam itu, Hamka tetap dengan pendirian. Bukankah Allah cukup sebagai pelindung hamba-Nya.

Jumat, 18 November 2011

Orang Islam haram mengikuti dan mengamini doa yang dipimpin non-Muslim

Sumber : Republika online

Bagi umat Islam, doa bersama bukan sesuatu yang baru. Sejak belasan abad silam, bahkan sejak agama Islam disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW hingga sekarang, mereka sudah terbiasa melakukannya, baik setelah shalat berjamaah maupun pada acara-acara tertentu.

Doa adalah suatu bentuk kegiatan berupa permohonan manusia kepada Allah SWT semata (lihat antara lain QS al-Naml [27]: 62). Dalam sejumlah ayat Alquran (antara lain surah al-Mu'min [40]: 60), Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berdoa. Karena itu, kedudukan doa dalam ajaran Islam adalah ibadah. Bahkan, Nabi Muhammad SAW menyebutnya sebagai otak atau intisari ibadah (mukhkh al-ibadah). Sebagai sebuah ibadah, pelaksanaan doa wajib mengikuti ketentuan atau aturan yang digariskan Islam. Di antara ketentuan yang paling penting dalam berdoa adalah doa hanya dipanjatkan kepada Allah SWT. Dengan demikian, di dalam doa sebenarnya terkandung juga unsur akidah, yakni hal yang paling fundamental dalam agama.

Di Indonesia, dalam acara-acara resmi kemasyarakatan dan kenegaraan, umat Islam terkadang melakukan doa bersama dengan pemeluk agama lain pada satu tempat yang sama. Doa dengan bentuk seperti itulah yang dimaksud dengan doa bersama. Sedangkan, doa yang dilakukan hanya oleh umat Islam sebagaimana disinggung di atas tidak masuk dalam pengertian ini.

Kegiatan doa bersama menimbulkan pertanyaan di kalangan umat Islam, terutama tentang status hukumnya. Atas dasar itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan fatwa tentang doa bersama. Fatwa tersebut terbagi dalam enam butir. Pertama, doa bersama yang dilakukan oleh orang Islam dan non-Muslim tidak dikenal dalam Islam. Karena itu termasuk bidah.

Kedua, doa bersama dalam bentuk setiap pemuka agama berdoa secara bergiliran, maka orang Islam haram mengikuti dan mengamini doa yang dipimpin oleh non-Muslim. Mengapa haram mengamini doa non-Muslim? Sebab, menurut MUI, mengamini sama dengan berdoa. Dan ketika yang berdoa adalah non-Muslim, orang Islam yang mengamini tersebut berarti ia berdoa kepada Tuhan yang kepadanya non-Muslim berdoa. Padahal, konsep dan akidah mereka tentang Tuhan, menurut Alquran, berbeda dengan akidah orang Islam (lihat antara lain dalam QS al-Maidah [5]: 73). Dengan demikian, menurut MUI, orang Islam yang mengamini doa yang dipanjatkan oleh non-Muslim dapat dikategorikan kafir atau musyrik.

Lantas, bagaimana dengan orang Islam yang karena alasan tertentu harus mengikuti doa bersama? "Maka ketika non-Muslim memanjatkan doa, ia wajib dalam hati haram mengamininya," lanjut MUI dalam penjelasannya atas fatwa doa bersama.

Ketiga, doa bersama dalam bentuk Muslim dan non-Muslim berdoa secara serentak (misalnya, mereka membaca teks doa bersama-sama), hukumnya haram. Artinya, orang Islam tak boleh melakukannya. Sebab, doa seperti ini dipandang telah mencampuradukkan antara ibadah (dalam hal doa) yang haq (sah, benar) dengan ibadah yang batil. Hal ini dilarang oleh agama (lihat antara lain dalam QS al-Baqarah [2]: 42).

MUI juga menilai, doa bersama bentuk ini sangat berpotensi mengancam akidah orang Islam yang awam. Cepat atau lambat mereka akan menisbikan status doa yang dalam ajaran Islam merupakan ibadah, serta dapat pula menimbulkan anggapan bagi mereka bahwa akidah ketuhanan non-Muslim sama dengan akidah ketuhanan orang Islam.

Keempat, doa bersama dalam bentuk seorang non-Islam memimpin doa. Dalam doa bersama seperti ini, orang Islam haram mengikuti dan mengamininya. Kelima, doa bersama dalam bentuk seorang tokoh Islam memimpin doa. Doa bersama bentuk ini hukumnya mubah.Keenam, doa dalam bentuk setiap orang berdoa menurut agama masing-masing. Yang ini hukumnya juga mubah. wachidah handasah

Selasa, 15 November 2011

Penggunaan gelar HAJI

Sumber : Republika Online

Rasulullah dan para sahabat beliau tidak menggunakan gelar haji di depan nama mereka padahal mereka telah berhaji. Tetapi, itu tidak berarti menggunakan gelar haji atau hajjah di depan nama seseorang merupakan bidah. Penggunaan gelar keilmuan seperti profesor, doktor, MA, atau keulamaan seperti kiai haji, buya, syekh, imam, atau allamah juga tak dikenal pada zaman Nabi.

Apakah itu berarti penggunaan gelar keulamaan semacam itu juga bidah dan dilarang? Berapa banyak ulama yang kita kenal mendapatkan sebutan imam atau syekh di depan namanya seperti Imam Bukhari, Imam Syafi'i, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, dan Syekh Abd al-'Aziz bin Baz? Ibnu Taimiyah bahkan bergelar hujjat al-Islam dan tidak ada seorang sahabat Nabi pun yang bergelar hujjat al-Islam.

Pada dasarnya tidak ada perintah dan larangan menggunakan gelar haji, yang dilarang memberikan gelar jelek bagi seseorang, baik dia suka atau tidak. ".… Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelar yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang yang zalim (QS al-Hujurat [49]: 11).

Yang dikhawatirkan, gelar haji itu menjadi tujuan dalam melaksanakan ibadah haji agar dengan gelar tersebut memperoleh kehormatan dalam masyarakat, sehingga menimbulkan riya dalam beribadah. Semuanya, bergantung pada niat. Jika ada orang sengaja memakai gelar agar dipuji, itu bertentangan dengan akhlak Islam.

Tetapi, kalau penggunaan gelar untuk mengingatkan diri sendiri agar tidak lagi melakukan perbuatan maksiat yang akhirnya menimbulkan rasa malu kepada Allah, tentu baik. Jadi, tidak selamanya gelar haji mengandung konotasi negatif semacam riya, kesombongan, dan sebagainya namun bisa juga mengandung nilai-nilai positif seperti selalu bermuhasabah dan berdakwah di jalan Allah.

Menjadi tidak bijak bila kita langsung menyamaratakan setiap masalah dengan satu sikap, semuanya mesti kita dudukkan persoalannya secara baik dan proporsional. Wallahu a'lam bish shawab.

Jumat, 11 November 2011

Membantu orang miskin (memberi kail lebih baik daripada memberi ikan)

SUMBER : REPUBLIKA ONLINE

Oleh Khofifah Indar Parawansa

Suatu hari ada seseorang datang meminta-minta kepada Rasulullah SAW yang sedang berkumpul dengan para sahabat. Melihat kehadiran pengemis itu, Rasulullah lantas bertanya, "Apakah kamu mempunyai sesuatu di rumahmu?"

Dia menjawab, "Tentu, saya mempunyai pakaian yang biasa dipakai sehari-hari dan sebuah cangkir." Rasulullah lalu berkata, "Ambil dan serahkan ke saya!"

Pengemis itu langsung bergegas pulang dan kembali dengan membawa cangkir. Rasulullah kemudian menawarkan cangkir itu kepada para sahabat, "Adakah di antara kalian yang ingin membeli ini?" Seorang sahabat menyahut, "Saya beli dengan satu dirham."

Rasulullah lalu menawarkannya kepada sahabat yang lain. Seorang sahabat yang sanggup membelinya dengan harga dua dirham. Rasulullah kemudian memberikan dua dirham itu kepada si pengemis. Rasul mengharapkan agar uang itu digunakan untuk membeli makanan buat keluarganya, dan sisa uangnya digunakan untuk membeli kapak. "Carilah kayu yang banyak dan juallah, selama dua minggu ini aku tidak ingin melihatmu," kata Rasulullah.

Dua minggu kemudian, pengemis itu datang kembali menghadap Rasulullah SAW, tapi tidak untuk mengemis. Ia datang kepada Rasullah membawa uang 10 dirham hasil dari berjualan kayu. Rasulullah SAW kemudian menyuruhnya untuk membeli pakaian dan makanan untuk keluarganya.

Rasulullah berkata, "Hal ini lebih baik bagi kamu, karena meminta-meminta hanya akan membuat noda di wajahmu di akhirat nanti. Tidak layak bagi seseorang meminta-minta kecuali dalam tiga hal, fakir miskin yang benar-benar tidak mempunyai sesuatu, utang yang tidak bisa terbayar, dan penyakit yang membuat seseorang tidak bisa berusaha."

Kisah ini menggambarkan sifat Rasulullah yang gemar membantu orang yang tidak mampu. Bantuan tidak hanya berupa uang, tapi juga "kail" atau pekerjaan agar kelak orang yang tidak mampu itu bisa hidup mandiri.

Tidak dapat dimungkiri, jumlah pengemis dan pengangguran di Indonesia saat ini masih sangat tinggi. Alangkah indahnya, jika setiap orang mampu (secara ekonomi) di negeri ini mau meniru perilaku Rasulullah tersebut. Dengan memberi sedekah dan pekerjaan, setidaknya jumlah anak jalanan dan pengangguran bisa diminimalisasi.

Rasullullah memberikan contoh bahwa kesalehan spiritual belum dikatakan sempurna, sebelum dibarengi dengan kesalehan sosial (to be sensitive to the reality).

Dalam Alquran disebutkan bahwa orang yang bertakwa yaitu: "Orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang (QS Ali Imran [3]: 134).

Saatnya kita berbagi dengan orang di sekeliling kita yang fakir dan miskin. Jika orang yang diberi kecukupan ekonomi di negeri ini mau peduli terhadap yang miskin, pasti perempuan Indonesia tidak akan berbondong-bondong menjadi tenaga kerja dan pembantu rumah tangga di negeri orang. Jika orang kaya di negeri ini mau membantu yang lemah dan fakir, tentu tidak banyak anak negeri ini yang putus sekolah. "Sesungguhnya kefakiran (kemiskinan) itu bisa menjerumuskan ke jurang kekafiran."

Kepahlawanan dalam Islam

SUMBER : REPUBLIKA.CO.ID

oleh : Ustaz Bachtiar Nasir

Dalam suatu kesempatan, di satu rumah di Madinah, Amirul Mukminin Umar bin Khattab duduk bersama para sahabatnya dan berkata kepada mereka, "Berobsesilah kalian semua!" Salah seorang dari mereka lalu berkata: "Saya berangan-angan seandainya rumah ini dipenuhi oleh emas yang akan saya infakkan di jalan Allah."

Kemudian, Umar meminta lagi kepada yang lain, maka berkata lagi seseorang dari mereka, "Saya berangan-angan seandainya rumah ini dipenuhi oleh mutiara dan intan berlian yang akan saya infakkan dan sedekahkan di jalan Allah. Umar meminta lagi kepada mereka, tapi mereka lalu mengatakan tidak tahu lagi apa yang akan dikatakan.

Umar berkata, "Kalau saya berangan-angan agar rumah ini dipenuhi orang-orang seperti Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Mu'az bin Jabal, dan Salim budak Abu Huzaifah dan saya akan bahu membahu dengan mereka untuk meninggikan kalimat Allah SWT.'' Umar sangat mengagumi kepahlawanan Abu Ubaidah dan para sahabatnya.

Keikhlasan pengorbanan dan pengabdian serta kesetiaan yang mereka berikanlah yang membuat Umar mampu memimpin dan membangkitkan peradaban Islam ke penjuru dunia. Memang dalam perjuangan dan membuat perubahan membutuhkan harta banyak. Tetapi, apalah artinya harta jika tidak memiliki pribadi-pribadi terbaik yang berjuang untuk menjalankan misi dan menciptakan perubahan.

Rasulullah bersabda, "Manusia itu hanyalah seperti seratus ekor unta, hampir-hampir dari seratus ekor tersebut engkau tidak dapatkan satu ekor pun yang bagus untuk ditunggangi." (HR al-Bukhari). Hadis ini menggambarkan mayoritas manusia itu kurang berkualitas jika dilihat dari sudut pandang kualitas kepahlawanan.

Pribadi yang berjiwa kepahlawanan ini dapat sebanding dengan seratus orang bahkan satu bangsa. Islam mengajarkan, pribadi terbaik itu adalah yang berpegang teguh pada keyakinannya, berjuang, dan berdakwah dengan harta serta jiwanya. Wallahu a'lam bish shawab.

Selasa, 08 November 2011

Penjahat hakiki bertudung sorban

Sumber : Muxlimo's Lair

Salaam, Sobat...
Jika dulu ada istilah "penjahat berdasi" yang mengacu pada para penipu yang berdandan seperti orang baik-baik, kini tampaknya kita perlu waspada pada para "penjahat hakiki bertudung sorban", yaitu para tukang sihir yang mengklaim ilmunya berdasarkan Alquran dan hadis. Ini adalah masalah yang krusial karena menyangkut masalah hakiki akidah Islam, Sobat.

Muslim yang paling awam sekali pun, pasti tahu bahwa pergi berobat ke tukang sihir, dukun atau paranormal itu hukumnya syirik dan tergolong dosa besar tak berampun. Akan tetapi, tampaknya masih banyak yang tertipu oleh para tukang sihir yang berkedok agama: pengobatan alternatif Islami (kata mereka). Bahkan, ada sebagian besar tabib pengobatan alternatif yang menjadikan terapi penyembuhan ini sebagai lahan bisnis. Mereka menentukan harga tertentu bagi para pasien. Sebagian besar kaum muslimin tidak bisa membedakan antara pengobatan Qurani dengan pengobatan sihir. Jenis pengobatan yang pertama bersifat imani, sedangkan yang kedua adalah syaithani.

Yang menambah runyamnya permasalahan ini bagi orang-orang awam adalah bahwa sebagian paranormal ketika membaca mantra-mantra yang mengandung kekufuran, dibaca dengan suara yang pelan dan tidak kedengaran dan melantangkan suaranya ketika membaca sebagian ayat-ayat Alquran (yang diselipkan di antara mantra-mantra musyrik tersebut. Inilah ciri utama para penjahat hakiki bertudung sorban itu.

Hendaknya para pasien tidak tertipu dengan simbol-simbol dan penampilan luar sebuah terapi pengobatan, tetapi hendaknya mereka mencari para pemberi terapi Qurani (ahli ruqyah) yang bertakwa. Nah, bagaimana cara kita mengetahui wak haji, ustaz, atau santri penyembuh alternatif yang kita jumpai itu tukang sihir atau bukan? Selain ciri utama yang sudah ditandai di atas, berikut ini beberapa ciri sekundernya:
menanyakan kepada si penderita siapa namanya dan nama ibunya;
mengambil salah satu benda bekas yang dipakai oleh si penderita, seperti baju, peci, sapu tangan, dan lain-lain; terkadang meminta kepada si penderita seekor binatang dengan sifat-sifat tertentu, untuk disembelih dengan tidak menyebutkan nama Allah ﷻﷻ lalu mengoleskan darahnya kepada bagian-bagian tubuh si penderita yang sakit atau membuang bangkainya pada tempat-tempat yang sepi; menuliskan rajah; memberikan jimat penangkal yang berbentuk persegi empat kepada si penderita. Jimat it mengandung rajah yang berupa huruf-huruf atau angka-angka meminta si penderita untuk menghindari orang ('uzlah) selama masa tertentu dalam ruang yang gelap dan tidak dimasuki sinar matahari. Orang awam menyebutnya dengan menyepi atau bersemedi; terkadang meminta si penderita agar tidak menyentuh air selama masa tertentu, biasanya selama empat puluh hari; memberikan kepada si penderita benda-benda yang harus ditanam di dalam tanah; memberikan kepada si penderita lembaran-lembaran kertas yang harus dibakar kemudian dihirup asapnya; berkomat-kamit membaca sesuatu yang tidak bisa dipahami; terkadang si tabib dapat menebak dengan benar tentang nama si penderita, tempat asalnya, dan persoalan-persoalan yang akan ia tanyakan kepadanya; menuliskan untuk si penderita huruf-huruf potongan di atas sebuah kertas atau di atas piring dari tembikar putih lalu memerintahkan si penderita untuk melarutkannya dengan air dan meminumnya.

Jika Anda sudah tahu bahwa seseorang itu adalah penyihir (meskipun ia adalah ulama terpandang, punya banyak massa, dan kehidupan sehari-harinya tampak begitu islami), jangan sekali-kali mendatanginya. Apalagi jika ulama tersebut terkenal dapat memerintah jin! Bukankah seseorang yang bisa memerintah jin itu berarti ia adalah pemimpin para jin? Berarti pula ia bagian dari keluarga besar jin yang berwujud manusia? Waspadalah, tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim ilmunya setaraf Nabi Sulaiman a.s. atau para nabi lainnya.

Bila Anda tetap berkeras dan tetap mendatangi ulama-ulama semacam ini, Anda akan terkena sabda Rasulullah ï·º
"Barang siapa mendatangi tukang ramal, atau tukang sihir, atau tukang tenung lalu ia bertanya kepadanya tentang sesuatu kemudian membenarkan apa yang dikatakan olehnya, maka sesungguhnya ia telah kafir terhadap wahyu yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad ï·º."
(Imam Al-Hafizh Al-Mundziri dalam At-Targhib, IV/53 berkata,"Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Abu Ya'la dengan sanad baik dan mauquf (hanya sampai kepada sahabat saja).

Nasihat bagi para muslim yang melakukan praktik pengobatan alternatif. Hendaknya Anda hanya menggunakan metode yang disyariatkan saja. Hendaknya Anda tidak meluaskan praktiknya ke mana-mana, yang pada akhirnya menjerumuskan Anda dan pasien Anda ke dalam hal-hal yang dilarang. Hal ini jika diumpamakan, seperti penggembala yang menggembala gembalaannya di sekitar tempat yang terlarang sebab dikhawatirkan gembalaannya akan masuk ke tempat tersebut.

Allahua'lam.

{Sebuah penyajian ulang dari tulisan Wahid Abdussalam Bali, seorang ulama Mesir sekaligus dosen fikih perbandingan, dalam bukunya yang berjudul asli Ash-Shârimul Battar fît Tashaddy Lis Saharatil Asyrâr (digubah ke dalam bahasa Indonesia menjadi Tolak Sihir Cara Islam oleh Penerbit Aqwam, Solo, 2008).

The Confession: A Novel Sudoku The Gift The 7th Victim The UnionThe Incredible MachineO Holy Night (CD/DVD)